Friday, 10 March 2017

Cinta Seorang Lelaki Penjual Parfum


Fadhil Warman

Udara dingin di luar rumah membuat pohon menggigil. Rumah yang hanya dilindungi oleh kayu-kayu yang telah lapuk itu juga kedinginan, begitupun isinya. Seorang perempuan dan dua anak lelakinya juga kedinginan. Mereka merapatkan selimut yang telah lusuh, bekas pemberian pemerintah semasa gempa September 2009.

“Umi, Syahid lapar.”


“Iya nak. Umi sedang menanak nasi. Sebentar lagi nasinya masak. Sebaiknya kamu tidur dulu, jika nanti nasinya matang umi bangunkan.”

Ratih berusaha menyunggingkan senyum di bibirnya yang pucat. Perut dia juga belum diiisi dari tadi siang. Sarapan tadi pagi adalah nasi yang diberikan Etek Eti, sisa baralek anaknya yang kedua.

Tak kuat ia menahan air mata itu keluar. Sudut matanya telah dipenuhi air mata yang sewaktu-waktu dapat keluar membanjiri rumah yang hanya dialasi semen yang membuat lantai rumah itu tambah dingin.

Kedua anaknya telah tertidur dengan pulas. Semoga mereka tak bangun, tertidur sampai pagi, batinnya. Apa hal yang membuat nasi itu masak, tak akan masak hingga kapanpun. Yang dimasak Ratih adalah batu-batu yang diambilnya tadi sore di belakang rumah.

Hening. Tak ada suara apapun kecuali kompor kayu yang tetap mendidihkan air. Dibukanya penutup panci penanak nasi, saat itulah air matanya meleleh. Membuat banjir rumahnya. Tak dapat ia menahan sakit akibat melihat kedua anaknya tidur sambil memegangi perut.

Bang Andre yang terus jauh darinya. Betapa dulunya ia mencintai lelaki yang membantu ayahnya mencari bantuan untuk pembangunan masjid. Ia jatuh hati pada lelaki itu, seorang lelaki dengan janggut memenuhi dagunya.

Saat itulah cinta itu bersemi, tumbuh sampai tak bisa dihentikan. Bang Andre melamar Ratih ke ayahnya yang bekerja sebagai petani‒juga sebagai pembersih di salah satu sekolah swasta.

Mau dikata apa, ayahnya setuju dengan pernikahan itu. Berkuranglah beban keluarganya. Biarpun lelaki itu bekerja bebas, tak apalah yang penting anak perempuan satu-satunya yang ia miliki itu bahagia. Tak ada uang untuk membiayai keluarganya lebih banyak. Jika ada lelaki yang mau kepada anaknya ia menyetujui dengan mudah. Tak ada dalam hidupnya memilih calon suami buat anaknya.

“Aku cinta kamu dek. Aku cinta kamu sejak pertama kali Allah mempertemukan kita.”

“Aku juga bang. Aku cinta kamu karena Allah.”

Pernikahan itu berlangsung. Hari-hari dilaluinya dengan mudah. Bang Andre bisa memberinya uang tiap hari buat membeli nasi.

Tapi, sejak bang Andre ikut jamaahnya ke Kalimantan buat berjualan parfum, sejak itulah cobaan itu dimulai. Hari-harinya dilalui dengan sendiri. Bahkan anak kedua lahir tanpa ada bapak di sampingnya.

Bang Andre tiap minggu keluar mengenakan pakaian putih yang agak kumur yang panjangnya selutut dengan celana gantung di atas mata kaki. Dia juga tak lupa memelihara jenggot yang terus tumbuh di dagunya.

Ratih amat mencintai suaminya, namun apakah cinta itu dapat membuat perutnya kenyang, beserta anak-anaknya?

Sekarang mereka tidur dengan perut kosong. Beberapa kali Ratih terbangun akibat perutnya yang berbunyi tak karuan. Sakit itu tak dapat ditahan lagi. Ia merintih, membangunkan kedua putranya yang tertidur.

“Umi, nasinya telah masak?”

“O iya nak, umi lupa menengoknya. Tunggu sebentar ya, umi tengok dulu.”

Ratih menggerakkan kaki yang sebenarnya telah lemah dan tak dapat digerakkan lagi. Ia paksakan agar tetap bisa melangkah. Api yang tadi telah ia padamkan sekarang dihidupkan lagi.

“Wah, sebentar lagi nasinya masak. Kalian tidur lagi ya. Tenang.”

“Tapi Randi lapar sekali mi. Abi mana mi?”

Mulutnya kelu, tak ada jawaban yang dapat ia berikan.

“Abi kalian sedang mencari uang buat beli ayam.”

“Hore.... Abi beli ayam. Akhirnya kita makan ayam ya mi.”

Hanya senyuman yang dapat ia balas. Kedua anaknya perlahan-lahan mengatupkan mata mereka.

Ratih keluar rumah. Berjalanan. Berharap ada orang baik yang menyedekahkan sedikit rezeki yang Allah berikan kepada mereka. Sekarang libur tahun baru. Manusia menyemut di jalanan. Ia merasa asing dengan pakaian yang serba tertutup itu.

Seorang perempuan dengan rok sepaha mendatanginya.

“Assalamu’alaikum.” Sapanya.

Ratih tersenyum, sambil membalas salam yang diucapkan perempuan tadi.

“Kamu mau kerja? Ada lelaki di ujung sana yang tertarik padamu, ia membayar mahal untuk itu, lima belas juta, cukup?”

Ratih menggelengkan kepala. Ia lari menjauhi kerumunan itu. Dibukanya pintu, dan ditutupnya keras-keras. Suara itu kembali membangunkan kedua anaknya yang sedang asik bermimpi.

“Umi, perutku sangat sakit.” Anaknya menangis dengan keras. Ia memegangi perutnya kuat-kuat, tak bisa menahan sakit perut yang terus menggerubuti.

Cinta tak bisa memenuhi perut anakku. Ia keluar rumah dengan air mata yang berurai. Ratih berlari ke kerumunan tadi. Menemui wanita dengan rok sepaha yang tetap berdiri dengan segelas wine di tangannya.

“Mbak, tadi aku disuruh menemui mas itu? Tunjukkan aku jalannya.”

Padang, Februari 2017


Fadil Ahmadhia Warman, seorang peminat sastra, tulisan saya masuk ke dalam buku antologi cerpen ‘Yang Tak Terhapus Waktu’



No comments:

Post a Comment