Monday, 30 November 2015

Mengejar dunia yang tidak seberapa nilainya




By: Dewi Sartika

Pernahkah kita melihat diri kita sendiri yang gemar bekerja untuk mengumpulkan harta kekayaan demi meraih kebahagiaan yang hakiki. Kita merasa dengan uang semuanya dapat dibeli, mau mobil tinggal sebut saja, jika ada uang ya tinggal pergi aja ke dealer mobil untuk transaksi dan memilih model apapun yang kita suka.
Mau rumah, komputer, gedget, dan sederet barang mewah lainnya yang notabene semua itu adalah perhiasan dunia yang katanya dapat memuaskan nafsu lahir dan batin bagi si hedonisme (pecinta dunia), dapat dibeli dengan uang.

Bekerja tanpa tujuan yang jelas, kita hanya bisa mendapatkan lelahnya saja.  Mungkin uang banyak, tapi gak tahu untuk apa, mau dibeliin apa, dan dikasih sama siapa. Kebahagiaan itu adalah semu, tidak bisa diraba, apalagi diprediksikan. Apa buktinya? Coba kita lihat fakta yang terjadi di keluarga kita, tetangga kita, dan lingkungan tempat kita hidup. Di sana banyak kita saksikan fakta bahwa kebahagiaan yang sudah sedemikian rupa dirancang dan diprediksikan bisa pupus dalam hitungan detik.

Contoh realnya saja seperti seorang calon mahasiswa kedokteran yang sudah belajar dengan keras selama satu tahun ikut bimbingan persiapan masuk perguruan tinggi favorit, lalu tiba pada saat ujian masuk PT jurusan Kedokteran tersebut, dia mengalami kecelakaan hebat seketika, saat dia melakukan perjalanan menuju lokasi tes. Wallahu’alam, semua itu di luar dugaan manusia bukan?.

Kasus lainnya yang kita temukan seperti yang terjadi di kampung kita, dengan prediksi hasil panen yang melimpah tahun ini dari sawah, ladang, dan kolam yang sudah kita usahakan, dalam sekejap bisa ludes terbawa arus banjir bandang jika Allah Swt menghendaki. Dan masih banyak sederet peristiwa lainnya yang dapat menggugah hati dan jiwa kita untuk kembali kepada-Nya. Cara ampuh yang mesti kita praktekkan dalam kehidupan ini adalah dengan mencukupkan rezeki yang telah diberikan-Nya pada kita hari ini, dan mensyukurinya dengan cara menggunakan rezeki tesebut dengan baik dan halal.

Si miskin tidak perlu bersedih dengan kemiskinannya, si kaya tidak perlu pongah dengan kelebihannya, tinggal kita sendiri mau kaya atau miskin tidak perlu jadi persoalan yang penting sabar, syukur, dan ikhtiyar. Ketiga poin ini mesti kita miliki demi meraih kebahagiaan yang hakiki tersebut.
Kembali pada zaman Khalifah Harun al-Rasyid, ketika Harun al-Rasyid diintruksikan oleh al-Sammak ketika hendak minum lalu berkatalah al-Sammak pada Baginda Harun, “tahan dulu ya Amirul Mukminin!”. Lalu Khalifah Harun balik bertanya, “ada apa ya Ibnu Sammak?”. Al-Sammak berkata, “apabila orang-orang mencegahmu untuk minum air ini, berapa banyak harga yang akan kamu berikan untuk membeli air ini?”. Harun menjawab, “saya akan membelinya dengan harga separuh dari kerajaanku”. Al-Sammak berkata, “minumlah, semoga Allah selalu memberi keberkahan dan kenikmatan-Nya padamu”. Tatkala Harun selelsai meminum air terebut, al-Sammak bertanya lagi, “wahai Amirul Mukminin, seandainya air yang telah engkau minum tidak dapat keluar dari tubuhmu, dengan harga berapa engkau akan membayarnya?”. Harun spontan menjawab, “dengan seluruh kerajaanku”. Maka berkatalah al-Sammak untuk menasihati Harun, “jika harga kerajaanmu sama dengan nilai seteguk air dan sekali dalam membuangnya, maka sudah sepantasnya orang-orang tidak memperebutkannya”. Mendengan perkataan yang menyentuh tersebut Harun langsung menangis.

Wahai saudaraku, apa hikmah yang bisa kita petik dari kisah di atas, sudah barang tentu kita akan menjawab dengan jawaban yang sama jika diajukan dengan pertanyaan yang sama sebagaimana pertanyaan yang diajukan al-Sammak pada Harun tadi.

Contoh lainya dapat kita lihat percakapan antara seorang ibu yang miskin namun diberi kelebihan yakni dikarunia banyak anak dengan si kaya yang banyak harta namun tidak dikaruniai anak. Si kaya bertanya pada si ibu tersebut, “maukah ibu memberikan anak ibu untuk saya kasuh dan saya didik hingga dewasa?”. Sang ibu akan berfikir sejenak, lalu memutuskan dengan berkata, “wahai bapak yang kaya dan hati yang pemurah, meski saya miskin namun saya yakin masih bisa mencari rezeki yang halal untuk menghidupi putra-putri saya ini, saya tidak akan memberikan anak ini pada siapapun karena takut kelaparan dan tidak bisa sekolah”.

Contoh di atas membuktikan pada kita semua, bahwa kebahagiaan itu bukan ada pada perhiasan dunia (seperti anak, istri, suami, kendaraan mewah, rumah megah, perhiasaan berkilau, jabatan tinggi, dan sebagainya), namun kebahagiaan itu letaknya di hati berupa kepuasan, ketenangan dan kedamaian yang diilhamkan pada Allah Swt pada diri setiap orang yang beriman dan tawakkal pada-Nya.

Mari kita rebut kebahagiaan itu dari tangan-Nya, dengan cara meningkatkan kembali intensitas ibadah kita dan bergiat dalam mencari karunia-Nya yang tersebar di muka bumi. Pekerjaan apapun asalkan baik dan halal, hasilnya tidak akan ada sia-sia, karena hanya Dialah yang Maha Penjamin rezeki bagi setiap makhluk  yang bernyawa.





Tulisan yang dimuat adalah sepenuhnya milik penulis  risalah-online, bukan merupakan pernyataan dari risalah-online

1 comment:

  1. alhamdulillah, moga tulisan menjadi embun laksana di pagi hari

    ReplyDelete