Friday 27 November 2015

Bejana yang Retak




Oleh : Dewi Sartika

Seorang ahli pengangkut air dari India bertugas melayani tuannya dengan mengambilkan air dari sungai ke rumah sang majikan. Ia mengangkut air dalam dua buah bejana yang digantungkan pada sebatang tongkat pemikul pada pundaknya.
Salah satu benjana itu retak pada begian pinggirnya, sedangkan bejana yang satunya lagi masih bagus dan sempurna. Bejana yang sempurna selalu masih penuh dengan air
setiap kali tiba di rumah, sedangkan bejana yang retak meneteskan air sepanjang jalan dari sungai ke rumah sehingga isinya tinggal separuh setiap kali tiba di rumah.
Tak terasa sudah dua tahun berlalu. Setiap hari pengangkut air membawa satu bejana penuh air dan satu bejana berisi separuh ke rumah majikannya. Tidak mengherankan bila bejana yang penuh bangga dengan pengabdian yang telah diberikannya, yang selalu sempurna sampai akhir. Sebaliknya bajana yang retak merasa tidak bahagia, malu karena ketidaksempurnaannya, sedih hanya dapat menghantarkan air separo dari yang semestinya.
Karena merasa tidak sanggup menanggung rasa bersalahnya, sang bejana retak pada suatu hati memutuskan mengadu kepada sang pemikul air. “aku malu sendiri”, katanya, “aku ingin meminta maaf kepadamu”.
“tapi untuk apa?” tanya sang pemikul air.
“karena selama dua tahun ini,” cerita sang bejana, “retak pada bagian sampingku menyebabkan air menetes di sepanjang jalan menuju rumah majikan kita, dan aku hanya dapat menampung air separo dari yang seharusnya. Kau telah bersusah payah mengangkut aku dari sungai ke rumah majikan setiap hari, tetapi karena ketidaksempurnaanku, kau tidak mendapatkan nilai penuh dari usahamu.” Keluh bejana yang sedang bersedih itu.
Dengan ramah, pemikul air itu berkata pada bejana yang malang, “kalau nanti kita kembali ke rumah majikan hari ini, coba perhatikan bunga-bunga indah yang ada di sepanjang jalan.”
Waktu sang pemikul dan kedua bejananya kembali mendaki bukit jalan menuju rumah majikan, sang bejana tua yang retak melihat bunga-bunga yang liar bederet di sepanjang jalan. Cahaya matahari memperindah penampilan mereka, sedang angin sepoi-sepoi membuat mereka berayun-ayun dengan anggun. Akan tetapi setiba di rumah, bejana yang retak itu masih saja merasa kecewa karena telah menumpahkan air separo dari isinya, dan sekali lagi meminta maaf pada sang pemikul atas kegagalanya.
Tetapi, sang pemikul berkata kepada bejana itu, “tiadaklah kau memperhatikan bahwa bunga-bunga yang indah itu hanya ada pada sisi yang kau lewati? Karena aku selalu sadar tentang “kekuranganmu”, aku sengaja menanam bunga pada sisi jalan yang kau lewati, dan ketika setiap hari aku memikul kalian dari sungai, kau selalu mengairi bunga-bunga itu. Itu sebabnya setiap hari aku dapat memetik bunga-bunga indah itu untuk memperindah meja majikan kita. Andaikan bukan kau yang kupakai untuk mengangkut air, kita tidak dapat mempersembahkan indahnya ciptaan Tuhan ini kepada majikan kita.”
Dari kisah di atas dapat kita ambil hikmahnya bahwa setiap kekurangan yang kita miliki sesungguhnya memiliki arti bagi orang lain. Persepsi (anggapan) kita selalu negatif terhadap kekurangan yang kita miliki, sehingga semua itu harus diubah agar menjadi pribadi yang bersyukur kepada sang Pencipta diri kita. Tidak ada kecacatan pada diri kita yang telah diciptkaan oleh sang yang Maha Sempurna, tegantung bagaimana diri kita sendiri menilai dan memperlakukan semua potensi yang sudah diilhamkan-Nya dalam diri kita semenjak lahir.
Dari kisah ini juga, kita semua diajak kembali untuk berfikir tentang orang-orang yang ada disekitar kita, teman kita, saudara kandung kita, orang tua kita, dan tetangga dekat maupun jauh yang kita miliki, apakah ada di antara mereka yang masih mengangagap rendah terhadap segala potensi yang mereka miliki?. Jika masih ada, mari sama-sama kita sampaikan kisah di atas untuk jadi renungan positif bagi diri mereka, agar mau mengubah persepsi dari yang mulanya negatif menjadi persepsi yang positif untuk ke depannya.
Mereka adalah saudara kita dan kitalah yang bertanggungjawab terhadap kebahagiaan mereka yang sudah mulai hilang.

Sumber: Jack Cafield, dkk, Chicken Soup for the Unsinkable Soul (Kisah-Kisah Inspiratif tentang Mengatasi Tantangan Hidup), Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Cet. Ke-5, Desember 2002.



Tulisan yang dimuat adalah sepenuhnya milik penulis  risalah-online, bukan merupakan pernyataan dari risalah-online

No comments:

Post a Comment