Monday 2 November 2015

Bulan-bintang,aku titip ibu





Oleh : Lita Oktaviani
Kembali aku melihatnya lagi,sama seperti hari-hari sebelumnya,dia masih saja mengalir membasahi pipi wanita yang berusia 42 tahun, pipi yang mulai terlihat menua namun masih terlihat garis-garis cantik di wajahnya.

Seharusnya saat ini ia bahagia sama seperti orang-orang di sekitarnya.seharusnya bukan airmata yang menemaninya.senyuman ya..senyuman kemana ia pergi?ah…aku benci padanya.tak sepatutnya ia pergi meninggalkan ibuku  bersama kesedihan.
Senyuman…sudah lama rasanya aku tak melihat kata itu melekat pada ibuku.entahlah aku tak tahu harus berkata apa.setiap kali ku bertanya,ia hanya menjawab”suatu saat kau akan mengerti”. Ah…aku hanya bisa mengeluh dan menelan rasa penasaranku.”Bagaimana bisa aku akan mengerti tanpa ada penjelasan?”aku bersuara dalam hati.

Malam baru saja menutupi senja. Bulan sabit terlihat tersenyum dari atas sana, ditemani bintang yang bersinar terang,perpaduan yang indah. Ku yakin,siapa yang memandang akan merasa damai dan akan terukir sebuah senyuman tanda kekaguman pada ciptaan Tuhan yang Maha Sempurna.Begitu juga aku.lama aku terpana,memuji dalam diam keindahan ciptaanNya.”apakah dengan ketenangan yang seperti ini masih ada kesedihan diatas sana?”tanyaku sendiri
“jika rembulan tiada, apakah bintang akan merasa sedih seperti yang dirasakan ibu?”
‘kalau bintang tak ada,apakah bulan akan tetap tampak seindah ini?apakah bulan akan meneteskan airmata sama seperti ibu?”
Pertanyaan-pertanyaan ini berkeliaran dalam pikiranku. Menguak penyebab kesedihan ibu seperti mengungkap sebuah misteri bagiku. Andai saja ada detective conan,pasti mudah bagiku memecahkannya . Aku teringat tokoh kartun yang kusukai.

Malam kian larut,udara pun semakin dingin. Aku segera masuk kedalam rumah walau sebenarnya aku masih ingin berlama-lama dengan bulan dan bintang. Aku masih ingin berbagi kisah dengan mereka,meskipun diantara kami hanya kebisuan,namun ku tahu mereka merasakan apa yang ku rasa. Ku buka tirai jendela dan duduk disana,membiarkan sinar rembulan masuk kedalam kamarku.
Aku beranjak keluar kamar,niatku memanggil ibu dan mengajaknya menikmati malam bersama bulan dan bintang agar ia tak bersedih lagi. Tanganku terangkat hendak  mengetuk pintu kamarnya,namun urung. Ku tak ingin mengganggunya “ibu pasti kelelahan setelah seharian tadi bekerja” pikirku. Ku balikkan badan,dengan langkah gontai ku berjalan kembali ke kamar.
“Bulan apakah kau pernah merasa sedih?”
“ehm…pasti tidak,karena bintang selalu datang menemanimu. Kau sungguh beruntung memiliki sahabat seperti dia ”aku menjawab sendiri pertanyaan yang ku lontarkan
‘bintang,temanmu sungguh banyak.Pasti kau tidak pernah merasa sedih karena bila kau sedih,mereka akan menghiburmu, tidak seperti ibu” aku menunduk sedih.
 “oh ya,aku punya cerita,kalian mau mendengarkannya?”
“Aku akan menceritakan tentang ayahku.Kalian tahu, ayahku tampan dan baik hati….” Cerita dalam heningku mengalir layaknya seorang penggemar yang menceritakan idolanya.Walau tanpa suara,ku yakin mereka mengerti. Anganku melambung jauh melintasi waktu,terlintas kembali percakapanku dengan ayah,percakapan menjelang keberangkatan ayah ke daerah yang aku lupa namanya,yang ku ingat ayah di tugaskan bersama teman-temannya untuk menjaga daerah itu agar aman dari orang-orang yang tidak baik,begitu kata ayah padaku.
“ayah pamit nak,jaga ibu baik-baik”ayah mencium kepalaku sebelum membalikkan badan dan menaiki mobil yang menjemputnya.ayah terlihat begitu gagah dengan pakaian hijau lorengnya. Aku bangga memiliki ayah sepertinya.
Bulan terus berganti,aku dengan setia terus menghitung hari-hari yang berlalu karena ayah berjanji  ia pergi tidak akan lama.Kalender sudah penuh dengan tanda silang berwarna merah dan besok adalah hari kepulangan ayah. Tak terkira bahagianya hatiku karena besok aku akan bertemu dengan sosok yang kurindukan.
Jam 05.00 ,aku sudah bangun dan langsung sholat subuh. Aku ingat pesan ayah agar tidak meninggalkan sholat walaupun usiaku baru berusia 9 tahun,namun aku akan berusaha melaksanakan pesan ayah. Usai sholat,aku langsung mandi dan mengenakan seragam yang sama dengan kepunyaan ayah.ayah membelikannya untukku,sebelum ia pergi.
“gagah sekali anak ibu hari ini”
Ku tunjuk foto ayah dan diriku bergantian.
“iya,dani mirip dan gagah seperti ayah”
Aku tersenyum lebar.Ibu memang paling tahu kalau aku sangat senang di katakan mirip ayah.
Aku sibuk membantu ibu menyiapkan segala sesuatunya untuk menyambut ayah.
‘ayah pasti senang melihat aku memakai seragam ini” aku tersenyum sendiri membayangkannya. Aku semakin tak sabar.
Jam demi jam telah berlalu,tapi tanda-tanda kepulangan ayah belum tampak.
“mengapa belum ada kabar dari ayah?”tanyaku dengan bahasa yang kurang jelas
Tak berselang lama,telp berbunyi.Ibu mengangkatnya tapi mengapa usai berbicara di telp ibu menangis?ada apa?
Aku memandang ibu dengan penuh tanda tanya.ibu hanya menangis dan memelukku.
 “dani harus mengikhlaskan ayah karena ayah…”
Aku menggoyang-goyangkan tubuh ibu,meminta ia melanjutkan kalimatnya.Tanganku makin kuat menggoyang-goyangkan tubuhnya karena ibu tak juga bicara namun airmata yang jatuh menimpa kepalaku menjelaskan semuanya.ku lepaskan pelukan ibu berlari dan kembali kehadapannya sambil melihatkan foto ayah yang berseragam hijau loreng.ku tunjuki gambar ayah dan menggerakkan tanganku ke kanan dan kekiri.Ibu menggangguk dalam isakannya yang terdengar lebih keras. Aku tidak percaya,“mungkin ayah masih sibuk atau mungkin ayah sedang membelikan hadiah untukku dan ibu” aku menghibur diriku sendiri.
“ibu,berapa lama lagi ayah akan pulang?aku kangen ayah bu”
“kemari nak” ibu meletakkanku di pangkuannya.
“ibu tahu ini pasti sulit untuk mu nak,tapi dani harus kuat seperti pesan ayah.Kita harus sabar dan mengikhlaskannya.Dani juga harus selalu doakan ayah”
Ku tatap mata ibu dalam-dalam,tergambar jelas kesedihan yang teramat sangat.Ku peluk ibu.
Kini aku mengerti kenapa ibu sering menangis.
“hei..maukah kalian ku perlihatkan foto ayahku?”
Ku lihat bulan dan bintang  mengangguk.
“kemari dan mendekatlah”.
Tanganku menggapai foto ayah yang terpajang di atas meja,disamping tempat tidurku yang tidak begitu jauh dengan jendela,tempatku duduk.tangan kecilk terus menggapai.sedikit lagi.Aku terus berusaha menggapainya dan…
Aku merasakan tubuhku melayang ke bawah dan membentur sesuatu.ku sentuh kepalaku,ada yang mengalir di sana.warna merah menempel di telapak tanganku.nyeri dan sakit terasa.Aku mendengar ibu memanggil-manggil namaku,aku mencoba membuka mata meski sedikit sulit.jauh di atas sana,diantara bulan dan bintang-bintang,aku melihat ayah tersenyum dan melambaikan tangan padaku.

Sumedang,10 agustus 2013



Opini yang dimuat adalah sepenuhnya milik penulis  risalah-online, bukan merupakan pernyataan dari risalah-online

No comments:

Post a Comment