By: Dewi
Sartika
Ketika penerimaan gaji bulanan kemarin, tepatnya tanggal 1
Sepetember 2015 terjadi percakapan singkat antara saya dengan seorang teman,
dia bertanya: “ kakak pernah zakat gaji?”
, kemudian saya menjawab: “belum, hanya
saja pernah berinfak dari sebahagian rezeki yang telah diberikan Allah”,
kemudian dia melanjutkan pertanyaannya kepada saya: “memangnya zakat profesi
itu berapa sih kak, soalnya yetsu mau zakat dari gaji bulanan yang yet terima
tiap bulannya”. Jawab saya waktu itu: “setahu kakak gaji bulanan yang kita
terima jika sudah sampai nisab baru dikenai zakat, nah jika kebutuhan kita saja
belum mencukupi dari gaji yang kita terima, menurut kakak belum ada kewajiban
zakat di dalamnya”, kemudian dia menanggapinya dengan datar, “oo.., gitu ya
kak?”. Namun dalam hati, sebenarnya saya tetap dalam keraguan soal zakat gaji
ini, dan kemudian saya bertekad akan mencari tahu penjelasan lebih lanjut yang
didasarkan pada sumber yang jelas.
Seminggu kemudian tepatnya hari jum’at, 11 September 2015 saya
berkunjung ke sebuah perpustakaan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam
Bonjol Padang dalam rangka mencari tugas kuliah waktu itu. Karena tugas yang
saya cari tidak kunjung ketemu, maka saya menyibukkan diri membaca buku lain
yang lebih menarik perhatian saya waktu itu yakni buku yang berjudul “ Fiqih
Kontemporer” yang ditulis oleh Dr. Firdaus, M. Ag yang mana dalam buku tersebut
terdapat pembahasan soal zakat profesi.
Dalam buku tersebut terdapat penjelasan tentang prospektif zakat
profesi dan dasar hukumnya. Adapun pengertian zakat profesi yang sering juga
disebut dengan zakat hasil penghasilan adalah zakat yang harus dikeluarkan
muslim dari hasil profesi yang ditekuninya selama hasil itu mencapai nisab
kewajiban zakat (Firdaus, 2014: 68). Adapun kewajiban zakat hasil profesi
adalah keumuman firman Allah berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah
(di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari
apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan Ketahuilah,
bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (Q.S.
al-Baqarah: 267)
Selain itu menurut Qardhawi, dasar berpijak untuk menetapkan
kewajiban zakat profesi didasarkan pada qiyas. Dalam hal ini, Qardhawi
mengqiyaskan kewajiban zakat profesi kepada zakat perdagangan. Sedangkan mengenai
kadar kewajiban zakatnya, Qardhawi menyamakan dengan zakat emas dan perak. Atas
dasar ini, apabila hasil profesi seorang muslim mencapai nisab zakat emas dan
perak atau setara dengan 85 gram emas, maka ia wajib mengeluarkan zakat hasil
profesinya tersebut sebanyak 2,5 %. Dalam kaitan ini, kewajiban zakat hasil
profesi ini dikeluarkan setelah terlebih dahulu dikeluarkan kebutuhan pokok
dari muslim yang bersangkutan. Apabila penghasilan itu mencapai nisab ketika
menerimanya dapat dikeluarkan pada saat penerimaan tersebut. Apabila tidak
cukup nisabnya ketika menerima, maka semua penghasilan itu dikumpulkan selama
satu tahun, lalu dikeluarkan zakatnya setelah dikeluarkan untuk pembiayaan
kebutuhan pokoknya (Firdaus, 2014: 69).
Muhammad al-Ghazali, seorang ulama Mesir, selain berpegang kepada
keumuman surat al-Baqarah ayat 267 untuk mewajibkan zakat hasil profesi, ia
berpegang pula pada qiyas juga. Dalam kaitan ini, ia menggunakan qiyas
syabah, dimana ia mengqiyaskan zakat hasil profesi kepada zakat hasil
pertanian, biji makanan yang mengenyangkan dan buah-buahan dengan nisab
sebanyak 300 sha’ atau 930 liter. Adapun jumlah yang dizakatkan sesuai dengan
hadis Nabi Saw yaitu 10 % untuk pertanian yang diairi hujan, dan yang diairi dengan
penyiraman, zakatnya 5 % (Firdaus, 2014: 69).
Majelis Ulama Indonesia (MUI) berpendapat bahwa zakat profesi
diwajibkan dengan berpegang pada keumuman surat al-Baqarah ayat 267 dan
sejumlah hadis yang memerintahkan umat Islam yang memiliki harta mencapai satu
nisab dan haulnya untuk mengeluarkan zakatnya. Di samping itu, MUI berpegang
kepada pendapat Yusuf Qardhawi di atas. Zakat hasil profesi wajib dikeluarkan
untuk semua bentuk penghasilan halal apabila memenuhi syarat telah mencapai
nisab dalam satu tahun, yakni senilai emas 85 gram. Sedangkan waktu
pengeluarannya ada dua bentuk. Pertama, zakat penghasilan dapat dikeluarkan
pada saat menerima jika sudah cukup nisab. Kedua, jika tidak mencapai nisab,
maka semua penghasilan dikumpulkan selama satu tahun, kemudian zakat
dikeluarkan jika penghasilan bersihnya sudah cukup nisab (Firdaus, 2014: 70).
Penulis kemukakan di bawah ini contoh perhitungan zakat hasil
profesi dengan menggunakan beberapa pendapat di atas. Pertama, menggunakan
pendapat Qardhawi yang mengqiyaskannya kepada zakat emas dan perak. Misalnya,
seorang dokter mempunyai penghasilan sebulan dari gaji dan aktifitas lain, Rp.
7.500.000,-. Apabila pengeluaran kebutuhan pokok diri dan keluarganya sebulan
Rp. 5.000.000,-. Jadi, setiap bulan ia bisa menyisihkan dana sebesar Rp.
2.000.000,-. Jumlah dana itu setahun menjadi Rp. 2.000.000 × 12 bulan= Rp.
24.000.000,-. Apabila kelebihan penghasilan di akhir tahun mencapai nisab 85
gram emas, ia wajib mengeluarkan zakat yaitu Rp. 24.000.000 × 2,5% = Rp.
600.000,- (Firdaus, 2014: 70).
Kedua, mengeluarkan zakat profesi dengan mengqiyaskan kepada zakat
pertanian. Adapun nisab zakat pertanian sebanyak 930 liter. Apabila hasil
profesi tersebut mencapai nilai 930 liter wajib dikeluarkan zakatnya ketika
menerima penghasilan tersebut. Diasumsikan bahwa harga satu liter berat saat ini
diperkirakan Rp. 7.000,-. Dengan demikian, 930 liter × Rp. 7.000 = Rp. 6.
510.000,-. Apabila hasil profesi seseorang mencapai nilai itu ketika menerimanya,
berarti yang bersangkutan dikenai kewajiban zakat profesi. Diasumsikan dalam
menjalankan profesi itu menggunakan biaya seperti pertanian yang menggunakan
irigasi, sehingga kadar biaya zakat hasil profesi dalam contoh ini sebanyak 5%.
Dengan demikian, jumlah zakat yang dikeluarkan sebagai berikut: Rp. 6. 510.000
× 5% = Rp. 325.500,-. Inilah besar zakat yang dikeluarkan dengan menggunakan
qiyas kepada hasil pertanian (Firdaus, 2014: 70-71).
Dari uraian di atas yang penting diperhatikan bahwa zakat hasil profesi
wajib dikeluarkan apabila memenuhi kriteria yang telah disebutkan, baik dengan
mengqiyaskan kepada kadar zakat emas dan perak maupun zakat pertanian. Namun
demikian, mengqiyaskan kadar zakat hasil profesi kepada zakat emas dan perak
lebih banyak dipakai para ulama saat ini (Firdaus, 2014: 71).
Setelah membaca buku “Fiqh Kontemporer” tersebut dapat menambah
pengetahuan saya, kapan seorang Muslim sudah dikenai kewajiban zakat profesi dan
berapa nisabnya. Allah sangat mengerti akan kemampuan manusia dan segala beban
hidup yang ditanggungnya, sehingga kewajiban yang diemban seorang Muslim tidak
melebihi apa yang disanggupinya. Selain itu, zakat juga memakmurkan kehidupan
antar sesama Muslim, agar tercipta rasa empati dan peduli di hati umat Islam
dan sekaligus dapat menyuburkan harta yang tertinggal.
Sumber: Firdaus, Fiqh Kontemporer, Padang: Imam Bonjol
Press, 2014.
Opini yang dimuat adalah sepenuhnya milik
penulis risalah-online, bukan merupakan pernyataan dari risalah-online
No comments:
Post a Comment