Monday 6 February 2017

Ayah




Fadhil Warman

Sudah sebulan ayah tak pulang. Aku sering bertanya pada ibu perihal ayah, namun yang keluar dari mulut ibu hanyalah kata “sabar, ayah kau akan balik”. Aku tak bisa mendengar perkataan itu selalu. Sampai-sampai ibu menatapku dengan tatapan yang tak kusukai. Itu mengisyaratkan agar aku berhenti merocoki ibu.


Aku adalah siswa SD kelas 5. Aku anak yang berprestasi di sekolah. Selalu setiap pergantian semester aku mendapatkan dua besar, kalau tidak ranking satu, ya ranking dua.

Kadang, aku menangis sendirian di balik selimut yang sudah kusut. Aku menyembunyikan kepalaku di sana. Walau aku anak lelaki, tapi menangis bukanlah penanda aku cengeng.

Ibuku adalah wanita yang jika keluar rumah selalu mengenakan pakaian serba hitam. Ia selalu menutup mulutnya dengan kain yang juga berwarna hitam. Ibu memang jarang berbicara. Tetangga sebelah sering menanyakan keadaan ibu padaku. Entahlah, ibu kalau tidak berdoa, ia membaca kitab suci dan itu bisa berlarut-larut.

Ibu juga sering pergi ke masjid yang berada di kampung sebelah. Isinya adalah orang sejenis ibu‒pakaian lebar dan jilbab sampai ke lutut. Aku sering ikut bersama ibu. Tapi sewaktu ceramah dimulai aku bermain-main bersama teman sebayaku.

Pakaian ayah sama dengan orang yang menyampaikan ceramah. Baju yang kasar seperti bulu domba sepanjang lututnya, dan celana yang tak terlalu panjang hanya sampai pada betis. Aku sering disuruh ayah memakai celana seperti dia, walaupun ibu membiarkanku memakai celana seperti apa yang kumau. Sampai-sampai ayah memotong celana merahku dan menjahitnya sendiri.

Ayah juga pernah melarangku memasukkan seragam putih ke dalam celana. Tentu saja, di sekolah guruku memarahiku dan menyuruh agar memasukkan kembali.

Tapi, sekarang aku tak dapat melihat batang hidung ayah lagi. Sudah lama ia tak kembali ke rumah. Aku yakin ibu tak mengetahui keberadaan ayah.

Pernah suatu hari aku mengintip ayahku saat malam di kamarnya. Kulihat ibu tertidur dengan pulas, sedangkan ayah sedang membongkar pasang sesuatu. Ia memegang benda berwarna hijau dan ditengah-tengahnya ada tombol berwarna merah. Aku pernah membawa satu ke sekolah. Teman-temanku berebut ingin melihatnya. Salah seorang teman perempuan berkata dengan lantang, ini adalah granat.

Aku tak tahu perisi apa granat itu. Tapi yang penting saat aku memencet tombol merah, tak terjadi apapun. Aku sering melihat ayah membongkar benda itu. Aku ingin seperti ayah, ahli bongkar-pasang benda.

“Kemarilah,” kata ibu, “sebentar lagi ayahmu datang. Mungkin ia membawa makanan untuk kita.”

Seorang lelaki dengan dagu sampai pipi ditumbuhi ijuk-ijuk kasar yang agar keriting mendekatiku. “Apa kabarmu, Abdullah?” sapanya.

Ia mengenakan pakaian putih selutut, yang sekarang sudah tak tampak putih karena noda hitam dimana-mana. Ia tampak seperti hantu di televisi. Badannya dilindungi jaket lusuh hitam dan kepalanya dililit kain putih agak kehitam-hitaman. Ia jelek dan bau.

Aku mundur ke belakang. Siapakah pria itu? Apakah itu ayah?.

“Sudah sampai mas? Sejak kapan tiba?”

Ibu membuka sepatu ayah dan meletakkan kaus kaki yang telah lama tersimpan di lemari buat dipakai ayah nantinya. Pria itu merogoh isi sakunya. Ia mengeluarkan beberapa rupiah yang telah ia gulung. Menyodorkan kepada ibu dan itu adalah perpisahan lagi.

“Sudah sebulan ayah meninggalkanku. Dan sekarang ayah langsung pergi?”

“Ayah harus bekerja, Abdullah.”

“Memang pekerjaan ayah apa?”

“Membela kebenaran.”

“Pembela kebenaran pakaiannya tak seperti ayah. Sepatunya bukan sepatu seperti itu. mereka memakai pakaian loreng-loreng yang sangat pas dengan bentuk tubuh mereka.”

“Ayah membela kebenaran untuk Tuhan.”

“Berapa gajinya, ayah?”

“Ayah tak digaji.”

“Asal ayah tahu, kantongku tak pernah berisi uang. Teman-temanku lah yang membayariku. Kadang ayah mereka memberi 20 ribu atau 30 ribu.” kataku, “Ayah teman-temanku juga bekerja. Tapi tak selama ayah. Pakaian ayah mereka juga bagus dan rapi, dengan dasi yang tetap terpasang melingkari leher mereka.”

 “Ayah, guru-guruku menannyaimu. Apakah ayah bisa datang?”

Kulihat ibu tetap diam dan memandang ke bawah. Secercah air mata menghiasi sudut mata ibu.

“Maafkan ayah Abdullah. Ayah harus pergi. Waktunya telah datang.”

Ayah mencium keningku, juga ibu. Kami saling bersalaman. Hujan di luar rumah tak menghalangi ayah buat pergi. Ia terus tenggelam bersama hujan dan malam.

Aku berlari mengejar ayah, “Ayah, ini payung buatmu.”

Tapi ayah tak menghiraukanku, “apakah ayah tak sayang padaku, tak sayang pada kami.”

Sebuah sungai telah terbentuk di bawah mata ibu. Dan itu cukup untuk membuat ikan berenang di dalamnya.

***

Belum selesai pelajaran hari ini, ibu datang ke sekolahku. Sambil memegang tanganku, ibu mengajakku pulang. Ia mengunci pintu dan menghidupkan TV. Kulihat mulut ibu berkomat-kamit, memanjatkan doa yang terus ia ucapkan. Tasbih telah ia pegang dan terus ia gerakkan.

Ibu memelukku, sejak seminggu kepergian ayah perilaku ibu mulai berubah. Ia tak mau keluar bahkan buat membeli garam di kedai dekat rumah. Akulah yang menggantikan ibu dalam hal belanja.

Besok paginya kami dibangunkan oleh suara orang yang mengetuk pintu dengan tak sabar. Mereka mendobrak pintu itu, padahal itukan bukan miliknya. Mereka menyeruduk seperti babi yang kelapan, membawa barang-barang dari kamar ayah. Ia juga menyerek ibu yang tetap mengenakan pakaian serba hitam. Sedangkan aku, ia minta air ludah dan rambutku.

Aku menghidupkan TV, kulihat pembaca berita itu menyiarkan seorang yang namanya seperti nama ayahku. Anto alian Susanto alias Marto. Aku tak tahu yang mana nama ayah. Ia diberitakan telah meledakkan dirinya di dekat gereja yang bersebelahan dengan pusat perbelanjaan.

Aku mencocokkan wajah lelaki di TV itu dengan foto yang ada di album keluarga. Tak mirip. Tak mungkin ayah melakukan itu. Pekerjaan adalah seorang pembela kebenaran. Ia bahkan mau bekerja tanpa digaji sedikitpun. Ayah juga bekerja untuk Tuhan. Itu adalah pekerjaan yang mulia. Tak banyak orang yang dapat melakukannya seperti ayahku.

Tapi mengapa ibu diseret paksa begitu? Aku teringat pada pria jelek dan bau yang datang diwaktu malam yang diselimuti hujan yang memberikan gulungan uang kepada ibu.


Padang, Januari 2017





Tulisan yang dimuat adalah sepenuhnya milik penulis  risalah-online, bukan merupakan pernyataan dari risalah-online

No comments:

Post a Comment