Oleh : Lita Oktaviani
Kembali
aku melihatnya lagi,sama seperti hari-hari sebelumnya,dia masih saja mengalir
membasahi pipi wanita yang berusia 42 tahun, pipi yang mulai terlihat menua namun
masih terlihat garis-garis cantik di wajahnya.
Seharusnya
saat ini ia bahagia sama seperti orang-orang di sekitarnya.seharusnya bukan airmata
yang menemaninya.senyuman ya..senyuman kemana ia pergi?ah…aku benci padanya.tak
sepatutnya ia pergi meninggalkan ibuku
bersama kesedihan.
Senyuman…sudah
lama rasanya aku tak melihat kata itu melekat pada ibuku.entahlah aku tak tahu
harus berkata apa.setiap kali ku bertanya,ia hanya menjawab”suatu saat kau akan
mengerti”. Ah…aku hanya bisa mengeluh dan menelan rasa penasaranku.”Bagaimana
bisa aku akan mengerti tanpa ada penjelasan?”aku bersuara dalam hati.
Malam
baru saja menutupi senja. Bulan sabit terlihat tersenyum dari atas sana,
ditemani bintang yang bersinar terang,perpaduan yang indah. Ku yakin,siapa yang
memandang akan merasa damai dan akan terukir sebuah senyuman tanda kekaguman pada
ciptaan Tuhan yang Maha Sempurna.Begitu juga aku.lama aku terpana,memuji dalam
diam keindahan ciptaanNya.”apakah dengan ketenangan yang seperti ini masih ada
kesedihan diatas sana?”tanyaku sendiri
“jika
rembulan tiada, apakah bintang akan merasa sedih seperti yang dirasakan ibu?”
‘kalau
bintang tak ada,apakah bulan akan tetap tampak seindah ini?apakah bulan akan
meneteskan airmata sama seperti ibu?”
Pertanyaan-pertanyaan
ini berkeliaran dalam pikiranku. Menguak penyebab kesedihan ibu seperti mengungkap
sebuah misteri bagiku. Andai saja ada detective conan,pasti mudah bagiku
memecahkannya . Aku teringat tokoh kartun yang kusukai.
Malam
kian larut,udara pun semakin dingin. Aku segera masuk kedalam rumah walau
sebenarnya aku masih ingin berlama-lama dengan bulan dan bintang. Aku masih ingin
berbagi kisah dengan mereka,meskipun diantara kami hanya kebisuan,namun ku tahu
mereka merasakan apa yang ku rasa. Ku buka tirai jendela dan duduk disana,membiarkan
sinar rembulan masuk kedalam kamarku.
Aku
beranjak keluar kamar,niatku memanggil ibu dan mengajaknya menikmati malam
bersama bulan dan bintang agar ia tak bersedih lagi. Tanganku terangkat
hendak mengetuk pintu kamarnya,namun
urung. Ku tak ingin mengganggunya “ibu pasti kelelahan setelah seharian tadi
bekerja” pikirku. Ku balikkan badan,dengan langkah gontai ku berjalan kembali
ke kamar.
“Bulan
apakah kau pernah merasa sedih?”
“ehm…pasti
tidak,karena bintang selalu datang menemanimu. Kau sungguh beruntung memiliki
sahabat seperti dia ”aku menjawab sendiri pertanyaan yang ku lontarkan
‘bintang,temanmu
sungguh banyak.Pasti kau tidak pernah merasa sedih karena bila kau sedih,mereka
akan menghiburmu, tidak seperti ibu” aku menunduk sedih.
“oh ya,aku punya cerita,kalian mau
mendengarkannya?”
“Aku
akan menceritakan tentang ayahku.Kalian tahu, ayahku tampan dan baik hati….” Cerita
dalam heningku mengalir layaknya seorang penggemar yang menceritakan idolanya.Walau
tanpa suara,ku yakin mereka mengerti. Anganku melambung jauh melintasi
waktu,terlintas kembali percakapanku dengan ayah,percakapan menjelang
keberangkatan ayah ke daerah yang aku lupa namanya,yang ku ingat ayah di
tugaskan bersama teman-temannya untuk menjaga daerah itu agar aman dari
orang-orang yang tidak baik,begitu kata ayah padaku.
“ayah
pamit nak,jaga ibu baik-baik”ayah mencium kepalaku sebelum membalikkan badan
dan menaiki mobil yang menjemputnya.ayah terlihat begitu gagah dengan pakaian
hijau lorengnya. Aku bangga memiliki ayah sepertinya.
Bulan
terus berganti,aku dengan setia terus menghitung hari-hari yang berlalu karena
ayah berjanji ia pergi tidak akan lama.Kalender
sudah penuh dengan tanda silang berwarna merah dan besok adalah hari kepulangan
ayah. Tak terkira bahagianya hatiku karena besok aku akan bertemu dengan sosok
yang kurindukan.
Jam
05.00 ,aku sudah bangun dan langsung sholat subuh. Aku ingat pesan ayah agar
tidak meninggalkan sholat walaupun usiaku baru berusia 9 tahun,namun aku akan
berusaha melaksanakan pesan ayah. Usai sholat,aku langsung mandi dan mengenakan
seragam yang sama dengan kepunyaan ayah.ayah membelikannya untukku,sebelum ia
pergi.
“gagah
sekali anak ibu hari ini”
Ku
tunjuk foto ayah dan diriku bergantian.
“iya,dani
mirip dan gagah seperti ayah”
Aku
tersenyum lebar.Ibu memang paling tahu kalau aku sangat senang di katakan mirip
ayah.
Aku
sibuk membantu ibu menyiapkan segala sesuatunya untuk menyambut ayah.
‘ayah
pasti senang melihat aku memakai seragam ini” aku tersenyum sendiri
membayangkannya. Aku semakin tak sabar.
Jam
demi jam telah berlalu,tapi tanda-tanda kepulangan ayah belum tampak.
“mengapa
belum ada kabar dari ayah?”tanyaku dengan bahasa yang kurang jelas
Tak
berselang lama,telp berbunyi.Ibu mengangkatnya tapi mengapa usai berbicara di
telp ibu menangis?ada apa?
Aku
memandang ibu dengan penuh tanda tanya.ibu hanya menangis dan memelukku.
“dani harus mengikhlaskan ayah karena ayah…”
Aku
menggoyang-goyangkan tubuh ibu,meminta ia melanjutkan kalimatnya.Tanganku makin
kuat menggoyang-goyangkan tubuhnya karena ibu tak juga bicara namun airmata
yang jatuh menimpa kepalaku menjelaskan semuanya.ku lepaskan pelukan ibu
berlari dan kembali kehadapannya sambil melihatkan foto ayah yang berseragam
hijau loreng.ku tunjuki gambar ayah dan menggerakkan tanganku ke kanan dan
kekiri.Ibu menggangguk dalam isakannya yang terdengar lebih keras. Aku tidak
percaya,“mungkin ayah masih sibuk atau mungkin ayah sedang membelikan hadiah
untukku dan ibu” aku menghibur diriku sendiri.
“ibu,berapa
lama lagi ayah akan pulang?aku kangen ayah bu”
“kemari
nak” ibu meletakkanku di pangkuannya.
“ibu
tahu ini pasti sulit untuk mu nak,tapi dani harus kuat seperti pesan ayah.Kita
harus sabar dan mengikhlaskannya.Dani juga harus selalu doakan ayah”
Ku
tatap mata ibu dalam-dalam,tergambar jelas kesedihan yang teramat sangat.Ku peluk
ibu.
Kini
aku mengerti kenapa ibu sering menangis.
“hei..maukah kalian ku perlihatkan foto
ayahku?”
Ku
lihat bulan dan bintang mengangguk.
“kemari
dan mendekatlah”.
Tanganku
menggapai foto ayah yang terpajang di atas meja,disamping tempat tidurku yang tidak
begitu jauh dengan jendela,tempatku duduk.tangan kecilk terus menggapai.sedikit
lagi.Aku terus berusaha menggapainya dan…
Aku
merasakan tubuhku melayang ke bawah dan membentur sesuatu.ku sentuh
kepalaku,ada yang mengalir di sana.warna merah menempel di telapak
tanganku.nyeri dan sakit terasa.Aku mendengar ibu memanggil-manggil namaku,aku
mencoba membuka mata meski sedikit sulit.jauh di atas sana,diantara bulan dan
bintang-bintang,aku melihat ayah tersenyum dan melambaikan tangan padaku.
Sumedang,10
agustus 2013
Opini yang dimuat adalah sepenuhnya milik
penulis risalah-online, bukan merupakan pernyataan dari risalah-online
No comments:
Post a Comment