Thursday, 19 July 2018

Budaya Mencontek


Fadil Ahmadhia Warman, Alumni MA Perguruan Islam Ar Risalah

Pendidikan adalah hal yang penting bagi suatu bangsa. Bahkan pada masa Orde Lama, pemerintah mencanangkan wajib belajar 9 tahun. Tak ada yang boleh putus dari sekolah minimal sampai SMP. Namun, dewasa ini pendidikan yang hanya sampai tingkat SMP tak bisa dipakai untuk dunia pekerjaan. Minimal harus sampai DIII.


Ijazah yang didapat setelah lulus, itulah yang akan dibawa kemana-mana. Dengan mencantumkan nilai-nilai yang telah didapat. Apabila nilai yang kita bawa adalah nilai dari hasil murni tanpa contekan maka kita akan bangga. Tapi, jika nilai itu adalah dari hasil mencontek, bertanya dari orang lain, atau dari jalan kebohongan lainnya apakah kita akan bangga dengan ijazah tersebut?

Nilai di ijazah tersebut adalah hasil dari ketidakjujuran. Bagaiaman hal ini akan membuat kita bangga dalam dunia pekerjaan? Marilah kita berkaca pada negara-negara maju. Mereka tak membiarkan siswa-siswanya mencontek. Berbeda dengan negara Indonesia tercinta ini. Para guru‒entah untuk alasan apa‒memberikan kunci jawaban ujian nasional kepada para siswa. Mereka membuat soal UN, namun membocorkan jawaban dari soal-soal tersebut. Buat apa ujian kalau jawabannya telah diketahui dan disebarluaskan?

Kesadaran para siswa akan kejujuran dalam ujian masih kurang. Masih banyak ditemukan siswa yang mencontek, padahal telah disediakan CCTV di berbagai tempat. Pihak sekolah diharapkan lebih menjaga hal ini. Karena dari budaya mencontek di sekolah saat ujian maka mereka akan terbiasa dalam dunia pekerjaan yang akan mereka bawa pada dewasa nanti. Jika kita berkaca pada pemerintah Indonesia yang sedari dulu, mereka lebih banyak tidak jujur dan dusta. Mereka gadaikan kepentingan rakyat demi memenuhi kepentingan pribadai. Mereka penuhi perut-perut mereka dengan uang haram yang seharusnya diperuntukkan bagi rakyat. Perilaku pemerintah yang seperi ini bisa jadi karena mereka di masa mudanya telah terbiasa berperilaku tidak jujur, seperti mencontek saat ujian.
Berapa banyak kita menemukan pejabat negeri ini yang berperilaku jujur? Seorang polisi yang seharusnya bertugas mengayomi masyarakat rela menjual kepentingan rakyat untuk mengikuti nafsu belaka. Mereka meminta uang kepada rakyat kecil, jika mereka menilang. Padahal sudah jelas aturan yang berlaku di Indonesia.

Negeri ini adalah negeri seribu aturan, tertata rapi dalam berbagai aturan tertulis dan telah dibukukan. Namun, bagaimana pelaksanaannya? Aturan itu menguap begitu saja dan tidak dipentingkan. Mereka mengenyampingkan seluruh aturan itu dan menganggapnya sebagai tulisan yang tak ada ikatan dengan dirinya. Berapa banyak pemerintah kita yang disumpah dengan Al-Quran dan kitab suci agama mereka, namun apakah ada efek? Dapat dihitung dengan jari aparat yang berlaku jujur setelah disumpah.

Perilaku jujur sangat diperlukan dalam kehidupan. Bagaimana tidak? Seorang yang berlaku jujur lebih diutamakan daripada orang yang mulutnya penuh dusta. Masih ingatkah kita dengan seorang nabi palsu, Musailamah Al-Kazzab serta para pendusta lainnya. Bagaimanakah akhir dari kehidupan mereka? Mereka hancur dan mendapat murka dari Allah.

Marilah kita mulai dari diri sendiri untuk jujur dalam setiap keadaan. Mulailah dari hal kecil dulu, misalnya kita jujur dalam ujian. Usahakan dan cam-kan pada diri kita agar tak menoleh kiri-kanan. Jawablah setiap soal dengan yang termudah dulu. Biarkan soal yang sulit, jika waktunya masih tersisa maka kembali ke soal yang tadi dan jawab semampu kita. Yakinlah bahwa tak ada kebanggaan yang didapat dari curang dalam ujian. Apa gunanya nilai 100 tapi dari hasil mencontek? Itu adalah kebanggan yang semu dan tidak berperikemanusiaan.

Penulis mengajak kepada pembaca yang budiman agar selalu berperilaku jujur dalam setiap keadaan. Mulailah dari sekarang. Kalau bukan sekarang kapan lagi? Kalau bukan kita siapa lagi? Sesungguhnya Islam dibawa oleh orang-orang yang jujur.

No comments:

Post a Comment