Tuesday, 24 May 2016

Bulan yang Biru




Oleh : Nurul Khairiyah
 
Kala menginjak rerumputan basah yang terhampar luas mencapai kaki bukit ini. gesekan gesekan menimbulkan bunyi yang menyadarkan Kara akan keberadaan nya di tempat ini


Kara berhenti saat mencapai puncak, tersenyum memandangi langit penuh bintang yang memayungi bukit berumput yang tengah di pijakinya saat ini, juga bulan.

Melihat bulan selalu mengingatkan Kara pada sesosok sahabat yang sangat di sayanginya, Nana. Sahabat sekaligus malaikat kecil yang di kirimkan Tuhan untuk mengubah kehidupan pahitnya menjadi sedikit lebih beraarti. Sejak mengenal Nana untuk pertama kalinya, ada sebuah keyakinan baru yang mulai tumbuh di hati Kara. Menjadikan Nana sebagai alasan untuk Kara tetap bertahan hidup dalam melawan sel kanker yang perlahan namun pasti, tumbuh di antara ribuan sel yang ada di otaknya. Ini tak akan terlihat berlebihan bagi Kara karna Nana jugalah yang mengenalkannya pada berjuta warna yang ada di dunia ini karna Kara tidak pernah melihat warna warna itu di kehidupan hitam putihnya.

Kara masih ingat percakapan mereka saat Nana mulai meyakinan Kara atas nikmat kehidupan yang masih di miliki Kara sampai saat ini. Hal pertama yang di ajarkan Nana pada Kara adalah bulan yang biru. Kara menyangkal Nana saat itu, semua orang tau bulan itu berwarna pucat.

“Tidak bagiku ara. Aku selalu mencari bulan saat aku bersedih, jadi bulanku adalah biru. Bukan pucat.” Jadi, sejak saat itu mereka sepakat dengan gagasan Nana tentang bulan. 

Kara pertama kali menemukan Nana di lobi bangsal anak di sebuah rumah sakit swasta. Kanker darah dan penderita buta warna dari kecil tidak menyurutkan semangat hidupnya. Duahal yang juga di miliki Kara empat tahun terakhir. Dan sejak pertemuan itu, Nana adalah alasan Kara untuk tetap hidup.

“Kau ingat hari itu Nana? Hari pertama saat kau mengajakku e tempat ini.Perasaan senang yang membuncah masih sama kadarnya dengan perasaan ku setiap kali aku menginjakkan kai di tempat ini. hanya saja saat itu aku punya segudang beban hidup yang aku persulit sendiri dengan jalan fikiranku yang rumit.Ya, Tuhan tidak akan menguji kita jika tidak menyayangi kita, itu kan yang selalu kau kata kan.?” Kara menjatuhkan dirinya ditempat biasa di sebelah tempat duduk  Nana, Nana tetap diam.

“Ha! Aku ingat sesuatu. Kau menyukai lagu Angel_nya WestLife bukan? Aku akkan memutarkannya untuk mu.” Lalu Kara mengambil Ipod nya dari tas dan menyetel lagu. Untuk beberapa saat mereka hanya diam. Menikmati alunan musik yang dilatari dengan suara gesekan angin dengan rerumputan di sekeliling mereka, tak lama, lalu Kara berbaring.

“Waah lihatlah, langitnya begitu inidah bukan? Dan Nana, lihatlah, bulan yang indah.” Kara membentangkan tangannya dan bergumam, “Kuharap kau tidak keberatan jia besok besok aku akan kesini lagi.”

***

“Nana, kau tidak keberatan bukan jika hari ini aku kesini lagi? Dan lihat ini,” Kara mengangkat kuas dan kertas lukis,”Aku membawa alat utuk melukis. Kita bisa melukis seharian penuh di bukit ini. Kau bisa malukis apapun yang kau suka. Astaga... mengapa aku mendikte mu, kau kan memang ahli dalam melukis.” Kara tertawa kecil dan mengambil beberapa alat lukis dan menaruhnya disamping tempat dia duduk. “Ini untukmu, kau bisa mulai melukis sekarang.” Lalu Kara mengambil sendiri alat lukisnya, Nana tetap diam.

Untuk beberapa jam kedepan tidak ada percakapa atau suara yang beraarti. Hanya gesekan pensil dengan kertas lukis yang terdengar. Hingga sore menjelang Kara merentangkan tangannya dan menggeliat. “Aku sudah selesai Nana, lihat ini, aku melukiskan bulan untukmu. Kau boleh menyimpannya jia kau mau, tapi aku harus memoles sediit lagi untuk sentuhan  akhir, setelahselesai aku akan menghadiahkannya untuk mu.” Kara membereskan alat lukisnya dan menyimpannya di box kecil yang selalu Kara bawa kemana mana.

“Boleh ku lihat? Kau melukis apa?” Kara mengambil kertas lukis di sebelahnya, tarikan di bibirnya mengendur dan ada luka yang mulai membekas di matanya. Namun sebelum air matanya benar benar jatuh, Kara kembali tersenyum. “Aku tau, kau pasti meluis awan bukan? Baiklah, seharusnya aku tau itu. Ini,” kara meletakkan kembali kertas lukis dan menaruhnya  kembali disamping tempat dia duduk. Seseorang berjalan mendekati Kara, gaunnya lembut tertiup angin. “Kara? Sedang apa kau disini?” kara hanya diam, trsenyum memandangi matahari terbenam di hadapannya.”Waah indahnya, kau memang berbakat dalam melukis Kara.” Elis mengangkat lukisan Kara.

“Tidak Elis,” Kara menggeleng pelan, “Nana lebih berbakat.” Elis tertegun, ada rona sedih di wajah cantiknya. Lalu elis menyentuh pundak Kara.”Sebaiknya kau pulang, semua orang menunggumu di rumah. Kita aan berangkat sebentar lagi.” Lalu Elis pergi. Kara tertunduk, reflek menggigit bibir bawahnya. Tidak seharusnya Kara bersedih di hari ini, bukangkah dia sudah berjanji pada Nana untuk tidah menangis jika hari ini tiba. Ponse Kara bergetar lembut, ada pesan dari Mama. Kara? Kamu dimana? Kita aan kepemakaman Nana sebentar lagi. Kami semua menunggu mu.

Kara menoleh kesebelahnya. Kosong. Hanya ada selembar kertas luis yang kosong dan tak ada siapa siapa. Kara tau, seharusnya dia harus lebih siap untuk hari ini. hari ketika Nana pergi dan hari ketika Kara harus kembali belajar menerima kehilangan. Satuhal yang Kara rasakan saat ini, sendiri.





Tulisan yang dimuat adalah sepenuhnya milik penulis  risalah-online, bukan merupakan pernyataan dari risalah-online

No comments:

Post a Comment