Oleh : Lita Oktaviani
Jatuh.Butiran bening itu jatuh perlahan-lahan seiring isakan tangis yang seakan bercerita betapa sedihnya hati seorang gadis yang sedari tadi tertunduk diam. Hanya bening-bening itu yang berbicara tentang lara hati yang sedang dirasa. Semakin dalam tertunduk semakin deras butiran itu membasahi pipinya yang putih. Matanya tak lagi bening,tersurat warna merah disana.
“sifatnya memang begitu, kau pahami
saja”
Kalimat yang entah yang sudah keberapa kali singgah di indera
pendengaran gadis yang menyukai warna biru setiap kali wanita yang usianya
lebih 15 tahun diatasnya memancing bulir-bulir bening itu keluar dari
persembunyiannya
“ memahami? Sampai kapan ? Apakah selama
aku bekerja disini aku harus memahaminya? Sanggupkah aku? Meski ini bukan yang
pertama kali, namun rasa sakit itu sama. Tuhan..kuatkan aku”
“sabar ya…” Nindi menepuk-nepuk pundak
gadis yang telah menjadi rekan kerjanya sejak dua tahun yang lalu. Gadis itu
hanya mengangguk pelan. Menghembuskan nafas berat dan bulir itu……telah berhenti
meski masih terlihat jejak-jejak
alirannya.
“apa yang keluar dari lisan
seseorang,sebenarnya menggambarkan seperti apa dirinya. Bila yang terucap baik,
maka baiklah ia namun bila yang terucap
buruk,maka itulah kualitas dirinya” ujar Mbak Nadia. Gadis yang biasa di
panggil Nana itu terdiam,mencoba meresapi kalimat yang ia dengar barusan. Sesak
didadanya sedikit berkurang.
“makasih mbak nasehatnya” ia berdiri
hendak kembali ke meja kerja nya.
Jam baru saja menunjukan pukul 08.00 saat langkah pertamanya memasuki kantor.
“ masuk juga? Kirain mau mengajukan
surat pengunduran diri” terdengar nada ketus dari arah depannya. Ia akui
kesalahannya yang tidak memberikan kabar selama 4 hari karena ada urusan
keluarga yang harus diselesaikan, tapi harus seperti inikah perkataan yang ia
terima? Ingin rasanya ia langsung mengundurkan diri saat itu juga, tapi segera
menguasai diri.
“astaghfirullah,sabar Nana” ia
menyabarkan diri sendiri walau sebenarnya ia sangat malu di perlakukan seperti
itu. Apalagi dalam ruangan itu,ia tidak sendiri,ada Pak Dadang,Wakil Direktur
,Pak Wayan, Kepala Divisi Humas dan Farhan, Staf Kepegawaian. Kata-kata balasan
hampir saja keluar dari mulutnya kalau saja ia tidak ingat bahwa ada
orang-orang yang ia segani disini. Ia hanya menaruh tas dan bergegas keluar
dari ruangan yang menyiksa itu menuju ruang mbak Nadia.
Kejadian itu sukses menghancurkan semangat kerjanya. Banyak
tugas yang terbengkalai, padahal telah masuk waktu deadline. Suasana hatinya
yang tidak bagus menyebabkan semuanya terjadi.
“laporan tadi sudah selesai?” Tanya atasannya
datar, tanpa rasa bersalah seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
“ belum” ujar Nana,dengan intonasi yang
sama. Sakit itu masih terasa.
Di lain waktu….
“Laporan
kemarin sudah selesai di edit?”
“sudah bu, sudah saya letakkan di meja
ibu”
“ di meja saya? Saya tidak melihat
laporan kamu di atas meja saya”
“ tapi benar bu,saya sudah meletakkannya
di ruangan ibu”
“ kamu ini gimana? Menyelesaikan hal
kecil seperti itu saja tidak bisa. Kamu tidak pantas berada disini, bisa kacau
semuanya kalau orang tipe seperti kamu yang bekerja di bagian ini”
“ jadi,maksudnya,ibu mau memecat saya?
Maaf bu,saya tidak bermaksud lancing, tapi saya tidak khawatir masalah rezeki, saya bisa
pulang kampung dan buka usaha disana. Rezeki Allah itu luas bu, tidak hanya
disini”
“saya siap kalau memang harus
diberhentikan” Ucap Nana dengan emosi yang tertahan. Atasanya terkejut,ia tak
mengira akan mendapat reaksi seperti itu.
Di ruang mbak Nadia….
“ saya sudah tidak kuat lagi mbak”
“ Sabar Nana”
“ Sabar? Apakah saya harus bersabar
sementara harga diri saya di injak-injak ? “ ritme nafasnya turun naik dengan
cepat. Ada telaga bening di mata bulatnya.
“ saya mau keluar saja mbak”
“Nana…jangan mengambil keputusan dalam
keadaan emosi. Tenangkan diri dan pikirkan baik-baik keputusanmu itu”
“sudah sebulan ini saya memikirkannya ”
“kalau memang itu keputusanmu, mbak
tidak bisa berbuat apa-apa meskipun mbak berharap kamu tetap bekerja disini”
“sebenarnya saya masih ingin disini,
tapi bagaimana mungkin saya bertahan
bila hampir setiap waktu saya dipermalukan di depan orang-orang?” Nana berujar
dalam hati,tersenyum pahit lalu pamit. Jam sudah menunjukkan pukul 15.30 WIB.
Mentari
bersinar cerah pagi ini meski semalam hujan deras membasahi bumi dan membentuk
genangan air di sana-sini namun tidak mengurangi semangat Nana untuk pergi ke
tempat kerja. Berjilbab biru, rok dongker dan berblus putih, ia langkahkan kaki
dengan mantap.Sepucuk surat dalam genggamannya.
“ini bu,surat pengunduran diri saya”
“ Pak Dadang….”
“Beliau sudah tahu bu, saya sudah bicara
dengan Pak Dadang kemarin”
Atasannya mengangguk-angguk.
“karyawan memang bawahan pak,tapi itu
hanya status di perusahaan,sejatinya Ia
juga butuh di hormati,dihargai, bukan hanya untuk menyelesaikan tugas-tugas
yang diberikan. Bila perusahaan ini ingin menjadi perusahaan yang besar, tidak
hanya dibutuhkan pemimpin yang cerdas tapi juga harus bisa mengayomi
orang-orang yang dipimpinya dengan cara dan komunikasi dengan baik. maaf
pak,saya tidak bermaksud mengajari , tapi bapak pasti tahu alasan mengapa
banyak orang-orang yang berpotensi dan memiliki kinerja bagus yang lebih
memilih mundur daripada bertahan diperusahaan ini?”
“sekali lagi saya minta maaf atas segala
kesalahan saya selama bekerja disini dan terima kasih atas kesempatan yang
diberikan, saya mohon pamit”
Nana membayangkan kembali percakapannya
dengan Pak Dadang kemarin. Rasa lega menyelimuti hatinya meski ia juga tak bisa
menutupi ada rasa sedih berpisah dengan teman-teman yang telah bersamanya
selama 2 tahun, namun ia harus memilih dan memutuskan jalan hidupnya.
“semangat Nana, hari yang baru
menantimu” Ia menyemangati dirinya. terbayang planning usaha yang telah ia rancang di
kampung halamannya.
Tulisan yang dimuat adalah sepenuhnya milik penulis risalah-online, bukan merupakan pernyataan dari risalah-online
Cerita yang bagus Zah Lita... terus berkarya...
ReplyDelete