By:
Dewi Sartika
Pernahkah kita melihat
diri kita sendiri yang gemar bekerja untuk mengumpulkan harta kekayaan demi
meraih kebahagiaan yang hakiki. Kita merasa dengan uang semuanya dapat dibeli,
mau mobil tinggal sebut saja, jika ada uang ya tinggal pergi aja ke dealer
mobil untuk transaksi dan memilih model apapun yang kita suka.
Mau rumah, komputer, gedget, dan sederet barang mewah lainnya yang notabene semua itu adalah perhiasan dunia yang katanya dapat memuaskan nafsu lahir dan batin bagi si hedonisme (pecinta dunia), dapat dibeli dengan uang.
Mau rumah, komputer, gedget, dan sederet barang mewah lainnya yang notabene semua itu adalah perhiasan dunia yang katanya dapat memuaskan nafsu lahir dan batin bagi si hedonisme (pecinta dunia), dapat dibeli dengan uang.
Bekerja tanpa tujuan
yang jelas, kita hanya bisa mendapatkan lelahnya saja. Mungkin uang banyak, tapi gak tahu untuk apa,
mau dibeliin apa, dan dikasih sama siapa. Kebahagiaan itu adalah semu, tidak
bisa diraba, apalagi diprediksikan. Apa buktinya? Coba kita lihat fakta yang
terjadi di keluarga kita, tetangga kita, dan lingkungan tempat kita hidup. Di sana
banyak kita saksikan fakta bahwa kebahagiaan yang sudah sedemikian rupa dirancang
dan diprediksikan bisa pupus dalam hitungan detik.
Contoh realnya saja seperti
seorang calon mahasiswa kedokteran yang sudah belajar dengan keras selama satu
tahun ikut bimbingan persiapan masuk perguruan tinggi favorit, lalu tiba pada
saat ujian masuk PT jurusan Kedokteran tersebut, dia mengalami kecelakaan hebat
seketika, saat dia melakukan perjalanan menuju lokasi tes. Wallahu’alam,
semua itu di luar dugaan manusia bukan?.
Kasus lainnya yang kita
temukan seperti yang terjadi di kampung kita, dengan prediksi hasil panen yang
melimpah tahun ini dari sawah, ladang, dan kolam yang sudah kita usahakan,
dalam sekejap bisa ludes terbawa arus banjir bandang jika Allah Swt
menghendaki. Dan masih banyak sederet peristiwa lainnya yang dapat menggugah
hati dan jiwa kita untuk kembali kepada-Nya. Cara ampuh yang mesti kita
praktekkan dalam kehidupan ini adalah dengan mencukupkan rezeki yang telah
diberikan-Nya pada kita hari ini, dan mensyukurinya dengan cara menggunakan
rezeki tesebut dengan baik dan halal.
Si miskin tidak perlu
bersedih dengan kemiskinannya, si kaya tidak perlu pongah dengan kelebihannya,
tinggal kita sendiri mau kaya atau miskin tidak perlu jadi persoalan yang
penting sabar, syukur, dan ikhtiyar. Ketiga poin ini mesti kita miliki demi
meraih kebahagiaan yang hakiki tersebut.
Kembali pada zaman
Khalifah Harun al-Rasyid, ketika Harun al-Rasyid diintruksikan oleh al-Sammak
ketika hendak minum lalu berkatalah al-Sammak pada Baginda Harun, “tahan dulu
ya Amirul Mukminin!”. Lalu Khalifah Harun balik bertanya, “ada apa ya Ibnu
Sammak?”. Al-Sammak berkata, “apabila orang-orang mencegahmu untuk minum air
ini, berapa banyak harga yang akan kamu berikan untuk membeli air ini?”. Harun menjawab,
“saya akan membelinya dengan harga separuh dari kerajaanku”. Al-Sammak berkata,
“minumlah, semoga Allah selalu memberi keberkahan dan kenikmatan-Nya padamu”.
Tatkala Harun selelsai meminum air terebut, al-Sammak bertanya lagi, “wahai
Amirul Mukminin, seandainya air yang telah engkau minum tidak dapat keluar dari
tubuhmu, dengan harga berapa engkau akan membayarnya?”. Harun spontan menjawab,
“dengan seluruh kerajaanku”. Maka berkatalah al-Sammak untuk menasihati Harun,
“jika harga kerajaanmu sama dengan nilai seteguk air dan sekali dalam
membuangnya, maka sudah sepantasnya orang-orang tidak memperebutkannya”.
Mendengan perkataan yang menyentuh tersebut Harun langsung menangis.
Wahai saudaraku, apa hikmah
yang bisa kita petik dari kisah di atas, sudah barang tentu kita akan menjawab
dengan jawaban yang sama jika diajukan dengan pertanyaan yang sama sebagaimana
pertanyaan yang diajukan al-Sammak pada Harun tadi.
Contoh lainya dapat
kita lihat percakapan antara seorang ibu yang miskin namun diberi kelebihan
yakni dikarunia banyak anak dengan si kaya yang banyak harta namun tidak
dikaruniai anak. Si kaya bertanya pada si ibu tersebut, “maukah ibu memberikan
anak ibu untuk saya kasuh dan saya didik hingga dewasa?”. Sang ibu akan
berfikir sejenak, lalu memutuskan dengan berkata, “wahai bapak yang kaya dan
hati yang pemurah, meski saya miskin namun saya yakin masih bisa mencari rezeki
yang halal untuk menghidupi putra-putri saya ini, saya tidak akan memberikan
anak ini pada siapapun karena takut kelaparan dan tidak bisa sekolah”.
Contoh di atas
membuktikan pada kita semua, bahwa kebahagiaan itu bukan ada pada perhiasan
dunia (seperti anak, istri, suami, kendaraan mewah, rumah megah, perhiasaan
berkilau, jabatan tinggi, dan sebagainya), namun kebahagiaan itu letaknya di
hati berupa kepuasan, ketenangan dan kedamaian yang diilhamkan pada Allah Swt
pada diri setiap orang yang beriman dan tawakkal pada-Nya.
Mari kita rebut
kebahagiaan itu dari tangan-Nya, dengan cara meningkatkan kembali intensitas
ibadah kita dan bergiat dalam mencari karunia-Nya yang tersebar di muka bumi.
Pekerjaan apapun asalkan baik dan halal, hasilnya tidak akan ada sia-sia,
karena hanya Dialah yang Maha Penjamin rezeki bagi setiap makhluk yang bernyawa.
Tulisan
yang dimuat adalah sepenuhnya milik penulis risalah-online, bukan merupakan
pernyataan dari risalah-online
alhamdulillah, moga tulisan menjadi embun laksana di pagi hari
ReplyDelete