Fadhil Warman
Sudah
sebulan ayah tak pulang. Aku sering bertanya pada ibu perihal ayah, namun yang
keluar dari mulut ibu hanyalah kata “sabar, ayah kau akan balik”. Aku tak bisa
mendengar perkataan itu selalu. Sampai-sampai ibu menatapku dengan tatapan yang
tak kusukai. Itu mengisyaratkan agar aku berhenti merocoki ibu.
Aku
adalah siswa SD kelas 5. Aku anak yang berprestasi di sekolah. Selalu setiap
pergantian semester aku mendapatkan dua besar, kalau tidak ranking satu, ya
ranking dua.
Kadang,
aku menangis sendirian di balik selimut yang sudah kusut. Aku menyembunyikan
kepalaku di sana. Walau aku anak lelaki, tapi menangis bukanlah penanda aku
cengeng.
Ibuku
adalah wanita yang jika keluar rumah selalu mengenakan pakaian serba hitam. Ia
selalu menutup mulutnya dengan kain yang juga berwarna hitam. Ibu memang jarang
berbicara. Tetangga sebelah sering menanyakan keadaan ibu padaku. Entahlah, ibu
kalau tidak berdoa, ia membaca kitab suci dan itu bisa berlarut-larut.
Ibu
juga sering pergi ke masjid yang berada di kampung sebelah. Isinya adalah orang
sejenis ibu‒pakaian lebar dan jilbab sampai ke lutut. Aku sering ikut bersama
ibu. Tapi sewaktu ceramah dimulai aku bermain-main bersama teman sebayaku.
Pakaian
ayah sama dengan orang yang menyampaikan ceramah. Baju yang kasar seperti bulu
domba sepanjang lututnya, dan celana yang tak terlalu panjang hanya sampai pada
betis. Aku sering disuruh ayah memakai celana seperti dia, walaupun ibu
membiarkanku memakai celana seperti apa yang kumau. Sampai-sampai ayah memotong
celana merahku dan menjahitnya sendiri.
Ayah
juga pernah melarangku memasukkan seragam putih ke dalam celana. Tentu saja, di
sekolah guruku memarahiku dan menyuruh agar memasukkan kembali.
Tapi,
sekarang aku tak dapat melihat batang hidung ayah lagi. Sudah lama ia tak
kembali ke rumah. Aku yakin ibu tak mengetahui keberadaan ayah.
Pernah
suatu hari aku mengintip ayahku saat malam di kamarnya. Kulihat ibu tertidur
dengan pulas, sedangkan ayah sedang membongkar pasang sesuatu. Ia memegang
benda berwarna hijau dan ditengah-tengahnya ada tombol berwarna merah. Aku
pernah membawa satu ke sekolah. Teman-temanku berebut ingin melihatnya. Salah
seorang teman perempuan berkata dengan lantang, ini adalah granat.
Aku
tak tahu perisi apa granat itu. Tapi yang penting saat aku memencet tombol
merah, tak terjadi apapun. Aku sering melihat ayah membongkar benda itu. Aku
ingin seperti ayah, ahli bongkar-pasang benda.
“Kemarilah,”
kata ibu, “sebentar lagi ayahmu datang. Mungkin ia membawa makanan untuk kita.”
Seorang
lelaki dengan dagu sampai pipi ditumbuhi ijuk-ijuk kasar yang agar keriting
mendekatiku. “Apa kabarmu, Abdullah?” sapanya.
Ia
mengenakan pakaian putih selutut, yang sekarang sudah tak tampak putih karena
noda hitam dimana-mana. Ia tampak seperti hantu di televisi. Badannya
dilindungi jaket lusuh hitam dan kepalanya dililit kain putih agak
kehitam-hitaman. Ia jelek dan bau.
Aku
mundur ke belakang. Siapakah pria itu?
Apakah itu ayah?.
“Sudah
sampai mas? Sejak kapan tiba?”
Ibu
membuka sepatu ayah dan meletakkan kaus kaki yang telah lama tersimpan di
lemari buat dipakai ayah nantinya. Pria itu merogoh isi sakunya. Ia
mengeluarkan beberapa rupiah yang telah ia gulung. Menyodorkan kepada ibu dan
itu adalah perpisahan lagi.
“Sudah
sebulan ayah meninggalkanku. Dan sekarang ayah langsung pergi?”
“Ayah
harus bekerja, Abdullah.”
“Memang
pekerjaan ayah apa?”
“Membela
kebenaran.”
“Pembela
kebenaran pakaiannya tak seperti ayah. Sepatunya bukan sepatu seperti itu.
mereka memakai pakaian loreng-loreng yang sangat pas dengan bentuk tubuh
mereka.”
“Ayah
membela kebenaran untuk Tuhan.”
“Berapa
gajinya, ayah?”
“Ayah
tak digaji.”
“Asal
ayah tahu, kantongku tak pernah berisi uang. Teman-temanku lah yang
membayariku. Kadang ayah mereka memberi 20 ribu atau 30 ribu.” kataku, “Ayah
teman-temanku juga bekerja. Tapi tak selama ayah. Pakaian ayah mereka juga
bagus dan rapi, dengan dasi yang tetap terpasang melingkari leher mereka.”
“Ayah, guru-guruku menannyaimu. Apakah ayah
bisa datang?”
Kulihat
ibu tetap diam dan memandang ke bawah. Secercah air mata menghiasi sudut mata
ibu.
“Maafkan
ayah Abdullah. Ayah harus pergi. Waktunya telah datang.”
Ayah
mencium keningku, juga ibu. Kami saling bersalaman. Hujan di luar rumah tak
menghalangi ayah buat pergi. Ia terus tenggelam bersama hujan dan malam.
Aku
berlari mengejar ayah, “Ayah, ini payung buatmu.”
Tapi
ayah tak menghiraukanku, “apakah ayah tak sayang padaku, tak sayang pada kami.”
Sebuah
sungai telah terbentuk di bawah mata ibu. Dan itu cukup untuk membuat ikan
berenang di dalamnya.
***
Belum
selesai pelajaran hari ini, ibu datang ke sekolahku. Sambil memegang tanganku,
ibu mengajakku pulang. Ia mengunci pintu dan menghidupkan TV. Kulihat mulut ibu
berkomat-kamit, memanjatkan doa yang terus ia ucapkan. Tasbih telah ia pegang
dan terus ia gerakkan.
Ibu
memelukku, sejak seminggu kepergian ayah perilaku ibu mulai berubah. Ia tak mau
keluar bahkan buat membeli garam di kedai dekat rumah. Akulah yang menggantikan
ibu dalam hal belanja.
Besok
paginya kami dibangunkan oleh suara orang yang mengetuk pintu dengan tak sabar.
Mereka mendobrak pintu itu, padahal itukan bukan miliknya. Mereka menyeruduk
seperti babi yang kelapan, membawa barang-barang dari kamar ayah. Ia juga
menyerek ibu yang tetap mengenakan pakaian serba hitam. Sedangkan aku, ia minta
air ludah dan rambutku.
Aku
menghidupkan TV, kulihat pembaca berita itu menyiarkan seorang yang namanya
seperti nama ayahku. Anto alian Susanto alias Marto. Aku tak tahu yang mana
nama ayah. Ia diberitakan telah meledakkan dirinya di dekat gereja yang
bersebelahan dengan pusat perbelanjaan.
Aku
mencocokkan wajah lelaki di TV itu dengan foto yang ada di album keluarga. Tak
mirip. Tak mungkin ayah melakukan itu. Pekerjaan adalah seorang pembela
kebenaran. Ia bahkan mau bekerja tanpa digaji sedikitpun. Ayah juga bekerja
untuk Tuhan. Itu adalah pekerjaan yang mulia. Tak banyak orang yang dapat
melakukannya seperti ayahku.
Tapi
mengapa ibu diseret paksa begitu? Aku teringat pada pria jelek dan bau yang
datang diwaktu malam yang diselimuti hujan yang memberikan gulungan uang kepada
ibu.
Padang, Januari 2017
Tulisan
yang dimuat adalah sepenuhnya milik penulis risalah-online, bukan merupakan
pernyataan dari risalah-online
No comments:
Post a Comment