Wednesday, 31 August 2016

Bapak


Oleh : Lita Oktaviani

Selalu dan tak akan pernah menghilang bayangan wajah itu dari ingatanku. Siluet lelaki berwajah teduh yang memukul kakiku saat tidak mengaji atau memukul tanganku saat aku ketahuan mengambil mangga tetangga. Lelaki berbadan tegap yang tak pernah bosan mengantar ku sekolah dan mengaji. Lelaki yang mengajarkan aku mengenal alif..ba..tsa..

Lelaki yang selalu bersamaku saat aku mengerjakan PR,menemaniku saat aku ingin bermain di pantai yang lokasinya lumayan jauh dari tempat tinggal kami, laki-laki yang mengajarkanku tentang kejujuran.

“kita memang miskin nak, tapi kita tidak boleh berbohong”


“kenapa pak? Kenapa Faris tidak boleh berbohong?

“karena berbohong itu tidak baik, allah tidak suka sama anak yang suka berbohong”

“tapi kenapa teman-teman faris boleh?”

“itu karena teman-teman faris belum tahu kalo berbohong itu tidak baik”

Percakapan 20 tahun silam yang masih jelas ingatan. Percakapan di atas sepeda ontel milik Bapak dalam perjalanan pulang dari masjid tempatku mengaji.

Sejak jam 9 pagi, lelaki berumur sekitar 45 tahun itu duduk di pondok yang beratapkan rumbia. Di tangannya ada pisau dan buluh bambu. Ia tampak cekatan dan hati-hati meraut buluh bambu yang akan dijadikan kerangka layang-layang. Sesekali ia menyeka keringat yang membasahi wajahnya.

“satu...dua....alhamdulillah sudah ada 10 buah layangan” ia menggabungkan semua layangan dan mengikatnya di bagian belakang sepeda.

“faris...faris...”  lelaki paruh baya itu memanggil anak laki-laki semata wayangnya tapi yang di panggil tidak kunjung datang.

“ehm..kemana dia?”  ia telah selesai mengikat layangan yang akan di jual.

Laki-laki yang biasa di panggil Pak Haris itu masuk rumah, mengganti celana pendeknya dengan celana panjang yang sudah nampak pudar dan mengambil peci yang tergantung dekat jendela lalu bercermin. Lama ia terdiam di depan cermin memperhatikan wajah seorang wanita yang terpantul dari sebuah foto. Matanya berkaca mengingat sosok wanita yang amat di sayanginya. Wanita yang telah pergi dan tak akan pernah kembali saat faris kelas dua SD.

“pak...bapak...” terdengar suara anak laki-laki memanggil dari luar. Pak haris segera menghapus air matanya.

“ iya nak” ia keluar dan mendapati anaknya yang berlumuran lumpur

“ya ampun faris, kamu dari mana saja? Ini kenapa badanmu kotor begini?”

“faris habis nangkap belut pak, nih lihat banyak kan belutnya! Faris menyodorkan ember, memamerkan hasil tangkapannya.

“ya sudah, kamu cepat mandi, Bapak mau pergi dulu”

“Bapak mau kemana?”

“mau jual layangan”

“iya pak, tapi faris izin ke rumah Pak Tono ya pak, mau jual belut-belut ini”

“ ke rumah pak Tono? Jauh sekali jual belutnya, kamu pergi dengan siapa kesana?”

“Andi, Rahman dan Damar pak”

“ ya sudah kamu hati-hati, jangan lupa kunci rumah.Bapak berangkat dulu, doakan semoga layangannya laku”.

 Faris berjalan menuju sumur, meletakkan belut-belutnya di pojokkan lalu menimba air. Tak berselang lama ia telah selesai membersihkan diri. Faris mengambil kaos oblong dan celana pendek selutut dari dalam lemari. Secarik foto terjatuh.

“ibu...Faris kangen ibu” Faris mengusap-ngusap selembar foto ibunya. Foto satu-satunya yang ia miliki.

“Faris...faris...”

Faris melihat keluar jendela. Andi, Rahman dan Damar berdiri disana, lengkap dengan ember di tangan berisi belut. Ia menghapus airmata dan bergabung dengan teman-temannya. Dengan bertelanjang kaki mereka pergi ke rumah Pak Tono. Sepanjang jalan bercerita tentang cita-cita dan mimpi dimasa depan,hingga tanpa terasa mereka tlah tiba di tujuan. Senyum Pak Tono terkembang begitu melihat mereka datang. Setelah sedikit berbasa basi, ember-ember berisi belut berpindah tangan.

“hasil tangkapan kalian kali ini lumayan “ ujar pak Tono sambil menimbang belut

“Alhamdulillah pak”

“ nah, ini uang kalian”

“terima kasih pak” Faris Cs pamit dan pulang dengan wajah penuh kebahagiaan. Di pertigaan jalan, mereka bertiga berpisah. Faris menjaga uangnya sangat hati-hati. Sepanjang perjalanan, ia terus memeriksa saku celananya, memastikan uangnya masih ada disana. di persimpangan, faris belok kiri . Ia meneruskan perjalanannya hingga berhenti di masjid. Sewaktu kecil, ia sering dibawa bapaknya kesini dan setiap kali itu pula,ia melihat  bapaknya selalu mengisi kotak yang selalu terletak di depan masjid.

“kenapa bapak selalu mengisi kotak di masjid itu, uang bapak sudah banyak ya?” tanyanya polos.

“itu namanya sedekah nak, dan kita tidak harus menunggu uang banyak dulu baru bersedekah”

“tapi kan uang bapak jadi sedikit”

Bapak tersenyum sambil mengelus-ngelus kepalanya.

***
Sebuah mobil berwarna silver menempuh jalanan yang berbatu. Jalan yang masih sama dengan 20 tahun yang lalu. Jalanan saat ia berjalan bersama-sama dengan teman-teman, jalan yang sama saat ia di bonceng Bapak, yang berbeda adalah masjid yang berada di pertigaan jalan menuju rumahnya. Ia menghentikan mobil dan turun. Ia melepaskan sepatu dan masuk ke dalam masjid. Terlihat anak-anak sedang mengaji. Kerinduan begitu dalam tiba-tiba menyesakkan dada. “andai Bapak masih ada, pasti bapak bahagia melihat ini semua”


“bapak ingin sekali membangun masjid nak, biar anak-anak disini tidak jauh lagi mengajinya”  

terngiang kembali perkataan bapaknya.



Tulisan yang dimuat adalah sepenuhnya milik penulis  risalah-online, bukan merupakan pernyataan dari risalah-online

No comments:

Post a Comment