Monday 16 November 2015

Hikmah Sabar di Waktu Marah




By: Dewi Sartika

Ketika Rasulullah Saw sedang duduk-duduk di tengah para sahabatnya, salah seorang pendeta Yahudi bernama Zaid bin Sa’nah masuk menerobos barisan jama’ah yang melingkarinya,
seraya menyambar kain Rasululullah dan menghardiknya dengan kasar. Katanya, “ya Muhammad, bayarlah hutangmu. Kamu keturunan Bani Hasyim biasa memperlambat pelunasan”.
Pada waktu itu Rasulullah memang punya hutang kepada orang Yahudi itu, namun belum jatuh tempo. Umar yang melihat peristiwa itu langsung bangkit dan menghunus pedangnya, seraya memohon izin. Ucapnya, “ya Rasulullah, izinkanlah aku memenggal leher si bedebah ini !”.
Tetapi Rasulullah bersabda, “ya Umar, aku tidak disuruh berdakwah dengan cara begitu. Antara aku dan dia memang sedang membutuhkan kebijaksanaanmu. Suruhlah dia managih dengan sopan dan ingatkanlah aku supaya melunasinya dengan baik”.
Mendengar sabada Rasulullah tersebut, orang Yahudi itu berkata, “demi yang mengutusmu dengan kebenaran. Sebenarnya aku tidak datang untuk menagih hutangmu, namun aku datang untuk menguji akhlakmu. Aku tahu, tempo pelunasan hutang itu belum tiba waktunya. Akan tetapi aku telah membaca sifat-sifatmu dalam kitab Taurat, dan ternyata terbukti semua, kecuali satu sifat yang belum aku uji, yaitu tentang kebijakanmu bertindak pada waktu marah. Teryata tindakan bodoh yang ceroboh sekalipun engkau dapat mengatasinya dengan bijaksana. Itulah yang aku lihat sekarang ini. Maka terimalah islamku ini, ya Rasulullah,
“Asyhadu alaa ilaha illallah wa annaka ya Muhammad Rasulullah” 
(aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan engkau adalah Rasulullah)
Dari kisah di atas dapat kita ambil pelajaran, yakni dalam kondisi apapun kita diminta agar dapat mengendalikan emosi, tidak membiarkan emosi tersebut tersulut ketika berhadapan dengan orang yang memiliki emosi yang sedang bergejolak. Mana tahu dia yang datang pada kita tersebut, belum tentu sungguh-sungguh sedang marah sama kita, namun bisa jadi dia ingin menguji kesabaran dan akhlak kita. Dia ingin tahu sejauh mana akhlak dan budi kita, apakah hanya sebatas indah dipandang ketika senang saja, atau selalu enak dipandang kapan saja (baik dalam kondisi marah atau senang).

Sumber: Nasaruddin, Kisah Orang-Orang Sabar, Jakarta : Gramedia, Cet. Ke-2, Juli 2010.


Tulisan yang dimuat adalah sepenuhnya milik penulis  risalah-online, bukan merupakan pernyataan dari risalah-online

1 comment: