Friday 10 March 2017

Cerpen Ketika Rindu Ayah




Irga Mudja SB

Senja itu, di pesisir pantai Padang terlihat jejeran kapal – kapal para nelayan yang digunakan untuk melaut, cahaya matahari di ufuk barat mulai terbenam, awan berwarna kemerahan sudah terlihat, burung – burung pun berkicau ria, hendak kembali ke sangkarnya, suasana yang sungguh memposona, keindahan alam di pesisir pantai membuat seseorang yang ada di sana jatuh hati, ingin rasanya berlama – lama di sana, hal itu lah yang selama ini dirasakan oleh Fito dan keluarganya. Fito seorang anak nelayan yang hidup di pesisir pantai Padang bersama Ayah dan Ibu beserta kedua orang adiknya yang masih kecil yaitu Farid dan Fia. Farid yang masih duduk dibangku kelas 3 SD, sedangkan Fia yang imut dan cantik masih sekolah di taman kanak – kanak dekat rumah.   


Fito saat ini baru lulus sekolah di SMK Teknologi Plus Padang ini, harus berhenti dan tidak bisa melanjutkan pendidikannya di Perguruan Tinggi, karena terkendala dengan biaya, yang dilakukannya saat ini adalah membantu Ayah melaut, menghadang hujan dan badai disaat datang, semua itu dilakukan Ayah dan Fito untuk mencukupi kebutuhan sehari – hari, bahkan dalam satu minggu saja, kadang – kadang tak ada ikan yang bisa didapatkan, sementara itu Ibu Fito membuat gorengan seperti goreng bakwan, tahu dan goreng tempe di rumah, dan diantarkan ke warung – warung dekat rumah, kalau paginya Ibu Fito berjualan di SD tempat Farid bersekolah, setelah menghantarkan Fia ke sekolahnya baru Ibu pergi berjualan, kadang – kadang Fito yang melihat Ibunya berjualan jadi sedih, apalagi Ibu sering sakit – sakitan, belum lagi Ayah yang sudah cukup tua, dengan umur beliau yang saat ini beranjak sudah 60 tahun harus membanting tulang, bekerja keras, dan melaut, dalam hati Fito berujar dan berdo’a,

Ya Allah…ya Rahman ya Rahim, berikan lah hamba dan keluarga hamba kesabaran dalam menjalani kehidupan ini, berikan lah kami rezeki yang halal dan keberkahan dalam hidup ini, tanpa terasa satu – persatu tetesan air mata membasahi pipi Fito yang mulai lesu hingga linangan air mata itu jatuh membasahi bajunya.

Dalam kelamunan Fito, terdengar suara adzan maghrib berkumandang hingga suara tersebut menggema di sepanjang pesisir pantai, Fito tersentak dari kelamunannya dan bersiap – siap pergi ke masjid bersama Ayah dan Farid guna menunaikan ibadah sholat maghrib berjama’ah. Kehidupan keluarga Fito dihiasi dengan nilai – nilai Islam, setiap selesai sholat maghrib dan shubuh, mereka duduk melingkar dan membaca ayat – ayat Allah, sebagai petunjuk dan pedoman serta penerang ditengah kehidupan keluarga mereka.

Malam ini udara terasa dingin disepanjang pesisir pantai Padang, angin badai pun terus menghadang tiada hentinya, hingga menusuk persendian tulang, rencananya Fito dan Ayah pergi melaut malam ini, harus menunggu badai berhenti, sekian lama menunggu detik demi detik, menit berganti menit, dan jam pun berganti jam, hingga badai pun berhenti. Fito dan Ayah siap – siap untuk berangkat, segala perlengkapan pun disiapkan, mulai memastikan kondisi kapal, minyak, lampu, dan jaring. Setelah semuanya beres, sebelum berangkat Ayah dan Fito berpamitan kepada Ibu, Farid dan Fia. Ibu, Farid dan Fia mencium tangan Ayah begitu juga Fito menyalami dan mencium tangan Ibu, serta memeluk kedua adiknya.

Langkah demi langkah Ayah dan Fito mulai beranjak pergi menuju ke kapal, hingga jarak pun memisahkan mereka, lambaian tangan menjadi saksi perpisahan mereka semua. Ibu menatap kepergian Ayah dan Fito, dalam hati Ibu berdo’a,

Ya Allah yang maha menjaga..lindungilah suami dan anak hamba, tuntunlah perjalanan mereka untuk menjemput sebahagian dari rezeki-Mu ya Rabb. Jadikanlah anak – anak hamba, anak yang taat kepada-Mu, berbakti pada orang tuanya, dan jadikanlah ia anak yang bisa membela agama-Mu, bermanfaat bagi orang lain, dan kuatkanlah hamba dalam mendidik mereka semua. Aamiin ya Rabb.

Linangan air mata tak terbendung lagi, tangisan pun pecah, hingga membasahi pipi Ibu yang sudah mulai keriput, sesekali Ibu menyeka pipinya, agar tidak terlalu terlihat oleh kedua anaknya yang masih kecil, kalau melihat Ibunya sedang menangis tentunya kedua anaknya juga sedih, Ibu mencoba menguatkan diri dan mengajak kedua anaknya pergi ke rumah.

Hari sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB, mata ini sudah mulai mengantuk, namun Ibu harus menahannya karena Ibu harus menyiapkan bahan – bahan, dan bumbu – bumbu untuk goreng tahu, bakwan dan goreng tempe, untuk dijual besok pagi. Sementara itu kedua anaknya sudah tidur dengan pulas, Ibu menatap wajah kedua anak dengan dalam dan menyelimutinya. Setelah itu Ibu melanjutkan pekerjaannya di dapur, untuk mempersiapkan semuanya, setelah semuanya beres, baru Ibu istirahat bersama kedua anaknya.

Pagi itu, semilir angin yang berhembus disepanjang pesisir pantai, membuat udara terasa lebih sejuk, dan mentari pun mulai terbit dari arah timur, memberikan sinarnya yang menyehatkan tubuh, Farid dan Fia bersiap – siap untuk berangkat ke sekolah, disamping itu Ibu menyiapkan bahan dagangannya, setelah semua beres, Ibu dan kedua anaknya pergi sembari Ibu mengunci pintu rumah. Setelah Ibu menghantarkan Fia ke sekolah, baru Ibu menjajakan bahan dagangannya ke warung – warung disekitar rumah.

Sementara itu, Ayah dan Fito mulai menepikan kapalnya, semalaman melaut dan mencari ikan. Alhamdulillah bisa mendapatkan ikan sekeranjang yang berukuran cukup besar, walaupun sekeranjang Fito sangat bersyukur sekali bisa membantu Ayah dan mendapatkan ikan, rencananya sebahagian keranjang akan dijual guna mencukupi kebutuhan sehari – hari dan sebahagiannya lagi dimasak untuk dimakan beberapa hari.

Seminggu kemudian, Ayah sering sakit – sakitan, hampir sekali tiga hari harus diperiksa dan dibawa ke Puskesmas terdekat, Ibu harus berhenti untuk berjualan dan merawat Ayah di rumah yang hanya bisa berbaring di atas tempat tidur, Farid dan Fia tetap sekolah seperti biasa, sementara Fito harus melaut bersama para nelayan lain guna membantu mencukupi kebutuhan sehari – hari.

Suatu ketika, pada saat Fito baru pulang dari melaut, dari kejauhan Fito melihat Bapak Ilyas, beliau pengurus masjid dekat rumahnya, Bapak Ilyas menunggu kedatangan Fito, tanpa terasa kapal yang Fito tumpangi bersama para nelayan yang lain mulia menepi, tiba – tiba Bapak Ilyas mendekati Fito, dan Fito pun menghampiri Bapak Ilyas sembari mencium tangannya.

Assalamu’alaikum Pak, ba a kabanya pak, ado yang bisa Fito bantu Pa[1],ujar Fito sembari melihat wajah Bapak Ilyas yang keliatan sedih.

Wa’alaikumussalam Fito, Alhamdulillah sehat fito, hm..yang saba yo Fito, kuek an diri nyo[2], seketika Bapak Ilyas agak gugup, a ... a ... ayah Fito,

Langsung Fito memotong pembicaraan Bapak Ilyas, “Ado apo jo Ayah Pak … ado apo Pak….?”[3] Fito dengan penasaran,

Ayah Fito alah maningga, kini jenazah beliau sadang di rumah, alah siap dimandian dan dikafani, tingga disholatkan lai di Masjid[4]. Jawab Bapak Ilyas dengan keharuan.

Mendengar ungkapan dari Bapak Ilyas Fito terkejut, Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un, iyo Pak[5], jawab Fito sembari menahan air matanya agar tidak jatuh, tanpa pikir panjang Fito berpamitan kepada Bapak Ilyas dan berlari menuju ke rumah, air mata tak tertahan lagi, dalam keadaan berlari, akhirnya air mata itu jatuh membasahi pipi dan baju Fito.

Sesampai di rumah, Fito melihat warga dan masyarakat telah ramai di rumahnya, Fito menghampiri jenazah Ayah dan Ibu bersama kedua orang adiknya duduk melamun, meratapi kepergian Ayah, lagi – lagi  air mata ini bercucuran, Fito mencoba menahan serta menguatkan Ibu dan kedua adiknya agar bisa menerima takdir yang Allah berikan kepada keluarganya. Jenazah Ayah siap untuk dibawa ke masjid guna disholatkan, dan Fito lah yang akan mengimami sholat jenazah Ayahnya, banyak warga dan jama’ah yang hadir serta ikut mensholatkan jenazah hingga menghantarkan ke kuburan dekat pemakaman umum tunggul hitam.

Tiga hari kemudian, semenjak kepergian Ayah menuju ke hadirat Allah Swt, rumah terasa sepi tanpa kehadiran sosok seorang Ayah yang sangat di cintai oleh Fito, Farid dan Fia, apalagi Ibu yang berjuang bersama – sama saat suka dan duka, tidak ada lagi waktu bermain, bercanda bersama, ketika rindu Ayah pada saat membaca ayat – ayat Allah dalam lingkaran cinta yang tumbuh dari sebuah keluarga, menjunjung nilai – nilai ke Islaman dalam menjalani kehidupan yang fana ini, semoga Allah Swt mengumpulkan kembali keluarga Fito bersama Ayahnya di syurga-Nya kelak.


[1] Assalamu’alaikum Pak, gimana kabarnya Pak, ada yang bisa Fito bantu Pak.
[2] Wa’alaikumussalam Fito, Alhamdulillah sehat fito, hm..yang sabar ya Fito, kuatkan dirinya.
[3] Ada apa dengan Ayah Pak, ada apa Pak.
[4] Ayah Fito sudah meninggal, sekarang jenazah beliau sedang di rumah, sudah siap dimandikan, dan dikafani, tinggal disholatkan lagi di Masjid.
[5] Sesungguhnya kami datang dari Allah dan kembali kepada Allah Swt, iya Pak.


Image Source

Tulisan yang dimuat adalah sepenuhnya milik penulis  risalah-online, bukan merupakan pernyataan dari risalah-online

No comments:

Post a Comment