Oktarizal Fiardi
Ahad, 17 April 2016.
Antara Maghrib dan Isya, beberapa siswa mendatangi ustadznya. “Ustadz,
bagaimana kalau malam ini kita mengadakan pertandingan futsal antar halaqah
tarbiyah (kelompok mentoring)? Teman-teman kami sudah siap untuk bertanding
malam ini.” Ujar mereka penuh semangat.
Setelah diam sejenak,
sang ustadz bertanya kepada mereka, “Apakah murabbi kalian sudah tahu, kalian
mau bertanding futsal malam ini?
Dengan malu-malu mereka
menjawab, “Belum, Ustadz.”
“Dalam proses tarbiyah,
salah satu fungsi murabbi adalah sebagai orang orang tua.” Pesan sang ustadz
kepada murid-muridnya. “Jika kalian ingin mengadakan agenda atas nama halaqah,
kasih tahu murabbi terlebih dahulu dan mintalah izinnya.” Lanjut sang ustadz mengingatkan.
“In-sya Allah,
Ustadz. Kami akan memberitahu dan minta izin murabbi untuk pertandingan futsal
antar halaqah.” Murid-murid menjawab dengan kompak.
“Kemudian yang mesti
kalian ingat dengan baik, jangan sampai semangat kalian main futsal mengalahkan
semangat hadir di halaqah. Kalian harus lebih memprioritaskan dan
menomorsatukanhalaqah daripada futsal.” Nasehat sang ustadz menutup
pembicaraan sebelum mereka izin undur diri.
Esok harinya, Senin, 18
April 2016. Setelah menghadiri pesta pernikahan salah seorang teman. Di perjalanan
pulang, tiba-tiba sang ustadz menerima telpon dari seorang teman yang gemar
main futsal, “Ustadz, malam ini, setelah shalat Isya. In-sya Allah kita
akan main futsal berhadapan dengan siswa kelas XI Madrasah Aliyah. Malam ini
mereka ingin membalas kekalahan mereka pada pertandingan sebelumnya.”
Ketika handphone masih
menempel di telinga, sang ustadz teringat, malam ini beliau ada agendahalaqah
dengan murid-muridnya.
Sesampai di rumah, sang
ustadz membaca pesan WhasApp yang dikirim teman lain yang juga gemar main futsal, “Ustadz, malam ini,
anak-anak kelas XI Madrasah Aliyah menantang para Ustadz untuk bertanding
futsal.” Beliau menambahkan, salah seorang ustadz senior yang sangat disegani
dan mendapat tempat khusus di hati para siswa juga akan ikut main di
pertandingan malam ini.
Setelah membaca pesan
WhatsApp, sang ustadz tidak hanya teringat dengan jadwal halaqahnya
malam ini. Ingatannya kembali lagi ke pembicaraan menjelang Maghrib kemarin
dengan beberapa siswa. Mereka minta izin untuk mengadakan pertandingan futsal
antar halaqah. Dan beliau berpesan kepada mereka, “Kalian harus lebih
memprioritaskan dan menomorsatukan halaqah daripada futsal.”
Dalam hatinya, sang
ustadz berkata, “Ini adalah ujian keteladanan. Apakah saya mampu komitmen
dengan kata-kata dan nasehat saya? Ataukah saya akan menjadi pribadi yang
memberikan contoh tentang ketidakserasian antara ucapan dengan perbuatan?”
*********
Tugas utama seorang
guru, pendidik, ustadz ataupun murabbi bukan sekedar mentrasfer ilmu yang
mereka miliki. Kewajiban utama dan tugas paling berat seorang guru adalah
menjadi teladan bagi para murid. Begitu juga halnya dengan seorang murabbi, ia
harus mampu menyelaraskan antara perkataan dan perbuatan. Tidak boleh ada
perbedaan antara yang diucapkan dengan yang dikerjakan.
“Wahai orang-orang yang
beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan. (Itu) sangatlah
dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.”
(QS. Ash Shaf:2-3)
“...Aku tidak bermaksud
menyelesihi kalian terhadap sesuatu yang aku larang kalian mengerjakannnya. Aku
hanya bermaksud (melakukan) perbaikan selama aku masih sanggup. Dan petunjuk
yang aku ikuti hanya dari Allah. Kepada-Nya aku bertawakal dan kepada-Nya
(pula) aku kembali.” (QS. Hud: 88)
Dr. Yusuf al Qaradlawiy
juga pernah memberikan wejangan, “Perkataan dianggap tercela jika lebih banyak
dari amal perbuatan. Dan lebih tercela lagi jika tidak diiringi amal perbuatan.
Dan lebih lebih tercela lagi jika bertentangan dengan amal perbuatan.”
Hasan al Bashri, salah
seorang ulamat tabi’in, suatu ketika pernah diminta untuk berkhutbah tentang
memerdekakan budak. Selama tiga kali Jumat sejak diminta, beliau tidak pernah
sedikitpun menyinggung masalah perbudakan dalam khutbahnya. Baru pada Jumat
keempat, beliau berkhutbah dengan lantang tentang memerdekakan budak.
Seusai mendengar
khutbah Hasan al Bashri, para pemilik budak pun beramai-ramai memerdekakan
budaknya.
Ketika ditanya, ”Kenapa
baru sekarang Anda berkhutbah tentang memerdekan budak?”
“Seperti yang kalian
ketahui, saya tidak punya budak. Dan selama tiga minggu saya menabung untuk
membeli budak. Setelah tabungan saya cukup, saya pun membeli budak dan dia saya
merdekakan.”
Saya teringat, salah
seorang murid pernah bercerita tentang
pembina adiknya di asrama. Si adik takjub dan salut dengan pembinanya
yang selalu bangun sebelum pukul 04.00 WIB. Si adik sangat ingin meneladani
pembinanya, sebelum pukul 04.00 WIB sudah terbangun.
Bermunajat di saat orang lain masih terlelap dan dibuai mimpi.
No comments:
Post a Comment