Friday 11 November 2016

Apotheosis



M. Sayyidus Shaleh

Banyak dari Pembaca mungkin sudah tahu arti dari kata yang menjadi judul diatas. Kalau dilihat di kamus besar Cambridge, kata ini berarti, “The act of making someone into a god”, yang jika diterjemahkan ke bahasa kita, “Menjadi Tuhan”. Jika dibandingkan dengan “Metamorphosis” yang terjadi pada ulat sampai kupu-kupu, “Apotheosis” dimaksudkan untuk terjadi pada diri manusia. Contoh dari kata ini banyak ditemukan dalam karya seni dan literatur Barat. Mislanya saja lukisan George Washington yang ditampilkan memiliki sayap, lingkaran halo diatas kepala dan bentuk fisik “ketuhanan” lainnya di bagian dalam kubah The Capitol, Amerika Serikat. Proses melepaskan cangkang fana manusiawi menuju sifat ketuhanan.


Tentu, dalam dunia yang kita huni sekarang, hal-hal seperti itu adalah tak mungkin terjadi secara eksak. Nonsens. Tapi, hal-hal nonsens mempunyai dunia mereka sendiri, yaitu ranah psikologis.

Sudah banyak kisah yang tertulis di Al-Qur’an (yang sudah banyak juga dibuktikan kebenarannya oleh bukti arkeologis), tentang mereka yang memiliki indikasi apotheosis. Fir’aun memproklamirkan dirinya sebagai satu-satunya yang harus disembah rakyatnya. Tidak hanya itu, ia pun memerintahkan arsiteknya, Haman, membangun menara setinggi langit agar ia bisa naik dan menantang Tuhan. Bangsa Babilonia kuno membuat bangunan melegenda, Menara Babel dengan maksud tak jauh berbeda.

Nah, perilaku psikologis menyimpang ini tak hanya berhenti sampai disitu. Sebuah penyakit, baik itu hanya berupa gejala atau sudah sangat akut.

Kita bisa melihat lebih banyak lagi contoh gejala apotheosis ini. Di abad pertengahan, misalnya. Hampir seluruh negeri kerajaan di Eropa, terdapat para raja yang menggaungkan kalau setiap keputusan raja adalah sekaligus keputusan Tuhan, yang secara tidak langsung menjadi sarana “menuhankan diri” bagi mereka.

Gejala ini merebak lagi di abad ke-20 dan 21, kali ini lebih halus lagi. Bukan lagi raja, karena sistem kerajaan tak lagi populer. Sekarang, sebutannya adalah Kanselor, Perdana Menteri, Gubernur, Diktator. Sebut saja nama-nama seperti Adolf Hitler, Benito Mussolini, Stalin, dan sebagainya. Semuanya menunjukkan indikasi yang sama.

Kenapa hal ini bisa terjadi? Hal yang cukup jelas dapat diambil dari pemikiran bahwa orang-orang ini merasa telah menghilangkan sifat manusia dari diri mereka. Terutama sifat humanis seperti merasa bersalah dan memaafkan sesama. Mereka merasa sempurna, suci, tak bersalah. Seluruh kaumnya menuruti apapun keinginannya. Mutlak.

Yang tadi itu adalah sampel yang sudah akut. Di masyarakat luas disekitar kita saja, kita bisa menemukan bibit-bibit kecil apotheosis ini.

Misalkan saja sebuah lembaga pendidikan pesantren atau padepokan konvensional, yang masalahnya terletak pada orang yang mengepalai badan tersebut, yang masih berpikiran konservatif. Paranoid dengan segala bentuk perubahan atau dengan anggapan kalau segala hal baru bersifat merusak. Di pikirannya, ia telah sampai pada kesimpulan bahwa konsep konservatif adalah kebenaran mutlak, tak peduli apakah beberapa aspek kebenarannya sudah mulai kadaluarsa, atau berlebihan. Tentu, ada perbedaan besar antara pemimpin yang berusaha menegakkan keadilan sambil masih memperhatikan seluruh aspek seperti toleransi dan batas kewajaran, dengan orang yang sudah merasa dirinya adalah malaikat suci atau bintang yang tak terjangkau oleh orang disekitarnya. Dan hal yang paling parah dari kasus ini adalah, rata-rata orang-orang ini tak menyadari kalau diri mereka telah menyandang sifat tadi. Meski di masyarakat sekitarnya, hal tersebut sudah menjadi semacam “rahasia umum”.

Sikap ini sudah dimulai oleh para pangeran Eropa disekitar masa Revolusi Perancis, yang membentuk “Metternichismus”, gerakan reaksioner yang menolak setiap konsep pendirian negara baru, yang berpotensi menjatuhkan sistem kerajaan korup yang masih lebih mereka percayai daripada sebuah Republik. Sifat statis yang tertutup ini menyebabkan kebutaan, nilai toleransi mendekati nol, dan akhirnya bermuara pada gejala apotheosis lainnya.


Apa solusi dari penyakit ini? Tentu cara terbaik adalah mencegahnya sebelum menjadi parah. Introspeksi diri, saling memaafkan, dan bersikap open mind adalah beberapa psychology treatment peling efektif sejauh ini.





Tulisan yang dimuat adalah sepenuhnya milik penulis  risalah-online, bukan merupakan pernyataan dari risalah-online

No comments:

Post a Comment