Monday, 30 November 2015

Mimosa Pudica





Oleh: Lita Oktaviani

Tidak!aku tidak ingin percaya dengan apa yang ku lihat.
Dia…benarkah itu dia?
Bukan! ku harap bukan dia,namun sepertinya harapanku sia-sia tatkala aku memberanikan diri mendekat selangkah lagi.Ku sentuh bahunya,wajahnya mengarah padaku.

Aku terkejut.begitu juga dirinya.ia menepis tanganku,melangkah cepat-cepat,tergesa-gesa.ia sesekali mengarah ke belakang,seakan ingin memastikan aku tidak mengikutinya.
“tia..”airmataku luruh.perasaanku basah.ingin rasanya tidak percaya,wajah itu…meski cahaya lampu yang berdiri kokoh di gang tempat yang biasa ku lalui tidak begitu terang,namun cahayanya mampu membantuku mengenali wajahnya.
‘tia” sekali lagi ku menyebut namanya.ku angkat kepalaku,menatap langit,mencoba menahan bulir bening yang turun kian deras.gontai ku langkahkan kaki.malam yang kelam,semakin kelam ku rasa.
Shintia Cantika.sepupuku,gadis berkulit putih,hidung mancung,berlesung pipit.kami di besarkan bersama,karena selain rumah kami yang berdekatan,usia kami tidak berbeda jauh.kami saling berbagi cerita apa saja,tidak ada rahasia,kecuali malam itu.
“semalam itu siapa?”
“maksud kamu?”
Mendengar kata “kamu”,ku tahu ia tak ingin di usik dengan kejadian semalam.tapi,rasa sayang ku terhadapnya memaksaku untuk bertanya.aku ingin kejelasan darinya karena ku tak ingin dia terjerumus pada pergaulan yang tidak benar.
“kau tahu persis apa yang ku maksudkan,tapi sepertinya time-nya tidak tepat.aku hanya ingin kau tidak salah dalam memilih teman,karena aku menyayangimu”usai berkata seperti itu,ku berjalan menuju pintu
“tunggu dulu!”
Aku menghentikan langkah,membalikkan badan
“kamu tidak menceritakan kejadian semalam pada orang tuaku kan?”
“apa Tante rani menanyakannya padamu?”ku jawab jawabannya dengan pertanyaan.Ku yakin dia mengerti,terlihat ia menghembuskan nafas berat,lega.
Seminggu telah berlalu sejak kejadian itu.Terasa ada yang berubah dalam hubungan kami.Biasanya,aku dan tia pulang sekolah bersama-sama,namun tidak kali ini.Ia menolak saat ku ajak pulang dan lebih memilih pulang dengan seseorang yang baru kulihat.laki-laki.
Aku perhatikan dengan seksama wajah laki-laki itu.penampilannya yang  jauh dari kesan rapi semakin memancing otakku untuk memunculkan sejuta tanda Tanya,dimana Tia mengenalnya?setahuku,Tia paling anti dengan hal-hal yang “berbau” tidak rapi.tapi ini…
Oh…tiaku sayang,ada apa denganmu?
“sepertinya aku pernah melihatnya,tapi dimana?”ku paksa computer tercanggihku untuk menghadirkan file  memori yang tersimpan.
“dia kan laki-laki yang malam itu bersama tia.ini tidak bisa di biarkan” dengan semangat ’45 ku kembali ke tempat tia,memaksanya pulang denganku.terlambat.Tia sudah naik ke atas motor dan pergi bersama laki-laki yang tak ku kenal.Tangannya  melingkar di pinggang laki-laki itu di sertai senyuman yang sumringah,tidak hanya menghadirkan tangis namun juga luka.
Kian hari semakin jauh jarak di antara kami.Tak ada senyum canda tawa tak juga cerita.sepi.sejak mengenal laki-laki itu,yang akhirnya ku ketahui bernama Rio,Tia seperti orang asing bagiku.Bila bertemu hanya sekedar say hallo,selanjutnya ia akan larut dengan teman-teman barunya yang aneh menurutku.pembicaraan mereka tak jauh-jauh dari yang namanya “Rio” dan dari sini juga ku tahu kalo ternyata Rosi,cewek yang paling cerewet dan yang dandanannya paling norak yang mengenalkan Rio pada Tia.
“Sa,susunan warna kabel LAN apa?aku lupa”
“orange-putih,orange…”
“stop!aku ingat warna selanjutnya”ia tersenyum.lesung pipitnya menjadikan dia semakin manis
“akhirnya kabel LAN ku selesai.selanjutnya apa sa?
“kita pasang ke computer,lalu kita koneksikan”
“sa,ini dari tadi tidak bisa di koneksikan”
“alamat IP nya sudah di atur?”
“hehehe…belum” ia nyengir.
Lamunan ku buyar seiring dengan suara penjaga perpustakaan yang memberitahukan bahwa perpustakaan akan  di tutup.ku lirik jam tangan,pukul 16.00 wib.ku letakkan  buku yang tadi ku baca di rak-rak buku,pakai sepatu,ambil tas di loker dan pulang.sendiri.
Jam dinding menunjukkan pukul 20.00 wib saat tante Rani datang ke rumah.terlukis jelas kekhawatiran di wajahnya yang ayu.
“silahkan duduk tante.sebentar ,risa ambil minum dulu”
“ada apa Rani,kok kamu terlihat gelisah?tanya ibu sepeninggalku
“iya mbakyu,Tia belum pulang”
“belum pulang?apa dia ndak ngasih kabar kalau akan pulang terlambat?
“ndak mbakyu,tidak biasanya dia pulang terlambat.gimana ini mbak,malah hari sudah malam”
“tenangkan dirimu Rani,kita tanya risa,mungkin dia tahu kemana Tia”
“Rio?seingat tante Tia tidak punya teman yang benama Rio”
“mereka pergi kemana?”
Aku menggeleng.
“Gusti allah lindungilah anakku”kekhawatiran tante rani bertambah.
“dia bukan tia yang dulu ma” ujarku di pelukan mama sesaat tante rani meninggalkan kami karena tia sudah pulang.
Di kantin sekolah,ku lihat tia duduk sendiri,tanpa ba-bi-bu,ku dekati Tia yang sedang menyerumput jus jeruknya.
“Tia,bisa aku menceritakan sesuatu padamu?”
Ia diam,namun itu ku anggap sebagai tanda persetujuannya.
“aku saat ini kehilangan saudara,sahabat sekaligus teman diskusi yang baik.telah banyak hal yang kami lalui bersama.namun akhir-akhir ini,sejak ia mengenal laki-laki itu,ia berubah.bila mengingat semua kenangan kami,aku sedih”
Ku tatap Tia,berharap ia merasakan apa yang ku rasakan,kesedihan yang teramat dalam karena kehilangan seseorang.Kantin mulai ramai dengan pengunjung,namun belum ada sepatah katapun yang keluar dari bibirnya hanya keheningan yang membentang di antara kami.Ia berlalu dalam diam.
 “sa,berhenti”tia menahan tanganku.
“ada apa tia?”
“ada putri malu”jari telunjuknya mengarah ke tanaman itu.
“oh..Mimosa pudica
“bukan sa,bukan Mimosa pudica tapi putri malu”
“ya ampun ,pasti kamu tidur ya pas pelajaran biologi kemaren.Mimosa pudica itu bahasa latinnya putri malu,gimana sih non”aku pura-pura kesal.
Tia mesam-mesem.nyengir.Tangannya terjulur menyentuh daun putri malu.Aku mengikuti gerakannya.
“daunnya malu tuh”candaku melihat daun putri malu yang menguncup karena sentuhan tangan kami.
“iya pemalu,sama seperti sifat wanita”
“1000 buat kamu tia.pemalu itu kan memang sudah sifatnya wanita,jadi dia harus menjaga sifat malunya itu.
“maksudnya?’
“kumat deh penyakit lolanya”
Tia mencubit pinggangku.Aku tergelak
“maksudku kita sebagai wanita jangan mau di pegang sama laki-laki sembarangan.Daun putri malu aja malu kalau di sentuh,masa kita,manusia yang di beri nikmat akal dan pikiran mau aja di pegang-pegang.tengsin dong!
“ye…biasa aja kaleee jelasinnya ” Tia tersenyum karena melihat semangatku yang berapi-api saat menjelaskan.
Tiba-tiba saja terdengar suara mengaduh di sampingku.ujung jari tia berdarah,tertusuk duri daun putri malu.
“makanya hati-hati non”
‘ku sudah hati-hati kok,daun putri malunya aja yang berduri”Tia meringis perih.
“ye….malah nyalahin tumbuhan,yang namanya makhluk hidup pasti punya senjata untuk melindungi diri,termasuk daun putri malu.Nah duri itu senjatanya dia untuk melindungi diri agar aman dari gangguan makhluk hidup lain.Seperti itu juga hendaknya seorang wanita.Ia harus mampu menjaga diri dan kehormatannya.walaupun wanita adalah sosok yang penuh dengan kelembutan,bukan berarti ia lemah.ia harus menjadi pribadi yang kuat dan tidak akan berdiam diri ketika mendapat perlakuan yang tidak baik”
“cie..cie..ehm!tambah pintar aja sepupuku ini”tia menggodaku.
by the way,aku setuju banget dengan pendapatmu.Kita sebagai wanita,hendaknya mencontoh Mimosa pudica”ujarnya lanjut.penuh semangat
“tiitt…tiittt…’klakson motor dari arah belakangku mengusir kenangan yang sengaja ku kenang.laki-laki bersama seorang wanita.berboncengan mesra.“Tia” ucapku lirih.
Ku tinggalkan Mimosa pudica yang menguncup.malu





Tulisan yang dimuat adalah sepenuhnya milik penulis  risalah-online, bukan merupakan pernyataan dari risalah-online

2 comments:

  1. Merinding baca tulisannya kak lita ini, mantap kk. (y)

    ReplyDelete
  2. kak lita memang keren, hoby nulis cerpen ya kak?

    ReplyDelete