By: Dewi Sartika
Ketika
Rasulullah Saw sedang duduk-duduk di tengah para sahabatnya, salah seorang
pendeta Yahudi bernama Zaid bin Sa’nah masuk menerobos barisan jama’ah yang
melingkarinya,
seraya menyambar kain Rasululullah dan menghardiknya dengan
kasar. Katanya, “ya Muhammad, bayarlah hutangmu. Kamu keturunan Bani Hasyim
biasa memperlambat pelunasan”.
Pada
waktu itu Rasulullah memang punya hutang kepada orang Yahudi itu, namun belum
jatuh tempo. Umar yang melihat peristiwa itu langsung bangkit dan menghunus
pedangnya, seraya memohon izin. Ucapnya, “ya Rasulullah, izinkanlah aku
memenggal leher si bedebah ini !”.
Tetapi
Rasulullah bersabda, “ya Umar, aku tidak disuruh berdakwah dengan cara begitu.
Antara aku dan dia memang sedang membutuhkan kebijaksanaanmu. Suruhlah dia managih
dengan sopan dan ingatkanlah aku supaya melunasinya dengan baik”.
Mendengar
sabada Rasulullah tersebut, orang Yahudi itu berkata, “demi yang mengutusmu
dengan kebenaran. Sebenarnya aku tidak datang untuk menagih hutangmu, namun aku
datang untuk menguji akhlakmu. Aku tahu, tempo pelunasan hutang itu belum tiba
waktunya. Akan tetapi aku telah membaca sifat-sifatmu dalam kitab Taurat, dan
ternyata terbukti semua, kecuali satu sifat yang belum aku uji, yaitu tentang
kebijakanmu bertindak pada waktu marah. Teryata tindakan bodoh yang ceroboh
sekalipun engkau dapat mengatasinya dengan bijaksana. Itulah yang aku lihat
sekarang ini. Maka terimalah islamku ini, ya Rasulullah,
“Asyhadu
alaa ilaha illallah wa annaka ya Muhammad Rasulullah” (aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan engkau adalah Rasulullah)
Dari
kisah di atas dapat kita ambil pelajaran, yakni dalam kondisi apapun kita
diminta agar dapat mengendalikan emosi, tidak membiarkan emosi tersebut
tersulut ketika berhadapan dengan orang yang memiliki emosi yang sedang
bergejolak. Mana tahu dia yang datang pada kita tersebut, belum tentu sungguh-sungguh
sedang marah sama kita, namun bisa jadi dia ingin menguji kesabaran dan akhlak
kita. Dia ingin tahu sejauh mana akhlak dan budi kita, apakah hanya sebatas
indah dipandang ketika senang saja, atau selalu enak dipandang kapan saja (baik
dalam kondisi marah atau senang).
Sumber: Nasaruddin,
Kisah Orang-Orang Sabar, Jakarta : Gramedia, Cet. Ke-2, Juli 2010.
thanks for your written
ReplyDelete