Masih segar dalam ingatan kita bersama salah satu pemiihan
kepala daerah yang cukup menguras energi segenap bangsa Indonesia baru saja
usai, yaitu pemilihan gubernur DKI jakarta. Dimana yang ditetapkan sebagai
pemenang adalah paslon no urut 3, yaitu Bpk. Anies Baswedan dan Bpk. Sandiaga
Uno, sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih yang akan dilantik pada bulan
oktober nanti. Sementara Bpk. Basuki Tjahaya Purnama dan Bpk. Syaiful Djarot
harus puas menduduki tempat kedua.
Namun tulisan ini bukan untuk membahas bagaimana keduanya
memenangkan pilkada, analisis kemenangan ataupun komentar tentang bagaimana
pilkada ini berlangsung, namun bagaimana pendukung kedua kubu yang sangat
terpolarisasi. Dan bagaimana sepertinya pertarungan diantara kedua kubu masih akan
berlanjut di berbagai pertarungan kedepannya.
Pertanyaannya adalah mengapa?
Mengapa untuk sebuah dukung mendukung bisa sangat mengoyak
sebuah persatuan yang selama ini kita junjung atas nama “Indonesia”?
Mengapa untuk sebuah jabatan yang hanya akan diamanahi
selama lima tahun ada sebuah perbedaan yang sangat besar, sehingga memisahkan
sahabat, mengoyak keluarga, memusuhi tetangga, curiga pada kolega dan banyak
hal lainnya.
Mengapa kita bisa begitu tega dalam menyakiti orang-orang
yang berbeda pandangan dengan kita, hanya karena “saya pilih no .....”
Mungkin disini saya agak sedikit berlebihan, karena fenomena
yang nampak hanya pertarungan di sosial media dan atau media lainnya. Dan
sangat mungkin realita yang terjadi di masyarakat tidak seburuk apa yang nampak.
Oleh sebab itu jika memang keadaannya memang tak seburuk itu maka semoga negeri
ini akan baik-baik saja kedepannya.
Namun secara kasat mata di berbagai media banyak dilempar argumen
untuk pembenaran dari masing-masing kelompok terhadap pilihannya, dan bagaimana
pihak yang berlawanan dengan mereka adalah “salah”.
Tentu saja saya tidak dalam posisi menyatakan bahwa ada
pendapat yang benar, sementara yang lain salah. Karena setiap orang berhak
memaknai kebenaran secara berbeda, Namun esensi dari membangun bersama itulah
yang harus tetap dijaga.
Namun hari ini bibit perpecahan itu semakin kencang
berhembus. Setiap hari kita disuguhi perbedaan pendapat yang semakin meruncing
dan semakin mengarah pada disintegrasi bangsa ini. Kondisinya bagai menyimpan
api dalam sekam yang jika tidak cepat disadari bersama, maka akan membakar
hangus semua yang ada di dalamnya. Termasuk saya.
Hal ini membuat saya seringkali bertanya, mengapa sepertinya
ada yang sengaja menciptakan konflik horisontal ini? Apa yang mereka cari?
Sampai kapan konflik ini akan tetap berlangsung? Dan apa yang akan terjadi
kedepannya? Apakah Indonesia masih akan baik-baik saja?
Pertanyaan ini seringkali datang dan memaksa saya untuk
sedikit merenungkan, apa yang bisa saya lakukan untuk memperbaiki ini, benarkah
memang harus ada pertarungan antara “Jahat Vs Baik” yang terus menerus hingga
hari akhir nanti?
Akhirnya saya mencoba memikirkan jawaban saya sendiri,
karena ini mungkin yang paling pas buat saya. Jika pembaca memliki jawaban yang
berbeda dengan saya, tentu saya akan sangat menghormati pendapat tersebut.
Menurut hemat saya, pada akhirnya bukan dimana kita berdiri dalam
artian hubungan sosial masyarakat. Bukan bendera apa yang kita pegang dan
junjung tinggi-tinggi, namun pada bagaimana melihat keseluruhan orang disekitar
kita. Baik yang berbeda pandang, maupun yang memiliki kesamaan pandangan. Ini
semua tentang arti bagaimana kita menjaga apa yang diwariskan oleh para
pendahulu kepada kita, dalam lingkup bernegara. Saya boleh berbeda keyakinan, namun
tujuan bernegara harus sesuai dengan apa yang sudah disepakati bersama. Yaitu
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Apa yang dapat kita lakukan atau kebaikan kecil apa yang
dapat dilakukan yang berguna bagi orang disekitar. Tanpa mencederai atau
merusak toleransi yang selama ini sudah terbangun. Ndak perlu berpikir besar,
tapi mulai saja dari sebuah pertanyaan sederhana yaitu “Apakah apa yang akan
saya perbuat akan merusak kebersamaan atau membangun kembali hubungan sosial
tersebut?”
Pikirkan kembali sebelum memposting berita atau status yang
berpotensi merusak hubungan kita dengan orang-orang terdekat kita.
Apakah saya melarang jika ada yang merasa perlu untuk
meluruskan atau klarifikasi atas berita yang dimuat? Tentu tidak, namun jika
kita belum memliki pemahaman yang cukup atas sebuah permasalahan, maka akan
lebih baik jika berdiam atau mencoba meneruskan berita tersebut kepada pakar
yang berkompeten di bidangnya, maka itu akan lebih baik.
Namun jika merasa harus berdebat atau beradu argumen, maka
berargumenlah dengan sehat. Hati boleh panas namun kepala tetap dingin,
sehingga argumen yang disampaikan akan lebih mengena kepada orang lain yang
mungkin membaca perdebatan tersebut. Jika kawan berargumen sudah mulai
menyerang secara personal, maka sudahi perdebatan. Masyarakat sudah semakin
cerdas akan pihak yang pada dasarnya tidak memiliki kompetensi atau sekedar
mementingkan citra yang mati-matian diperjuangkan oleh orang tersebut.
Tentu saja pendapat diatas masih menyisakan beberap
pertanyaan seperti, apakah kita harus berdiam diri jika nilai-nilai yang kita
percaya sedikit demi sedikit digerus oleh mereka, hanya karena mereka masih
saudara kita?
Jika kita memiliki ilmu dalam meng-counter pernyataan yang
bersebrangan pihak dengan kita, mengapa tidak kita sampaikan dengan baik dan
benar kesalahan pendapat tersebut. Dan jika menurut kita ada yang perlu
diperbaiki dari pernyataan tersebut, namun kita belum memliki ilmunya, maka
zaman ini memiliki banyak kemudahan dalam mencari informasi atau ilmu yang kita
perlukan untuk memperbaiki pendapat tersebut. Kemudian sampaikan dengan cara
yang baik dan gaya bertutur yang benar.
Walaupun pada akhirnya ada perbedaan pendapat yang mungkin
tidak dapat dicarikan titik temunya, namun hakikatnya kedua insan yang berbeda
pendapat tersebut sudah memperkaya diri masing-masing dengan mengetahui
perbedaan diantara dirinya dengan orang lain. Dan jadikan itu sebagai rahmat,
bukan sebagai penghalang untuk mencapai tujuan bersama. Yaitu menjaga negeri
ini dan mewariskannya kepada generasi penerus kita.
Semoga setelah pilkada ini kita kembali menghimpun energi
yang terserak, dan kembali bersatu untuk sebuah tujuan yang lebih besar, karena
pilkada itu kecil jika harus dibandingkan dengan keaneka ragaman bangsa ini.
No comments:
Post a Comment