Fadil Ahmadhia Warman, MA
ArRisalah
Kita memang tidak lagi hidup di
zaman Nabi. Bukan sedang berada di mimbar dakwah. Bukan sedang bersemayam di
lingkungan santri. Namun, apakah akidah mengenal batas teritorial? Apakah
Alquran mengenal kadaluwarsa?
Kawan, mau sejauh manapun zaman
berubah. Mau secanggih apapun teknologi berkembang. Mau sepanjang apapun jalan
kenangan. Mau semanis apapun rayuan setan. Pedoman kita tetaplah Alquran.
Alquran yang tanpa revisi, edisi, amandemen atau hasil karya dari sejumlah
pengarang. Ketahuilah, kita hanya miliki satu yang sama untuk semua.
Lantas, karena ia pedoman, sumber
kita. Sampai hadits sebagai tambahannya. Semua yang ada di dalamnya berarti
mesti kita jalankan tanpa perlu banyak alasan.
Termasuk yang satu ini, “Dan
janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Q.S. Al – Israa: 32)
Kalau begitu, pertanyaan pada
judulnya sudah terjawabkah?
Ya harusnya begitu. Namun,masih ada yang gak paham atau mungkin pura-pura gak
paham.
“Lah saya pacaran kan cuma status,
gak ngapa-ngapain kok, apalagi berbuat zina.”
“Pacaran kan hanya sekedar nama.”
Memang benar kok, sebenarnya pacaran
itu bukan “nama”nya yang salah. Tapi… ya perbuatannya itu yang jelas menjurus
ke hal yang salah.
Nggak tahu ya darimana asalnya
kata ini. Namun yang pasti istilah
pacaran ini telah berkembang begitu hebat melebihi kapasitas hebat itu sendiri.
Bahkan beberapa oknum memperluas namanya menjadi berbagai nama, misalnya:
pacaran islami.
Tapi apapun namanya, kemaksiatannya
tetap terjadi.Meskipun kau katakan “kami tidak ngapa-ngapain“, apa benar
kalian bisa menahan untuk tidak smsan, chatingan? Apa benar kalian bisa
menahan untuk tidak ketemuan dengan hati yang bergejolak bagai dentuman?
Kawan, jika hal itu semua
diperbolehkan. Lantas, apa makna dari zina mata, zina lisan, zina pendengaran,
dan zina-zina lainnya yang turut beriringan?
“Kami tidak pacaran, hanya saling
jaga komitmen saja.”
Menjaga komitmen. Hem boleh juga.
(Boleh juga modusnya hehe)Kawan, yakinkah kalian tidak sering saling
memikirkan?Tidak pernah berdua-duaan atau boncengan?Tidak pernah saling panggil
dengan panggilan sayang?Ini sama saja. Sama-sama dekati zina. Cuma bedanya,
yang satu terang-terangan depan orang, dan yang satunya lagi berupaya
membungkusnya dengan sesuatu yang tidak terawang.
Kawan, aku pernah mendengar bahwa
komitmen hanya benar diakui saat khitbah dilaksanakan. Benar kan?Kamu
sang bidadari, tidak adalah doi berjanji suci sebelum benar ia berjabat tangan
dengan ayahmu di hari akad nanti.Dan kamu sang pangeran subuh, tidak adalah doi
boleh kau pegangi sebelum terucap kata sah dari para saksi di hari akad nanti.
“Kalau gak pacaran, saya tersiksa
dengan perasaan.”Kawan, kau bilang katanya tak bisa
menyangkal masalah perasaan.Namun bagaimana dengan sangkalanmu terhadap
ketaatan?Relakah kau gadaikan ketaatanmu demi memuaskan asa yang semu?Pernah
pepatah mengatakan “Jangan terlalu menggunakan perasaan, dahulukanlah
ketaatan!”Maknanya tak lain adalah kita mesti selalu dahulukanlah Allah, Allah
is the first of our priority list. Yakinlah hadiah atas kesabaran adalah
pahala yang tak terkira, bukan sekedar kebahagiaan yang sementara.
Bersabarlah…
Tiada kata ayah-bunda selagi akad
belum terwacana. Tiada sapa cintaku-sayang selagi
mahar belum terbentang. Tiada
panggil umi-abi selagi kata “sah” belum terbisiki.
Jadi, kata siapa pacaran itu
haram?Ya… Kata pedoman.Tapi, sebenarnya.. pacaran boleh kok.Asalkan…Sudah halal
alias menikah dan sah secara agama. (Hey… Ini bukan lagi soal tawar-menawar.
Ini tuntutan pedoman)
“Wahai para pemuda, barangsiapa di
antara kalian telah mampu menikah, maka menikahlah, karena menikah itu lebih
menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan, maka siapa saja yang belum
mampu baginya, berpuasalah. Karena sesungguhnya berpuasa itu baginya adalah
perisai.” (H.R. Bukhari, Muslim)
No comments:
Post a Comment