Oleh :
Dewi Sartika
Seorang
ahli pengangkut air dari India bertugas melayani tuannya dengan mengambilkan
air dari sungai ke rumah sang majikan. Ia mengangkut air dalam dua buah bejana
yang digantungkan pada sebatang tongkat pemikul pada pundaknya.
Salah
satu benjana itu retak pada begian pinggirnya, sedangkan bejana yang satunya
lagi masih bagus dan sempurna. Bejana yang sempurna selalu masih penuh dengan
air
setiap kali tiba di rumah, sedangkan bejana yang retak meneteskan air
sepanjang jalan dari sungai ke rumah sehingga isinya tinggal separuh setiap kali
tiba di rumah.
Tak
terasa sudah dua tahun berlalu. Setiap hari pengangkut air membawa satu bejana penuh air dan satu bejana berisi separuh
ke rumah majikannya. Tidak mengherankan bila bejana yang penuh bangga dengan
pengabdian yang telah
diberikannya, yang selalu sempurna sampai akhir. Sebaliknya bajana yang retak
merasa tidak bahagia, malu karena ketidaksempurnaannya, sedih hanya dapat
menghantarkan air separo dari yang semestinya.
Karena
merasa tidak sanggup menanggung rasa bersalahnya, sang bejana retak pada suatu
hati memutuskan mengadu kepada sang pemikul air. “aku malu sendiri”, katanya,
“aku ingin meminta maaf kepadamu”.
“tapi
untuk apa?” tanya sang pemikul air.
“karena
selama dua tahun ini,” cerita sang bejana, “retak pada bagian sampingku
menyebabkan air menetes di sepanjang jalan menuju rumah majikan kita, dan aku
hanya dapat menampung air separo dari yang seharusnya. Kau telah bersusah payah
mengangkut aku dari sungai ke rumah majikan setiap hari, tetapi karena
ketidaksempurnaanku, kau tidak mendapatkan nilai penuh dari usahamu.” Keluh
bejana yang sedang bersedih itu.
Dengan
ramah, pemikul air itu berkata pada bejana yang malang, “kalau nanti kita
kembali ke rumah majikan hari ini, coba perhatikan bunga-bunga indah yang ada
di sepanjang jalan.”
Waktu
sang pemikul dan kedua bejananya kembali mendaki bukit jalan menuju rumah
majikan, sang bejana tua yang retak melihat bunga-bunga yang liar bederet di
sepanjang jalan. Cahaya matahari memperindah penampilan mereka, sedang angin
sepoi-sepoi membuat mereka berayun-ayun dengan anggun. Akan tetapi setiba di
rumah, bejana yang retak itu masih saja merasa kecewa karena telah menumpahkan
air separo dari isinya, dan sekali lagi meminta maaf pada sang pemikul atas
kegagalanya.
Tetapi,
sang pemikul berkata kepada bejana itu, “tiadaklah kau memperhatikan bahwa
bunga-bunga yang indah itu hanya ada pada sisi yang kau lewati? Karena aku
selalu sadar tentang “kekuranganmu”, aku sengaja menanam bunga pada sisi jalan
yang kau lewati, dan ketika setiap hari aku memikul kalian dari sungai, kau
selalu mengairi bunga-bunga itu. Itu sebabnya setiap hari aku dapat memetik
bunga-bunga indah itu untuk memperindah meja majikan kita. Andaikan bukan kau
yang kupakai untuk mengangkut air, kita tidak dapat mempersembahkan indahnya
ciptaan Tuhan ini kepada majikan kita.”
Dari
kisah di atas dapat kita ambil hikmahnya bahwa setiap kekurangan yang kita
miliki sesungguhnya memiliki arti bagi orang lain. Persepsi (anggapan) kita
selalu negatif terhadap kekurangan yang kita miliki, sehingga semua itu harus
diubah agar menjadi pribadi yang bersyukur kepada sang Pencipta diri kita.
Tidak ada kecacatan pada diri kita yang telah diciptkaan oleh sang yang Maha
Sempurna, tegantung bagaimana diri kita sendiri menilai dan memperlakukan semua
potensi yang sudah diilhamkan-Nya dalam diri kita semenjak lahir.
Dari
kisah ini juga, kita semua diajak kembali untuk berfikir tentang orang-orang
yang ada disekitar kita, teman kita, saudara kandung kita, orang tua kita, dan
tetangga dekat maupun jauh yang kita miliki, apakah ada di antara mereka yang
masih mengangagap rendah terhadap segala potensi yang mereka miliki?. Jika
masih ada, mari sama-sama kita sampaikan kisah di atas untuk jadi renungan
positif bagi diri mereka, agar mau mengubah persepsi dari yang mulanya negatif
menjadi persepsi yang positif untuk ke depannya.
Mereka
adalah saudara kita dan kitalah yang bertanggungjawab terhadap kebahagiaan
mereka yang sudah mulai hilang.
Sumber:
Jack Cafield, dkk, Chicken Soup for the Unsinkable Soul (Kisah-Kisah
Inspiratif tentang Mengatasi Tantangan Hidup), Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, Cet. Ke-5, Desember 2002.
Tulisan
yang dimuat adalah sepenuhnya milik penulis risalah-online, bukan merupakan
pernyataan dari risalah-online
No comments:
Post a Comment