Fadhil
Warman
Udara
dingin di luar rumah membuat pohon menggigil. Rumah yang hanya dilindungi oleh
kayu-kayu yang telah lapuk itu juga kedinginan, begitupun isinya. Seorang
perempuan dan dua anak lelakinya juga kedinginan. Mereka merapatkan selimut
yang telah lusuh, bekas pemberian pemerintah semasa gempa September 2009.
“Umi,
Syahid lapar.”
“Iya
nak. Umi sedang menanak nasi. Sebentar lagi nasinya masak. Sebaiknya kamu tidur
dulu, jika nanti nasinya matang umi bangunkan.”
Ratih
berusaha menyunggingkan senyum di bibirnya yang pucat. Perut dia juga belum
diiisi dari tadi siang. Sarapan tadi pagi adalah nasi yang diberikan Etek Eti, sisa baralek anaknya yang kedua.
Tak
kuat ia menahan air mata itu keluar. Sudut matanya telah dipenuhi air mata yang
sewaktu-waktu dapat keluar membanjiri rumah yang hanya dialasi semen yang
membuat lantai rumah itu tambah dingin.
Kedua
anaknya telah tertidur dengan pulas. Semoga
mereka tak bangun, tertidur sampai pagi, batinnya. Apa hal yang membuat
nasi itu masak, tak akan masak hingga kapanpun. Yang dimasak Ratih adalah
batu-batu yang diambilnya tadi sore di belakang rumah.
Hening.
Tak ada suara apapun kecuali kompor kayu yang tetap mendidihkan air. Dibukanya
penutup panci penanak nasi, saat itulah air matanya meleleh. Membuat banjir
rumahnya. Tak dapat ia menahan sakit akibat melihat kedua anaknya tidur sambil
memegangi perut.
Bang
Andre yang terus jauh darinya. Betapa dulunya ia mencintai lelaki yang membantu
ayahnya mencari bantuan untuk pembangunan masjid. Ia jatuh hati pada lelaki
itu, seorang lelaki dengan janggut memenuhi dagunya.
Saat
itulah cinta itu bersemi, tumbuh sampai tak bisa dihentikan. Bang Andre melamar
Ratih ke ayahnya yang bekerja sebagai petani‒juga sebagai pembersih di salah
satu sekolah swasta.
Mau
dikata apa, ayahnya setuju dengan pernikahan itu. Berkuranglah beban
keluarganya. Biarpun lelaki itu bekerja bebas, tak apalah yang penting anak
perempuan satu-satunya yang ia miliki itu bahagia. Tak ada uang untuk membiayai
keluarganya lebih banyak. Jika ada lelaki yang mau kepada anaknya ia menyetujui
dengan mudah. Tak ada dalam hidupnya memilih calon suami buat anaknya.
“Aku
cinta kamu dek. Aku cinta kamu sejak pertama kali Allah mempertemukan kita.”
“Aku
juga bang. Aku cinta kamu karena Allah.”
Pernikahan
itu berlangsung. Hari-hari dilaluinya dengan mudah. Bang Andre bisa memberinya
uang tiap hari buat membeli nasi.
Tapi,
sejak bang Andre ikut jamaahnya ke Kalimantan buat berjualan parfum, sejak
itulah cobaan itu dimulai. Hari-harinya dilalui dengan sendiri. Bahkan anak
kedua lahir tanpa ada bapak di sampingnya.
Bang
Andre tiap minggu keluar mengenakan pakaian putih yang agak kumur yang
panjangnya selutut dengan celana gantung di atas mata kaki. Dia juga tak lupa
memelihara jenggot yang terus tumbuh di dagunya.
Ratih
amat mencintai suaminya, namun apakah cinta itu dapat membuat perutnya kenyang,
beserta anak-anaknya?
Sekarang
mereka tidur dengan perut kosong. Beberapa kali Ratih terbangun akibat perutnya
yang berbunyi tak karuan. Sakit itu tak dapat ditahan lagi. Ia merintih,
membangunkan kedua putranya yang tertidur.
“Umi,
nasinya telah masak?”
“O
iya nak, umi lupa menengoknya. Tunggu sebentar ya, umi tengok dulu.”
Ratih
menggerakkan kaki yang sebenarnya telah lemah dan tak dapat digerakkan lagi. Ia
paksakan agar tetap bisa melangkah. Api yang tadi telah ia padamkan sekarang
dihidupkan lagi.
“Wah,
sebentar lagi nasinya masak. Kalian tidur lagi ya. Tenang.”
“Tapi
Randi lapar sekali mi. Abi mana mi?”
Mulutnya
kelu, tak ada jawaban yang dapat ia berikan.
“Abi
kalian sedang mencari uang buat beli ayam.”
“Hore....
Abi beli ayam. Akhirnya kita makan ayam ya mi.”
Hanya
senyuman yang dapat ia balas. Kedua anaknya perlahan-lahan mengatupkan mata
mereka.
Ratih
keluar rumah. Berjalanan. Berharap ada orang baik yang menyedekahkan sedikit
rezeki yang Allah berikan kepada mereka. Sekarang libur tahun baru. Manusia
menyemut di jalanan. Ia merasa asing dengan pakaian yang serba tertutup itu.
Seorang
perempuan dengan rok sepaha mendatanginya.
“Assalamu’alaikum.”
Sapanya.
Ratih
tersenyum, sambil membalas salam yang diucapkan perempuan tadi.
“Kamu
mau kerja? Ada lelaki di ujung sana yang tertarik padamu, ia membayar mahal
untuk itu, lima belas juta, cukup?”
Ratih
menggelengkan kepala. Ia lari menjauhi kerumunan itu. Dibukanya pintu, dan
ditutupnya keras-keras. Suara itu kembali membangunkan kedua anaknya yang
sedang asik bermimpi.
“Umi,
perutku sangat sakit.” Anaknya menangis dengan keras. Ia memegangi perutnya kuat-kuat,
tak bisa menahan sakit perut yang terus menggerubuti.
Cinta tak bisa memenuhi perut
anakku. Ia keluar rumah dengan
air mata yang berurai. Ratih berlari ke kerumunan tadi. Menemui wanita dengan
rok sepaha yang tetap berdiri dengan segelas wine di tangannya.
“Mbak,
tadi aku disuruh menemui mas itu? Tunjukkan aku jalannya.”
Padang, Februari 2017
Fadil Ahmadhia Warman, seorang
peminat sastra, tulisan saya masuk ke dalam buku antologi cerpen ‘Yang Tak
Terhapus Waktu’
No comments:
Post a Comment