Saturday, 10 October 2015

Problema Zakat Profesi




By: Dewi Sartika

Ketika penerimaan gaji bulanan kemarin, tepatnya tanggal 1 Sepetember 2015 terjadi percakapan singkat antara saya dengan seorang teman, dia bertanya: “ kakak pernah zakat gaji?”
, kemudian saya menjawab: “belum, hanya saja pernah berinfak dari sebahagian rezeki yang telah diberikan Allah”, kemudian dia melanjutkan pertanyaannya kepada saya: “memangnya zakat profesi itu berapa sih kak, soalnya yetsu mau zakat dari gaji bulanan yang yet terima tiap bulannya”. Jawab saya waktu itu: “setahu kakak gaji bulanan yang kita terima jika sudah sampai nisab baru dikenai zakat, nah jika kebutuhan kita saja belum mencukupi dari gaji yang kita terima, menurut kakak belum ada kewajiban zakat di dalamnya”, kemudian dia menanggapinya dengan datar, “oo.., gitu ya kak?”. Namun dalam hati, sebenarnya saya tetap dalam keraguan soal zakat gaji ini, dan kemudian saya bertekad akan mencari tahu penjelasan lebih lanjut yang didasarkan pada sumber yang jelas.
Seminggu kemudian tepatnya hari jum’at, 11 September 2015 saya berkunjung ke sebuah perpustakaan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol Padang dalam rangka mencari tugas kuliah waktu itu. Karena tugas yang saya cari tidak kunjung ketemu, maka saya menyibukkan diri membaca buku lain yang lebih menarik perhatian saya waktu itu yakni buku yang berjudul “ Fiqih Kontemporer” yang ditulis oleh Dr. Firdaus, M. Ag yang mana dalam buku tersebut terdapat pembahasan soal zakat profesi.
Dalam buku tersebut terdapat penjelasan tentang prospektif zakat profesi dan dasar hukumnya. Adapun pengertian zakat profesi yang sering juga disebut dengan zakat hasil penghasilan adalah zakat yang harus dikeluarkan muslim dari hasil profesi yang ditekuninya selama hasil itu mencapai nisab kewajiban zakat (Firdaus, 2014: 68). Adapun kewajiban zakat hasil profesi adalah keumuman firman Allah berikut:
 “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (Q.S. al-Baqarah: 267)
Selain itu menurut Qardhawi, dasar berpijak untuk menetapkan kewajiban zakat profesi didasarkan pada qiyas. Dalam hal ini, Qardhawi mengqiyaskan kewajiban zakat profesi kepada zakat perdagangan. Sedangkan mengenai kadar kewajiban zakatnya, Qardhawi menyamakan dengan zakat emas dan perak. Atas dasar ini, apabila hasil profesi seorang muslim mencapai nisab zakat emas dan perak atau setara dengan 85 gram emas, maka ia wajib mengeluarkan zakat hasil profesinya tersebut sebanyak 2,5 %. Dalam kaitan ini, kewajiban zakat hasil profesi ini dikeluarkan setelah terlebih dahulu dikeluarkan kebutuhan pokok dari muslim yang bersangkutan. Apabila penghasilan itu mencapai nisab ketika menerimanya dapat dikeluarkan pada saat penerimaan tersebut. Apabila tidak cukup nisabnya ketika menerima, maka semua penghasilan itu dikumpulkan selama satu tahun, lalu dikeluarkan zakatnya setelah dikeluarkan untuk pembiayaan kebutuhan pokoknya (Firdaus, 2014: 69).
Muhammad al-Ghazali, seorang ulama Mesir, selain berpegang kepada keumuman surat al-Baqarah ayat 267 untuk mewajibkan zakat hasil profesi, ia berpegang pula pada qiyas juga. Dalam kaitan ini, ia menggunakan qiyas syabah, dimana ia mengqiyaskan zakat hasil profesi kepada zakat hasil pertanian, biji makanan yang mengenyangkan dan buah-buahan dengan nisab sebanyak 300 sha’ atau 930 liter. Adapun jumlah yang dizakatkan sesuai dengan hadis Nabi Saw yaitu 10 % untuk pertanian yang diairi hujan, dan yang diairi dengan penyiraman, zakatnya 5 % (Firdaus, 2014: 69).
Majelis Ulama Indonesia (MUI) berpendapat bahwa zakat profesi diwajibkan dengan berpegang pada keumuman surat al-Baqarah ayat 267 dan sejumlah hadis yang memerintahkan umat Islam yang memiliki harta mencapai satu nisab dan haulnya untuk mengeluarkan zakatnya. Di samping itu, MUI berpegang kepada pendapat Yusuf Qardhawi di atas. Zakat hasil profesi wajib dikeluarkan untuk semua bentuk penghasilan halal apabila memenuhi syarat telah mencapai nisab dalam satu tahun, yakni senilai emas 85 gram. Sedangkan waktu pengeluarannya ada dua bentuk. Pertama, zakat penghasilan dapat dikeluarkan pada saat menerima jika sudah cukup nisab. Kedua, jika tidak mencapai nisab, maka semua penghasilan dikumpulkan selama satu tahun, kemudian zakat dikeluarkan jika penghasilan bersihnya sudah cukup nisab (Firdaus, 2014: 70).
Penulis kemukakan di bawah ini contoh perhitungan zakat hasil profesi dengan menggunakan beberapa pendapat di atas. Pertama, menggunakan pendapat Qardhawi yang mengqiyaskannya kepada zakat emas dan perak. Misalnya, seorang dokter mempunyai penghasilan sebulan dari gaji dan aktifitas lain, Rp. 7.500.000,-. Apabila pengeluaran kebutuhan pokok diri dan keluarganya sebulan Rp. 5.000.000,-. Jadi, setiap bulan ia bisa menyisihkan dana sebesar Rp. 2.000.000,-. Jumlah dana itu setahun menjadi Rp. 2.000.000 × 12 bulan= Rp. 24.000.000,-. Apabila kelebihan penghasilan di akhir tahun mencapai nisab 85 gram emas, ia wajib mengeluarkan zakat yaitu Rp. 24.000.000 × 2,5% = Rp. 600.000,- (Firdaus, 2014: 70).
Kedua, mengeluarkan zakat profesi dengan mengqiyaskan kepada zakat pertanian. Adapun nisab zakat pertanian sebanyak 930 liter. Apabila hasil profesi tersebut mencapai nilai 930 liter wajib dikeluarkan zakatnya ketika menerima penghasilan tersebut. Diasumsikan bahwa harga satu liter berat saat ini diperkirakan Rp. 7.000,-. Dengan demikian, 930 liter × Rp. 7.000 = Rp. 6. 510.000,-. Apabila hasil profesi seseorang mencapai nilai itu ketika menerimanya, berarti yang bersangkutan dikenai kewajiban zakat profesi. Diasumsikan dalam menjalankan profesi itu menggunakan biaya seperti pertanian yang menggunakan irigasi, sehingga kadar biaya zakat hasil profesi dalam contoh ini sebanyak 5%. Dengan demikian, jumlah zakat yang dikeluarkan sebagai berikut: Rp. 6. 510.000 × 5% = Rp. 325.500,-. Inilah besar zakat yang dikeluarkan dengan menggunakan qiyas kepada hasil pertanian (Firdaus, 2014: 70-71).
Dari uraian di atas yang penting diperhatikan bahwa zakat hasil profesi wajib dikeluarkan apabila memenuhi kriteria yang telah disebutkan, baik dengan mengqiyaskan kepada kadar zakat emas dan perak maupun zakat pertanian. Namun demikian, mengqiyaskan kadar zakat hasil profesi kepada zakat emas dan perak lebih banyak dipakai para ulama saat ini (Firdaus, 2014: 71).
Setelah membaca buku “Fiqh Kontemporer” tersebut dapat menambah pengetahuan saya, kapan seorang Muslim sudah dikenai kewajiban zakat profesi dan berapa nisabnya. Allah sangat mengerti akan kemampuan manusia dan segala beban hidup yang ditanggungnya, sehingga kewajiban yang diemban seorang Muslim tidak melebihi apa yang disanggupinya. Selain itu, zakat juga memakmurkan kehidupan antar sesama Muslim, agar tercipta rasa empati dan peduli di hati umat Islam dan sekaligus dapat menyuburkan harta yang tertinggal.

Sumber: Firdaus, Fiqh Kontemporer, Padang: Imam Bonjol Press, 2014.





Opini yang dimuat adalah sepenuhnya milik penulis  risalah-online, bukan merupakan pernyataan dari risalah-online

No comments:

Post a Comment