Oleh : Nurul Khairiyah
Kala menginjak rerumputan basah yang terhampar luas
mencapai kaki bukit ini. gesekan gesekan menimbulkan bunyi yang menyadarkan
Kara akan keberadaan nya di tempat ini.
Kara berhenti saat mencapai puncak,
tersenyum memandangi langit penuh bintang yang memayungi bukit berumput yang
tengah di pijakinya saat ini, juga bulan.
Melihat bulan selalu mengingatkan Kara pada sesosok
sahabat yang sangat di sayanginya, Nana. Sahabat sekaligus malaikat kecil yang
di kirimkan Tuhan untuk mengubah kehidupan pahitnya menjadi sedikit lebih
beraarti. Sejak mengenal Nana untuk pertama kalinya, ada sebuah keyakinan baru
yang mulai tumbuh di hati Kara. Menjadikan Nana sebagai alasan untuk Kara tetap
bertahan hidup dalam melawan sel kanker yang perlahan namun pasti, tumbuh di
antara ribuan sel yang ada di otaknya. Ini tak akan terlihat berlebihan bagi
Kara karna Nana jugalah yang mengenalkannya pada berjuta warna yang ada di
dunia ini karna Kara tidak pernah melihat warna warna itu di kehidupan hitam
putihnya.
Kara masih ingat percakapan mereka saat Nana mulai
meyakinan Kara atas nikmat kehidupan yang masih di miliki Kara sampai saat ini.
Hal pertama yang di ajarkan Nana pada Kara adalah bulan yang biru. Kara
menyangkal Nana saat itu, semua orang tau bulan itu berwarna pucat.
“Tidak bagiku ara. Aku selalu mencari bulan saat aku
bersedih, jadi bulanku adalah biru. Bukan pucat.” Jadi, sejak saat itu mereka
sepakat dengan gagasan Nana tentang bulan.
Kara pertama kali menemukan Nana di lobi bangsal
anak di sebuah rumah sakit swasta. Kanker darah dan penderita buta warna dari
kecil tidak menyurutkan semangat hidupnya. Duahal yang juga di miliki Kara
empat tahun terakhir. Dan sejak pertemuan itu, Nana adalah alasan Kara untuk
tetap hidup.
“Kau ingat hari itu Nana? Hari pertama saat kau
mengajakku e tempat ini.Perasaan senang yang membuncah masih sama kadarnya
dengan perasaan ku setiap kali aku menginjakkan kai di tempat ini. hanya saja
saat itu aku punya segudang beban hidup yang aku persulit sendiri dengan jalan
fikiranku yang rumit.Ya, Tuhan tidak akan menguji kita jika tidak menyayangi
kita, itu kan yang selalu kau kata kan.?” Kara menjatuhkan dirinya ditempat
biasa di sebelah tempat duduk Nana, Nana
tetap diam.
“Ha! Aku ingat sesuatu. Kau menyukai lagu Angel_nya
WestLife bukan? Aku akkan memutarkannya untuk mu.” Lalu Kara mengambil Ipod nya
dari tas dan menyetel lagu. Untuk beberapa saat mereka hanya diam. Menikmati
alunan musik yang dilatari dengan suara gesekan angin dengan rerumputan di
sekeliling mereka, tak lama, lalu Kara berbaring.
“Waah lihatlah, langitnya begitu inidah bukan? Dan
Nana, lihatlah, bulan yang indah.” Kara membentangkan tangannya dan bergumam,
“Kuharap kau tidak keberatan jia besok besok aku akan kesini lagi.”
***
“Nana, kau tidak keberatan bukan jika hari ini aku
kesini lagi? Dan lihat ini,” Kara mengangkat kuas dan kertas lukis,”Aku membawa
alat utuk melukis. Kita bisa melukis seharian penuh di bukit ini. Kau bisa
malukis apapun yang kau suka. Astaga... mengapa aku mendikte mu, kau kan memang
ahli dalam melukis.” Kara tertawa kecil dan mengambil beberapa alat lukis dan
menaruhnya disamping tempat dia duduk. “Ini untukmu, kau bisa mulai melukis
sekarang.” Lalu Kara mengambil sendiri alat lukisnya, Nana tetap diam.
Untuk beberapa jam kedepan tidak ada percakapa atau
suara yang beraarti. Hanya gesekan pensil dengan kertas lukis yang terdengar.
Hingga sore menjelang Kara merentangkan tangannya dan menggeliat. “Aku sudah
selesai Nana, lihat ini, aku melukiskan bulan untukmu. Kau boleh menyimpannya
jia kau mau, tapi aku harus memoles sediit lagi untuk sentuhan akhir, setelahselesai aku akan
menghadiahkannya untuk mu.” Kara membereskan alat lukisnya dan menyimpannya di
box kecil yang selalu Kara bawa kemana mana.
“Boleh ku lihat? Kau melukis apa?” Kara mengambil
kertas lukis di sebelahnya, tarikan di bibirnya mengendur dan ada luka yang
mulai membekas di matanya. Namun sebelum air matanya benar benar jatuh, Kara
kembali tersenyum. “Aku tau, kau pasti meluis awan bukan? Baiklah, seharusnya
aku tau itu. Ini,” kara meletakkan kembali kertas lukis dan menaruhnya kembali disamping tempat dia duduk. Seseorang
berjalan mendekati Kara, gaunnya lembut tertiup angin. “Kara? Sedang apa kau
disini?” kara hanya diam, trsenyum memandangi matahari terbenam di hadapannya.”Waah
indahnya, kau memang berbakat dalam melukis Kara.” Elis mengangkat lukisan
Kara.
“Tidak Elis,” Kara menggeleng pelan, “Nana lebih
berbakat.” Elis tertegun, ada rona sedih di wajah cantiknya. Lalu elis
menyentuh pundak Kara.”Sebaiknya kau pulang, semua orang menunggumu di rumah.
Kita aan berangkat sebentar lagi.” Lalu Elis pergi. Kara tertunduk, reflek
menggigit bibir bawahnya. Tidak seharusnya Kara bersedih di hari ini, bukangkah
dia sudah berjanji pada Nana untuk tidah menangis jika hari ini tiba. Ponse
Kara bergetar lembut, ada pesan dari Mama. Kara? Kamu dimana? Kita aan
kepemakaman Nana sebentar lagi. Kami semua menunggu mu.
Kara menoleh kesebelahnya. Kosong. Hanya ada
selembar kertas luis yang kosong dan tak ada siapa siapa. Kara tau, seharusnya
dia harus lebih siap untuk hari ini. hari ketika Nana pergi dan hari ketika
Kara harus kembali belajar menerima kehilangan. Satuhal yang Kara rasakan saat
ini, sendiri.
Tulisan
yang dimuat adalah sepenuhnya milik penulis risalah-online, bukan merupakan
pernyataan dari risalah-online
No comments:
Post a Comment