M. Sayyidus Shaleh
Banyak dari Pembaca mungkin sudah tahu arti dari
kata yang menjadi judul diatas. Kalau dilihat di kamus besar Cambridge, kata ini berarti, “The act of
making someone into a god”, yang jika diterjemahkan ke
bahasa kita, “Menjadi Tuhan”. Jika dibandingkan dengan “Metamorphosis” yang
terjadi pada ulat sampai kupu-kupu, “Apotheosis” dimaksudkan untuk terjadi pada
diri manusia. Contoh dari kata ini banyak ditemukan dalam karya seni dan literatur
Barat. Mislanya saja lukisan George Washington yang ditampilkan memiliki sayap,
lingkaran halo diatas kepala dan bentuk fisik “ketuhanan” lainnya di bagian
dalam kubah The Capitol, Amerika Serikat. Proses melepaskan cangkang fana
manusiawi menuju sifat ketuhanan.
Tentu, dalam dunia yang kita huni sekarang, hal-hal
seperti itu adalah tak mungkin terjadi secara eksak. Nonsens. Tapi, hal-hal
nonsens mempunyai dunia mereka sendiri, yaitu ranah psikologis.
Sudah banyak kisah yang tertulis di Al-Qur’an (yang
sudah banyak juga dibuktikan kebenarannya oleh bukti arkeologis), tentang
mereka yang memiliki indikasi apotheosis. Fir’aun memproklamirkan dirinya
sebagai satu-satunya yang harus disembah rakyatnya. Tidak hanya itu, ia pun
memerintahkan arsiteknya, Haman, membangun menara setinggi langit agar ia bisa
naik dan menantang Tuhan. Bangsa Babilonia kuno membuat bangunan melegenda,
Menara Babel dengan maksud tak jauh berbeda.
Nah, perilaku psikologis menyimpang ini tak hanya
berhenti sampai disitu. Sebuah penyakit, baik itu hanya berupa gejala atau
sudah sangat akut.
Kita bisa melihat lebih banyak lagi contoh gejala
apotheosis ini. Di abad pertengahan, misalnya. Hampir seluruh negeri kerajaan
di Eropa, terdapat para raja yang menggaungkan kalau setiap keputusan raja adalah
sekaligus keputusan Tuhan, yang secara tidak langsung menjadi sarana
“menuhankan diri” bagi mereka.
Gejala ini merebak lagi di abad ke-20 dan 21, kali
ini lebih halus lagi. Bukan lagi raja, karena sistem kerajaan tak lagi populer.
Sekarang, sebutannya adalah Kanselor, Perdana Menteri, Gubernur, Diktator.
Sebut saja nama-nama seperti Adolf Hitler, Benito Mussolini, Stalin, dan
sebagainya. Semuanya menunjukkan indikasi yang sama.
Kenapa hal ini bisa terjadi? Hal yang cukup jelas
dapat diambil dari pemikiran bahwa orang-orang ini merasa telah menghilangkan
sifat manusia dari diri mereka. Terutama sifat humanis seperti merasa bersalah
dan memaafkan sesama. Mereka merasa sempurna, suci, tak bersalah. Seluruh
kaumnya menuruti apapun keinginannya. Mutlak.
Yang tadi itu adalah sampel yang sudah akut. Di
masyarakat luas disekitar kita saja, kita bisa menemukan bibit-bibit kecil
apotheosis ini.
Misalkan saja sebuah lembaga pendidikan pesantren
atau padepokan konvensional, yang masalahnya terletak pada orang yang
mengepalai badan tersebut, yang masih berpikiran konservatif. Paranoid dengan
segala bentuk perubahan atau dengan anggapan kalau segala hal baru bersifat
merusak. Di pikirannya, ia telah sampai pada kesimpulan bahwa konsep
konservatif adalah kebenaran mutlak, tak peduli apakah beberapa aspek
kebenarannya sudah mulai kadaluarsa, atau berlebihan. Tentu, ada perbedaan
besar antara pemimpin yang berusaha menegakkan keadilan sambil masih
memperhatikan seluruh aspek seperti toleransi dan batas kewajaran, dengan orang
yang sudah merasa dirinya adalah malaikat suci atau bintang yang tak terjangkau
oleh orang disekitarnya. Dan hal yang paling parah dari kasus ini adalah,
rata-rata orang-orang ini tak menyadari kalau diri mereka telah menyandang
sifat tadi. Meski di masyarakat sekitarnya, hal tersebut sudah menjadi semacam
“rahasia umum”.
Sikap ini sudah dimulai oleh para pangeran Eropa
disekitar masa Revolusi Perancis, yang membentuk “Metternichismus”, gerakan
reaksioner yang menolak setiap konsep pendirian negara baru, yang berpotensi
menjatuhkan sistem kerajaan korup yang masih lebih mereka percayai daripada
sebuah Republik. Sifat statis yang tertutup ini menyebabkan kebutaan, nilai
toleransi mendekati nol, dan akhirnya bermuara pada gejala apotheosis lainnya.
Apa solusi dari penyakit ini? Tentu cara terbaik
adalah mencegahnya sebelum menjadi parah. Introspeksi diri, saling memaafkan,
dan bersikap open mind adalah
beberapa psychology treatment peling
efektif sejauh ini.
Tulisan
yang dimuat adalah sepenuhnya milik penulis risalah-online, bukan merupakan
pernyataan dari risalah-online
No comments:
Post a Comment