Oleh : M Sayyidus Shaleh
Tanah kering berderak, terurai menjadi kabut
dilewati derap ratusan kuda syria dari timur jauh, ditengah hari yang panas dan
jengah. Meski begitu, raut muka pengendaranya tak menunjukkan mimik apapun.
Wajah berdebu, berminyak dibawah topi berbulu musang berujung lancip.
Di tengah rombongan itu, seseorang duduk dengan
tenang dalam balutan jubah kebesaran bersulam emas dan sutra cina, membungkus
zirah yang tak kalah mewahnya. Dibelakangnya bergerak sebuah yurt besar, dihela selusin kuda jantan
kekar. Ia bertanya pada salah satu orang yang duduk mengapitnya.
Bukhara.
“Berapa lama lagi kaum kita menunggu, Arkan?”
Lurs.
“Tak sampai seminggu berkuda, kita akan sampai di
kota penuh cahaya itu, Khan.”
Khwarezm-Shah.
“Setelah tertunda oleh beberapa pengecut, akhirnya
kita bisa memperoleh kehormatan yang layak.”, Khan melirik sejenak ke beberapa
kepala manusia oriental berjenggot dan bersorban, terikat disamping gagang
kursinya.
Alamut!
“Bagaimana dengan orang-orang dari Barat itu,
Arkan?”, alis mata sipitnya beradu dengan pasir.
“Mereka sudah setuju untuk mendapat sepertiga
pampasan setelah kemenangan kita nanti, sesuai surat dari utusan mereka.”
Lalu, mereka semua kembali meraut muka. Kecuali
Khan, yang seringainya tak bisa disembunyikan lagi.
***
Di waktu yang sama, Baghdad
Sebuah surat yang telah lepas segelnya jatuh dari
tangan sorang lelaki tua. Meski pakaiannya menunjukkan posisi yang tertinggi di
umatnya, ekspresinya gundah bak orang miskin yang belum jua mendapat makanan
untuk anak istrinya esok hari.
“Apa maksundya ini?!”, tangannya bergetar
mencengkram singgasana, menghardik pengawal yang baru saja memberi surat itu.
Suasana senyap seketika.
“Semua kota besar di timur kekhalifahan telah jatuh,
Al-Musta’sim. Hanya kita yang tersisa”, ucapnya menelan ludah. Para pembesar
kota di majelis itu mulai berbisik lagi satu sama lain, ketakutan.
Obor
peradaban terakhir.
Sang khalifah berusaha menenangkan diri lagi,
seketika ingat hal lain.
“Apa laporan pengintai kita?”
“Pasukan Georgia dari barat jauh telah melewati
Anatolia dan bergabung dengan Armenia, dan beberapa pasukan Turk. Mongol terus
mendekat dari timur. Kita terkepung dari kedua sisi, Al-Musta’sim.”
“Bagaimana dengan para Hashshasin?”
“Sejauh yang kami tahu, benteng terakhir mereka
telah hancur, Al-Musta’sim.”
“Berapa waktu yang kita punya?”, Ia sedang
memikirkan kemungkinan terburuk.
“Kurang dari seminggu, Al-Musta’sim.”
Kurang
dari seminggu! Kasak-kusuk kian merebak dan tambah
keras di sepanjang lingkaran majelis itu. Hampir seluruh wajah menunjukkan
kengerian.
Hartaku!
Takhtaku! Kehidupanku!
Sang khalifah melihat sekitarnya dan menyadari kalau
kepanikan akan menyebar sebentar lagi.
Ya
Allah! Setelah berabad-abad kami menyinari bumi dengan cahaya-Mu, akankah dunia
ini tenggelam bersama kami?
Ia mengangkat tangan, memberi isyarat jelas.
“Seluruh hadirin harap tenang!”
***
13 Februari, Baitul Hikmah...
Lelaki uzur itu menengok ngeri ke luar jendela
dibalik rak buku besar, memeluk sejumlah perkamen, seolah yakin bisa
menyelamatkannya. Tak ada apapun selain
jeritan manusia, kilat pedang, merah api, dan merah darah. Semua bercampur
membentuk danau keputusasaan. Tak ada lagi harapan, kekacauan.
Inikah
yang disebut neraka?
Tak ada apapun. Tak ada seorang pahlawan yang datang
dengan heroik, atau seorang wali yang muncul tiba-tiba dengan sebuah mukjizat.
Tak ada apapun lagi.
Perpustakaan besar itu sebelumnya sudah sesak oleh
buku. Sekarang lebih sesak lagi dengan keringat para filsuf, ilmuwan besar,
orang tua, wanita dan anak-anak. Terkadang mereka melihat penuh harap ke sebuah
pintu ganda besar didepan yang digembok dan diblokade dengan rak-rak perkamen.
Tiba-tiba, pintu itu bergetar hebat.
Brakk!!
“Hahaha! Jadi kalian bersembunyi disini!? Pengecut!
Keluarlah dan berikan kehormatan buat kami!”, wajah-wajah sipit berdebu,
berminyak dan berdarah itu mewujud horor dihadapan mereka.
Seperti
inikah malaikat Izrail? Setan di jahanam?
“Keluarkan semuanya! Manusia ini, juga seluruh isi
bangunan ini! Bakar!”, wajah-wajah itu menyebar seringai mereka ke penjuru
ruangan.
Lelaki uzur itu menjerit dengan sisa keberaniannya,
“Jangan! Kau boleh bakar tubuh rentaku, tapi jangan kertas-kertas
ini!”
“Bicara apa kau, tua?!”
Beberapa tendangan sepatu besi dan sangkur tertancap
didada membuatnya diam.
***
Tepat disisi sungai Tigris, berjejerlah gunungan
besar kertas dan manusia. Semua menunggu untuk dibakar atau dihempaskan ke
sungai.
Seorang lelaki sipit dengan busur di pundak menatap air
yang mulai hitam oleh tinta. Ia tertegun. Merasa seperti salah meletakkan anak
panahnya.
“Ini tak seharusnya terjadi”, ucapnya tanpa sadar
dengan kehadiran sang Khan disisinya. Kini zirahnya berkilau oleh darah.
“Apa yang kau ucapkan barusan, Arkan?”, pandangan
mata sipitnya tampak setajam belati.
“Apa yang sedang kita lakukan disini? Tak ada musuh
yang kuat. Yang kita perangi hanyalah orang-orang lemah! Kehormatan macam apa
yang bisa kudapat disini?!”, bibirnya berkedut saat mengucapkannya.
Ternyata sang Khan sangat berang dibuatnya, “Kenapa
kau tak mengerti, Arkan?! Justru inilah kehormatan terbesar yang pernah diraih
oleh bangsa kita! Menghancurkan sebuah, satu-satunya pusat peradaban dunia!
Bahkan sampai tak bersisa! Besok hari, nama bangsa kita akan merongrong ke
setiap tempat beradab didunia! Kita musnahkan mereka, dan raih kejayaan!”
Lelaki sipit itu sekarang menatap perwujudan Ya’juj,
mungkin juga Ma’juj.
“Aku tak sudi mengikutimu lagi, kau sinting!”, Ia
segera melepas belatinya dari pinggang. Sesaat sebelum pedang lengkung Khan
menancap di lehernya.
Anehnya, raut mukanya sekarang menunjukkan
ketenangan.
Tulisan
yang dimuat adalah sepenuhnya milik penulis risalah-online, bukan merupakan
pernyataan dari risalah-online
No comments:
Post a Comment