Oleh : Lita Oktaviani
Selalu
dan tak akan pernah menghilang bayangan wajah itu dari ingatanku. Siluet lelaki
berwajah teduh yang memukul kakiku saat tidak mengaji atau memukul tanganku
saat aku ketahuan mengambil mangga tetangga. Lelaki berbadan tegap yang tak
pernah bosan mengantar ku sekolah dan mengaji. Lelaki yang mengajarkan aku
mengenal alif..ba..tsa..
Lelaki
yang selalu bersamaku saat aku mengerjakan PR,menemaniku saat aku ingin bermain
di pantai yang lokasinya lumayan jauh dari tempat tinggal kami, laki-laki yang
mengajarkanku tentang kejujuran.
“kita
memang miskin nak, tapi kita tidak boleh berbohong”
“kenapa
pak? Kenapa Faris tidak boleh berbohong?
“karena
berbohong itu tidak baik, allah tidak suka sama anak yang suka berbohong”
“tapi
kenapa teman-teman faris boleh?”
“itu
karena teman-teman faris belum tahu kalo berbohong itu tidak baik”
Percakapan
20 tahun silam yang masih jelas ingatan. Percakapan di atas sepeda ontel milik
Bapak dalam perjalanan pulang dari masjid tempatku mengaji.
Sejak
jam 9 pagi, lelaki berumur sekitar 45 tahun itu duduk di pondok yang beratapkan
rumbia. Di tangannya ada pisau dan buluh bambu. Ia tampak cekatan dan hati-hati
meraut buluh bambu yang akan dijadikan kerangka layang-layang. Sesekali ia
menyeka keringat yang membasahi wajahnya.
“satu...dua....alhamdulillah
sudah ada 10 buah layangan” ia menggabungkan semua layangan dan mengikatnya di
bagian belakang sepeda.
“faris...faris...” lelaki paruh baya itu memanggil anak
laki-laki semata wayangnya tapi yang di panggil tidak kunjung datang.
“ehm..kemana
dia?” ia telah selesai mengikat layangan
yang akan di jual.
Laki-laki
yang biasa di panggil Pak Haris itu masuk rumah, mengganti celana pendeknya
dengan celana panjang yang sudah nampak pudar dan mengambil peci yang
tergantung dekat jendela lalu bercermin. Lama ia terdiam di depan cermin
memperhatikan wajah seorang wanita yang terpantul dari sebuah foto. Matanya
berkaca mengingat sosok wanita yang amat di sayanginya. Wanita yang telah pergi
dan tak akan pernah kembali saat faris kelas dua SD.
“pak...bapak...”
terdengar suara anak laki-laki memanggil dari luar. Pak haris segera menghapus
air matanya.
“
iya nak” ia keluar dan mendapati anaknya yang berlumuran lumpur
“ya
ampun faris, kamu dari mana saja? Ini kenapa badanmu kotor begini?”
“faris
habis nangkap belut pak, nih lihat banyak kan belutnya! Faris menyodorkan
ember, memamerkan hasil tangkapannya.
“ya
sudah, kamu cepat mandi, Bapak mau pergi dulu”
“Bapak
mau kemana?”
“mau
jual layangan”
“iya
pak, tapi faris izin ke rumah Pak Tono ya pak, mau jual belut-belut ini”
“ ke
rumah pak Tono? Jauh sekali jual belutnya, kamu pergi dengan siapa kesana?”
“Andi,
Rahman dan Damar pak”
“ ya
sudah kamu hati-hati, jangan lupa kunci rumah.Bapak berangkat dulu, doakan
semoga layangannya laku”.
Faris berjalan menuju sumur, meletakkan
belut-belutnya di pojokkan lalu menimba air. Tak berselang lama ia telah
selesai membersihkan diri. Faris mengambil kaos oblong dan celana pendek
selutut dari dalam lemari. Secarik foto terjatuh.
“ibu...Faris
kangen ibu” Faris mengusap-ngusap selembar foto ibunya. Foto satu-satunya yang
ia miliki.
“Faris...faris...”
Faris
melihat keluar jendela. Andi, Rahman dan Damar berdiri disana, lengkap dengan
ember di tangan berisi belut. Ia menghapus airmata dan bergabung dengan teman-temannya.
Dengan bertelanjang kaki mereka pergi ke rumah Pak Tono. Sepanjang jalan
bercerita tentang cita-cita dan mimpi dimasa depan,hingga tanpa terasa mereka
tlah tiba di tujuan. Senyum Pak Tono terkembang begitu melihat mereka datang.
Setelah sedikit berbasa basi, ember-ember berisi belut berpindah tangan.
“hasil
tangkapan kalian kali ini lumayan “ ujar pak Tono sambil menimbang belut
“Alhamdulillah
pak”
“
nah, ini uang kalian”
“terima
kasih pak” Faris Cs pamit dan pulang dengan wajah penuh kebahagiaan. Di
pertigaan jalan, mereka bertiga berpisah. Faris menjaga uangnya sangat
hati-hati. Sepanjang perjalanan, ia terus memeriksa saku celananya, memastikan
uangnya masih ada disana. di persimpangan, faris belok kiri . Ia meneruskan
perjalanannya hingga berhenti di masjid. Sewaktu kecil, ia sering dibawa
bapaknya kesini dan setiap kali itu pula,ia melihat bapaknya selalu mengisi kotak yang selalu
terletak di depan masjid.
“kenapa
bapak selalu mengisi kotak di masjid itu, uang bapak sudah banyak ya?” tanyanya
polos.
“itu
namanya sedekah nak, dan kita tidak harus menunggu uang banyak dulu baru
bersedekah”
“tapi kan uang bapak jadi sedikit”
Bapak tersenyum sambil mengelus-ngelus kepalanya.
***
Sebuah mobil berwarna silver
menempuh jalanan yang berbatu. Jalan yang masih sama dengan 20 tahun yang lalu.
Jalanan saat ia berjalan bersama-sama dengan teman-teman, jalan yang sama saat
ia di bonceng Bapak, yang berbeda adalah masjid yang berada di pertigaan jalan
menuju rumahnya. Ia menghentikan mobil dan turun. Ia melepaskan sepatu dan
masuk ke dalam masjid. Terlihat anak-anak sedang mengaji. Kerinduan begitu
dalam tiba-tiba menyesakkan dada. “andai Bapak masih ada, pasti bapak bahagia
melihat ini semua”
“bapak ingin sekali membangun masjid
nak, biar anak-anak disini tidak jauh lagi mengajinya”
terngiang kembali perkataan bapaknya.
Tulisan
yang dimuat adalah sepenuhnya milik penulis risalah-online, bukan merupakan
pernyataan dari risalah-online
No comments:
Post a Comment