Friday 11 November 2016

1258



Oleh : M Sayyidus Shaleh

Tanah kering berderak, terurai menjadi kabut dilewati derap ratusan kuda syria dari timur jauh, ditengah hari yang panas dan jengah. Meski begitu, raut muka pengendaranya tak menunjukkan mimik apapun. Wajah berdebu, berminyak dibawah topi berbulu musang berujung lancip.


Di tengah rombongan itu, seseorang duduk dengan tenang dalam balutan jubah kebesaran bersulam emas dan sutra cina, membungkus zirah yang tak kalah mewahnya. Dibelakangnya bergerak sebuah yurt besar, dihela selusin kuda jantan kekar. Ia bertanya pada salah satu orang yang duduk mengapitnya.

Bukhara.

“Berapa lama lagi kaum kita menunggu, Arkan?”

Lurs.

“Tak sampai seminggu berkuda, kita akan sampai di kota penuh cahaya itu, Khan.”

Khwarezm-Shah.

“Setelah tertunda oleh beberapa pengecut, akhirnya kita bisa memperoleh kehormatan yang layak.”, Khan melirik sejenak ke beberapa kepala manusia oriental berjenggot dan bersorban, terikat disamping gagang kursinya.

Alamut!

“Bagaimana dengan orang-orang dari Barat itu, Arkan?”, alis mata sipitnya beradu dengan pasir.

“Mereka sudah setuju untuk mendapat sepertiga pampasan setelah kemenangan kita nanti, sesuai surat dari utusan mereka.”

Lalu, mereka semua kembali meraut muka. Kecuali Khan, yang seringainya tak bisa disembunyikan lagi.
***
Di waktu yang sama, Baghdad

Sebuah surat yang telah lepas segelnya jatuh dari tangan sorang lelaki tua. Meski pakaiannya menunjukkan posisi yang tertinggi di umatnya, ekspresinya gundah bak orang miskin yang belum jua mendapat makanan untuk anak istrinya esok hari.

“Apa maksundya ini?!”, tangannya bergetar mencengkram singgasana, menghardik pengawal yang baru saja memberi surat itu. Suasana senyap seketika.

“Semua kota besar di timur kekhalifahan telah jatuh, Al-Musta’sim. Hanya kita yang tersisa”, ucapnya menelan ludah. Para pembesar kota di majelis itu mulai berbisik lagi satu sama lain, ketakutan.

Obor peradaban terakhir.

Sang khalifah berusaha menenangkan diri lagi, seketika ingat hal lain.

“Apa laporan pengintai kita?”

“Pasukan Georgia dari barat jauh telah melewati Anatolia dan bergabung dengan Armenia, dan beberapa pasukan Turk. Mongol terus mendekat dari timur. Kita terkepung dari kedua sisi, Al-Musta’sim.”

“Bagaimana dengan para Hashshasin?”

“Sejauh yang kami tahu, benteng terakhir mereka telah hancur, Al-Musta’sim.”

“Berapa waktu yang kita punya?”, Ia sedang memikirkan kemungkinan terburuk.

“Kurang dari seminggu, Al-Musta’sim.”

Kurang dari seminggu! Kasak-kusuk kian merebak dan tambah keras di sepanjang lingkaran majelis itu. Hampir seluruh wajah menunjukkan kengerian.

Hartaku! Takhtaku! Kehidupanku!

Sang khalifah melihat sekitarnya dan menyadari kalau kepanikan akan menyebar sebentar lagi.

Ya Allah! Setelah berabad-abad kami menyinari bumi dengan cahaya-Mu, akankah dunia ini tenggelam bersama kami?

Ia mengangkat tangan, memberi isyarat jelas.

“Seluruh hadirin harap tenang!”
***

13 Februari, Baitul Hikmah...

Lelaki uzur itu menengok ngeri ke luar jendela dibalik rak buku besar, memeluk sejumlah perkamen, seolah yakin bisa menyelamatkannya.  Tak ada apapun selain jeritan manusia, kilat pedang, merah api, dan merah darah. Semua bercampur membentuk danau keputusasaan. Tak ada lagi harapan, kekacauan.

Inikah yang disebut neraka?

Tak ada apapun. Tak ada seorang pahlawan yang datang dengan heroik, atau seorang wali yang muncul tiba-tiba dengan sebuah mukjizat. Tak ada apapun lagi.

Perpustakaan besar itu sebelumnya sudah sesak oleh buku. Sekarang lebih sesak lagi dengan keringat para filsuf, ilmuwan besar, orang tua, wanita dan anak-anak. Terkadang mereka melihat penuh harap ke sebuah pintu ganda besar didepan yang digembok dan diblokade dengan rak-rak perkamen. Tiba-tiba, pintu itu bergetar hebat.

Brakk!!

“Hahaha! Jadi kalian bersembunyi disini!? Pengecut! Keluarlah dan berikan kehormatan buat kami!”, wajah-wajah sipit berdebu, berminyak dan berdarah itu mewujud horor dihadapan mereka.

Seperti inikah malaikat Izrail? Setan di jahanam?

“Keluarkan semuanya! Manusia ini, juga seluruh isi bangunan ini! Bakar!”, wajah-wajah itu menyebar seringai mereka ke penjuru ruangan.

Lelaki uzur itu menjerit dengan sisa keberaniannya,

“Jangan! Kau boleh bakar tubuh rentaku, tapi jangan kertas-kertas ini!”

“Bicara apa kau, tua?!”

Beberapa tendangan sepatu besi dan sangkur tertancap didada membuatnya diam.

***

Tepat disisi sungai Tigris, berjejerlah gunungan besar kertas dan manusia. Semua menunggu untuk dibakar atau dihempaskan ke sungai.

Seorang lelaki sipit dengan busur di pundak menatap air yang mulai hitam oleh tinta. Ia tertegun. Merasa seperti salah meletakkan anak panahnya.

“Ini tak seharusnya terjadi”, ucapnya tanpa sadar dengan kehadiran sang Khan disisinya. Kini zirahnya berkilau oleh darah.

“Apa yang kau ucapkan barusan, Arkan?”, pandangan mata sipitnya tampak setajam belati.

“Apa yang sedang kita lakukan disini? Tak ada musuh yang kuat. Yang kita perangi hanyalah orang-orang lemah! Kehormatan macam apa yang bisa kudapat disini?!”, bibirnya berkedut saat mengucapkannya.

Ternyata sang Khan sangat berang dibuatnya, “Kenapa kau tak mengerti, Arkan?! Justru inilah kehormatan terbesar yang pernah diraih oleh bangsa kita! Menghancurkan sebuah, satu-satunya pusat peradaban dunia! Bahkan sampai tak bersisa! Besok hari, nama bangsa kita akan merongrong ke setiap tempat beradab didunia! Kita musnahkan mereka, dan raih kejayaan!”

Lelaki sipit itu sekarang menatap perwujudan Ya’juj, mungkin juga Ma’juj.

“Aku tak sudi mengikutimu lagi, kau sinting!”, Ia segera melepas belatinya dari pinggang. Sesaat sebelum pedang lengkung Khan menancap di lehernya.


Anehnya, raut mukanya sekarang menunjukkan ketenangan.




Tulisan yang dimuat adalah sepenuhnya milik penulis  risalah-online, bukan merupakan pernyataan dari risalah-online

No comments:

Post a Comment