Oleh
: Naufal Thoriq Azarys
Rayhan duduk
meluruskan kakinya sambil besandar pada dinding di masjid. Pandangannya lurus
ke depan, menatap beberapa santri yang masih bertahan di masjid usai shalat
ashar. Beberapanya ada yang tilawatil quran, menhafal, berbaring
melepaskan penat, mengadakan rapat organisasi maupun yang berkumpul dan sekedar
mengobrol membicarakan hal hal yang menyenangkan.
Seperti
biasa, semuanya terlihat baik baik saja. Kecuali aku. Pikirnya.
Hal yang dipikirkannya
memang benar. Sangar benar. Rayhan malah bisa dikatakan sangat jauh dengan
dengan yang namanya baik baik saja. Bahkan dia merasa bahwa dia jauh
lebih buruk dari kata buruk itu sendiri.
Seperti yang
barusan terjadi, dia tiba tiba merasa jauh lebih buruk. Seorang ustadz kabir-begitulah
sebutan untuk seorang ustadz yang telah lama mengajar dan memiliki jabatan yang
di pesantrennya-lewat di depannya dan menghampiri Rayhan yang sedang duduk
bersandar pada dinding.
Ustadz kabir itu
bernama lengkap Muhammad Aditya. Beliau merupakan salah seorang pendiri
pesantrennya. Beliau berperawakan tinggi, berbadan tegap, dan perut sedikit
buncit. Beliau memiliki wajah yang bersih dengan sebuah tahi lalat yang akan
terlihat bila berhadapan wajah dengannya. Beliau memiliki ekspresi sangar bila
dilihat sehari hari-mungkin karena pengaruh harus menegakkan aturan di
pesantrennya. Namun ketika berbicara dengannya, ekspresi sangarnya hilang
seketika, digantikan oleh ekspresi yang membuat orang betah berbicara berlama lama
dengannya.
Rayhan menyalami
ustadz Muhammad Aditya itu sebagaimana sopan santun terhadap guru yang telah
diajarkan kepadanya. Dia berdiri sambil tetap bersalaman. Ustadz kabir menanyakan
kabarnya, pelajarannya di sekolah, keadaannya di asrama dan berbagai pertanyaan
lainnya.
Rayhan menjawab
pertanyaan dari ustadz Muhammad Aditya itu satu per satu dengan ramah. Walau
sebenarnya dia sedang merasa buruk, namun dia tetap tidak boleh menunjukkan hal
yang dirasakannya kini dengan sikap yang buruk kepada seorang guru. Walau
bagaimana pun kondisinya sekarang, adab kepada seorang merupakan suatu hal yang
sangat penting baginya dan terus dia pegang. Karena dengan begitulah ilmu yang
diajarkan oleh guru menjadi berkah dan cahaya bagi yang mematuhi adab kepada guru.
Rayhan dan
ustadz Muhammad Aditya terus mengobrol. Rayhan cukup dikenal oleh berbagai
kalangan di pesantrennya. Selain pernah memenangi lomba di bidang fisika hingga
nasional, dia juga sering menjadi imam shalat di masjid. Kemerduan suaranya
serta hafalan al qurannya yang kini telah mencapai 15 juz, membuat dirinya
ditunjuk oleh ustadz menjadi imam shalat maghrib dan isya. Hingga akhirnya
ustadz kabir mengenal dirinya.
Ustadz Muhammad
Aditya berhenti tertawa usai mendengar cerita lucu Rayhan tentang teman
seasramanya. Dia menatap lekat wajah Rayhan, lalu menimbang apakah dia perlu mengatakannya
atau tidak. Namun tampaknya dia telat. Mulutnya telah terbuka dan mulai
mengucapkannya. Sebuah kalimat yang akan terus diucapkan oleh siapa pun sebagai
bentuk ungkapan kesedihan.
“Ustadz turut
berduka atas apa yang terjadi pada ayah antum. Ustadz berharap semoga antum
baik baik saja dan tetap menjalani hidup dengan berprestasi seperti yang selalu
antum lakukan”
Rayhan terkejut.
Pundaknya tegang seketika. Otot rahangnya menegang menahan rasa benci. Jantung
seolah berhenti setiap mendengar perkataan seperti itu. Turut bersedih,
turut berduka. Rasa sedih, kecewa, putus asa, benci, dan amarah bercamur
aduk menjadi kekacauan di hatinya.
Sejujurnya dia
sangat membencinya. Sangat. Dia muak dengan nada sok ikut bersedih dalam
setiap kata duka yang diucapkan oleh orang orang kepadanya. Seolah dengan
perkataan seperti itu, orang yang mengucapkannya bisa meringankan atau
meredakan rasa sedih yang sedang dideritanya. Padahal kenyataanya tidak! Sama
sekali tidak! Dia tidak pernah merasa lebih baik dengan mendengar perkataan sok
berduka itu.
“Iya ustadz.
Semoga saja”. Dia mengucapkannya dengan penuh nada sinis. Dia tidak dapat
menahannya lagi. Seketika adab kepada guru menguap begitu saja dari pikirannya.
Dia lelah mendengarnya. Tidak bisakah orang orang berhenti mengatakannya?
Sadar dengan
ucapan Rayhan penuh dengan nada sinis, ustadz Muhammad Aditya merasa dirinya
harus mundur perlahan. Tampaknya dia tersakiti dengan ucapanku barusan. Dia
pun berusaha tersenyum kepada Rayhan, seolah dia tidak menyadari ucapan Rayhan
yang penuh dengan nada sinis. Lalu mengucapkan beberapa kata nasehat tanpa
disahut dengan ramah oleh Rayhan, kemudian melangkah pergi meninggalkan masjid
diikuti pandangan Rayhan yang menusuk di belakangnya.
Setelah ustadz
kabir itu pergi, dia kembali duduk bersandar pada dinding di masjid. Lalu di
sinilah dia berada, menatap beberapa santri yang maih bertahan di masjid.
Seperti
biasa, semuanya terlihat baik baik saja. Kecuali aku.
Rayhan sebenarnya
menyadari bahwa sikap yang barusan dia tunjukkan kepada ustadz Muhammad Aditya
kurang pantas. Bersikap skeptis dan berbicara dengan nada sinis merupakan
sesuatu yang jarang dia lakukan. Namun apalah daya yang bisa dia lakukan.
Perasaannya sangat kacau tadi. Dia merasa bahwa sikapnya tadi disebabkan oleh
ucapan ustadz Muhammad Aditya yang tidak pada tempatnya menurutnya. Entahlah,
dia tidak tahu apakah dia salah atau tidak.
Dengan perasaan
yang semakin tidak baik baik saja dia mencoba mengalihkan pikirannya
dari kejadian barusan dengan memikirkan acara yang ‘harus’ diadakan oleh
ibunya. Apakah dia akan datang menghadirinya atau tidak
Kamu
harus menghadirinya. Bagaimanapun kamu menolaknya, kamu tetap harus menghadirinya.
Tidak boleh tidak. Karena kamu adalah satu satunya anak laki laki ayah, ucap
ibunya melalui jalur telepon kembali terngiang di kepalanya.
Jika boleh
menolak, Rayhan lebih memilih tidak menghadiri acara itu. Pastinya di sana dia
akan kembali mendengar perkataan sok berduka yang tidak diucapkan dengan
ikhlas. Namun ibunya memaksa. Dia tidak berani melawan ibunya. Dengan melawan
ibunya-yang pasti sangat juga bersedih-akan menjadi sebuah kedurhakaan yang
dilakukannya kepada ibunya.
Baiklah,
mungkin aku harus menghadirinya. Setidaknya untuk membuat ibu senang.
Rayhan berdiri
tegak, lalu pergi meninggalkan masjid menuju asrama. Mempersiapkan pakaiannya
untuk beberapa hari di rumah. Mungkin
ibunya sebentar lagi akan tiba di pesantrennya untuk menjemput Rayhan. Membawa
dirinya ke acara yang paling dibencinya. Acara duka diamana yang berduka
harus memakai topeng kebahagiaan, begitulah kira kira Rayhan menyebutnya.
Sambil berjalan
menuju asrama, Rayhan mengehela napas berat. Akhirnya tiba juga hari dia akan
menghadiri acara manujuah hari ayahnya. Karena hari ini, hari ketujuh ayahnya
telah pergi meninggalkan dunia ini untuk selamanya.
…
“Rayhan, tolong
kamu bawa piring-piring berisi sambal ini ke depan. Terus kamu juga bawa kue-kue
ini setelah itu”, perintah ibu Rayhan kepadanya. Rayhan mengangguk, mengambil
piring-piring tersebut, lalu membawanya ke perkarangan rumah.
Di perkarangan
rumahnya telah berdiri sebuah tenda bewarna putih bersih. Rahyan meletakkan
piring-piring itu di atas tikar plastik yang telah menutupi sebagian besar permukaan
perkarangan rumahnya. Tampak bapak-bapak sedang duduk bersila di dekat piring
yang diletakkannya tadi. Bapak-bapak itu tersenyum padanya, lalu salah seorang bapak-bapak
yang sedang memegang puntung rokok menanyakan sekolahnya, lalu mengucapkan
terima kasih.
Ucapan
terima kasih? Yang benar saja, pikirnya. Dia
mendengus dalam hati. Kesal.
Rayhan melangkah
ke dalam rumahnya. Dia melirik jam yang tergantung pada dinding. jam
setengah sembilan. Kemudian dia terus melangkahkan kakinya hingga dia
terhenti akibat sebuah foto di depannya. Foto keluarganya.
Di dalam foto
keluarga yang dibingkai dengan kayu yang indah itu, dia tersenyum lepas. Begitu
juga dengan ibu, kakak kakaknya serta adiknya. Juga ayahnya. Senyum sehangat
matahari Rayhan mengatakannya. Aku merindukan senyumanmu, ayah, ucapnya
dalam hati. Rayhan berusaha menahan cairan bening yang kini mulai berkumpul di
matanya agar tidak jatuh. Dia mendongakkan kepalanya, seolah itu bisa menahan
cairan bening itu.
Rayhan,
kamu anak laki laki. Seorang lelaki sejati tidak menjatuhkan air matanya,
terang ayah Rayhan ketika pernah suatu kali dia pernah menangis.
Akhirnya Rayhan
menghapus cairan bening itu, lalu kembali ke dapur mengambil kue kue untuk
disajikan kepada yang hadir di depan.
Setelah selesai
seluruh hidangan diletakkan di atas karpet plastik, acara manujuah hari dimulai.
Rayhan duduk diantara kakak-kakaknya. Dia malas duduk di antara bapak-bapak di
sana. Sebab mereka pasti sedang merokok sekarang, dan asap rokok akan
membuatnya tidak nyaman dan batuk-batuk.
Seorang yang
dituakan di daerahnya berdiri memberikan sambutan dan mengenang kebaikan
almarhum. Semua diam mendengarkan, walau masih ada terdengar bisik bisik dari
arah ibuk-ibuk di belakang-maklumlah, namanya juga ibuk-ibuk.
Kemudian ibu
Rayhan juga berdiri usai kata sambutan tadi untuk mengucapkan terima kasih
karena para tetangga dan kerabat telah datang. Rayhan memandang ibunya dengan
tatapan aneh. Mengapa ibu harus berterima kasih?, tanya Rayhan kesal di
benaknya.
Acara manujuah
hari pun berlanjut dengan doa dipimpin oleh ustadz di daerahnya. Rayhan
khusuk mendoakan ayahnya. Dia berharap semoga dengan doanya, ayahnya
diringankan dengan segala yang memberatkan, serta ayahnya dimasukkan ke surga
kelak. Karena doa dari seorang anak yang sholeh merupakan salah satu yang dikabulkan
oleh Allah.
Usai berdoa,
semua yang hadir dipersilahkan menyantap hidangan. Rayhan melihat semua yang
hadir makan dengan lahap-yang pasti karena masakan ibunya sangat enak-kecuali
dirinya. Dia tidak nafsu makan. Dengan suasana hati yang buruk, nafsu makannya
hilang begitu saja. Padahal sejak sore tadi perutnya belum menyentuh makanan
sedikit pun.
Rayhan berdiri
beranjak meninggalkan kakak-kakaknya.
“Mau kemana?”,
tanya kakaknya yang tertua sambil menahan tangan Rayhan agar tidak pergi dulu.
“Ke kamar mandi
kak”, jawab Rayhan berbohong. Sebenarnya dia bukan mau mengambil hape,
melainkan dia tidak tahan dengan suasana sekarang. Berduka.
“Oh, iyalah.
Langsung balik ya kalau sudah selesai”
“Iya kak”
Rayhan
meneruskan langkahnya. Dia melewati beberapa ibuk ibuk yang sedang duduk
berkumpul membicarakan sesuatu. Terlihat dari ekspresi mereka bahwa hal mereka
bicarakan merupakan suatu hal yang seru. Ekspresi ketika menggosip. Awalnya
Rayhan tidak terlalu mendengar obrolan ibuk-ibuk itu, namun telinga tegak
ketika mendengar nama ibunya disebut.
“Kasihan ya bu
Rana. Suaminya telah meninggal. Padahal suaminya jarang sekali pulang ke rumah.
Jarang ketemu. Sering juga pulang malam. Saya malah berpikir aneh aneh
karenanya. Untung saja bu Rana juga bekerja, kalau gak, sangat susahlah
menyekolahkan 3 anaknya yang masih sekolah”, ucap ibuk yang berjilbab merah.
Seketika emosi
Rayhan memuncak. Wajahnya merah padam. Dia sangat marah dengan perkataan ibu
tadi. Dia menatap tajam ibu tersebut. Ibu yang tadi mengucapkan perkataan tadi
serta teman temannya terkejut bahwa yang di hadapannya merupakan anak yang
meninggal. Mereka tidak mampu berkata sepatah kata pun. Kecemasan menguasai
diri meraka.
“Jika ibuk tidak
tahu yang sebenarnya. Saya harap ibuk DIAM SAJA!”, ucapnya setajam mungkin dan
berakhir dengan teriakan. Rayhan meninggalkan ibuk-ibuk itu dengan rasa
bersalah yang mendalam pastinya. Orang orang di sekitar ibuk-ibuk tadi,
memperhatikan Rayhan melangkah menjauh dari sana.
Apa
yang mereka tahu tentang keluarga kami? Berhakkah mereka berbicara seperti itu?
Dada Rayhan
bergemuruh. Hatinya sedang dalam kondisi terburuk yang pernah dia alami. Dia
sangat marah ketika mendengar perkataan seperti tadi. Ibuk tadi bicara tanpa
berlandaskan fakta. Sudah membicarakan keburukan orang lain, tidak benar pula.
Hal yang
dilakukan ibuk itu seperti memakan bangkai saudaranya sendiri. Menjijikkan.
Sesuatu yang sangat buruk.
Betul perkataan
ibuk tadi, ayah Rayhan memang jarang di rumah dan sering pulang malam. Namun itu
disebabkan ayahnya sering dinas keluar provinsi, menetap di sana hingga bisa 1
bulan. Juga sering pulang malam karena pekerjaan yang menumpuk luar biasa di
kantor. Mereka saja yang tidak mengetahui hal ini, hingga akhirnya bergosip hal
buruk.
Rayhan tidak
tahu apa lagi yang dipikirkannya. Semua rasa bercampur di dadanya kini. Rayhan
menyelinap ke belakang, menuju dapur. Lanjut dia membuka pintu belakang rumah
dan terus melewati halaman belakang rumahnya. Kakinya terus melangkah tanpa
arah. Rayhan membuka pintu pagar halaman belakang rumah, melewatinya, tanpa
menutupnya kembali. Dia tidak tahu harus kemana.
Hening menguasai
sesaat. Hanya suara malam yang terdengar.
Rayhan berdiri tanpa suara. Cairan bening yang ditahannya sedari tadi
tumpah. Mengaliri pipinya, lalu jatuh ke bumi. Dia menangis. Maaf ayah, aku
menangis.
Isak tangisnya
tidak kunjung berhenti, hingga terpikir di benaknya sebuah senyuman sehangat
matahari. Menenangkan dan nyaman. Aku merindukanmu ayah. Rayhan pun
menghapus air matanya, lalu melangkahkan
kakinya membelah gelapnya malam, menuju dimana pemilik senyuman sehangat
matahari itu beristirahat.
…
Ibu Rayhan masuk
ke rumah, meninggalkan para tetangga dan tamu yang datang. Dia sedang mencari
Rayhan, pasti anak itu sedang tidak merasa nyaman kini. Karena mengingat Rayhan
sempat tidak mau datang ke sini. Tadi dia sempat bertanya kepada kakak Rayhan
kemana Rayhan pergi dan kakak Rayhan menjawab
Rayhan sedang di kamar. Namun kini, Rayhan tidak ada di kamarnya. Kemana
pula anak itu?, tanya ibu Rayhan dalam hati. Dia terus mencari Rayhan di
dalam rumah hingga menemukan pintu belakang terbuka.
…
Heningya malam
mengukung diri Rayhan yang sedang duduk sendirian di samping kuburan ayahnya.
Dia duduk sambil besedekap. Rayhan meletakkan hape yang layarnya bercahaya di
sampingnya, hingga keadaan di sana tidak terlalu gelap.
Sejujurnya Rayhan kini merasa sedikit takut.
Gelap selalu menjadi hal yang dia takutkan sejak kecil. Tapi rasa rindu kepada
ayahnya telah mengalahkan rasa takutnya dengan gelap. Rasa rindu yang begitu
mendalam.
“Aku
merindukanmu ayah”, ucap Rayhan lirih. Dia menyentuh batu nisan kuburan
ayahnya. Tertulis di nisan itu nama ayahnya. Dzul bin Yunus. Jari
jarinya dia telusurkan mengikuti gurat nama ayahnya di batu nisan itu.
Lalu tangis
Rayhan pun pecah kembali. Dia tidak tahan lagi dengan rindu yang dia rasakan.
Rayhan hanya mengingikan senyuman sehangat mentari itu untuk menenangkannya.
Tidak ada yang lain.
Suara tangis
memenuhi langit malam di kuburan. Gelapnya suasan malam menjadi saksi betapa
pilunya tangis seorang Rayhan yang merindukan ayahnya. Rayhan tidak tahu sudah
berapa lama dia menangis. Yang jelas, mungkin sudah hampir sejam lebih dia
berada di sini.
“Nak, jangan
menangis lagi”, ucap seorang wanita tepat di belakangnya dengan lembut. Rayhan
terkejut setengah mati mendengar suara itu. Dia mengambil hape, lalu
mengarahkannya ke arah sumber suara itu. Kemudian tampaklah ibunya.
Ibu Rayhan
tersenyum. Dia melangkah mendekati Rayhan dan duduk di sampingnya. Tejadi keheningan
beberapa saat. Hanya sebuah suara segukan usai tangis Rayhan yang terdengar.
“Nak, ibu tahu
kamu sedih karena kehilangan ayah kamu. Ibu juga sangat seperti kamu.
Kakak-kakakmu juga. Bersedih merupakan sesuatu yang wajar bagi yang kehilangan.
Termasuk kita.
Tapi, bila kamu
terus terusan bersedih seperti ini, menatapi hal yang sudah terhadi dan tidak
mungkin diubah, apakah ayah kamu akan datang di hadapanmu kini dengan
tersenyum? Tidak Rayhan. Tidak akan pernah”
Rayhan terdiam
mendengar perkataan ibunya. Apa yang dikatakan ibunya memang benar. Bersedih
seperti ini bukanlah sesuatu yang diinginkan ayahnya
“Tapi entah
kenapa bu, Rayhan selalu benci setiap ada orang yang mengatakan perkataan turut
berduka, turut bersedih. Mereka mengatakannya seolah mereka bisa merasakan
apa yang kita rasakan. Seolah mereka bisa mengangkat kedihan kita begitu saja.
Rayhan sangat membencinya
“Ditambah acara
seperti manujuah hari itu. Penuh perkataan tutut berduka yang
setiap sebentar diucapkan oleh yang hadir”, jelas Rayhan.
Ibu Rayhan
tersenyum mendengar perkataan anaknya. Dia mengelus punggung anaknya dengan
lembut dan memperhatikan wajah anaknya yang telah menanggung kedihan yang luar
biasa. Ditinggalkan oleh seorang ayah yang sangat disayangnya.
“Bukan salah
mereka mengatakan hal seperti itu nak. Itu merupakan suatu bentuk kesopanan
dengan mengatakan kata turut berduka kepada yang ditinggalkan. Memang
terkadang kita tidak siap menerima perkataan itu, tapi kini kamu harus siap
Rayhan. Karena ayah memang sudah pergi. Kamu harus kuat Rayhan. Ayah kamu
menginginkan kamu jadi anak yang kuat bukan?
“Kamu tidak
harus menerima perkataan turut berduka dari orang orang. Tapi yang kau
harus lakukan adalah dengan bersikap wajar dan menerima kenyataan. Tidak usah
kamu membenci orang itu. Cukup berlapang dada, memahami bahwa ini yang mungkin
tebaik bagi kamu. Soal apakah mereka ikhlas atau hanya sekedar basa basi aja,
cukup Allah saja yang tahu. Manusia hanya perlu berprasangka baik saja kepada
sesama. Bahkan sangat mungkin mereka yang mangatakan hal itu sangat perhatian
dan sayang sama kamu”, jelas ibunya panjang lebar.
Rayhan tertunduk
diam mendengar perkataan ibunya. Sangat benar selama ini dia selalu
berprasangaka buruk kepada orang yang mengatakan turut berduka kepadanya.
Dia tidak pernah sekali pun terlintas di benaknya bahwa sebenarnya mereka
mengatakan hal itu buka karena basa basi, tapi karena meraka perhatian dan
sayang kepadanya. Namun ibuk tadi…
“Walau bagaimana
pun apa yang dikatakan ibuk tadi merupakan sesuatu yang sangat tidak pantas bu.
Sesuatu perlakuan yang menjelekkan ayah. Rayhan tidak dapat menerima hal itu.
Ayah sangat tidak mungkin melakukan hal yang aneh. Ibuk tadi pantas mendapatkan
kesialan yang besar”, ucap Rayhan dengan nada kesal.
Ibu Rayhan
kembali tersenyum. Dia beringsut duduk lebih dekat kepada Rayhan.
“Apa yang
dikatakann oleh kamu memang benar nak. Ibuk tadi memang salah. Ibu sudah
menegur ibuk yang bergosip tadi, dia menminta maaf tadi.Serta berjanji tidak
akan bergosip hal hal yang buruk. Ibuk tadi juga minta maaf ke kamu, dia
menyadari bahwa menggosip merupakan suatu hal yang menjijikkan. Seperti memakan
bangkai saudaranya.
“Tapi yang lebih
terpenting adalah kamu memaafkannya denga sepenuh hati. Tanpa ada rasa dendam
lagi di lam hati. Setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan. Walaupun
kesalahn itu sangat melukai hati kamu seperti yang dilakuakn ibuk tadi. Tapi Apakah
kamu mau kesalahan kamu diingat oleh orang orang? Tidak kan. Sehingga kamu
jangan mengingat kesalahn orang yang berbuat buruk kepadamu. Cukup kamu
memaafkannya dan terus menjaga hubungan baik dengan mereka yang telah berbuat
salah. Tidak kamu perlu kamu memendam kebencian di dalam hati”, ucap ibu Rayhan
dengan lembut.
Keheningan
kembali hadir di antara mereka. Rayhan memahami yang diakatakan ibunya adalah
benar. Ketika emosinya memuncak akibat perkataan ibuk tadi, Rayhan seketika
hilang akal. Kebencian menguasai dirinya. Dia berpikir tidak akan menerima
permintaan maaf dari ibuk tadi sampai kapan pun. Tidak akan ada kata maaf. Tapi
apakah dengan begitu, hatinya menjadi tenang? Tidak! Malahan menjadi semakin
kacau.
“Nak, kamu tahu
bahwa ayahmu merupakan orang yang sangat baik. Ayahmu juga merupakan pemberani
dan tidak pernah menyerah. Lihat saja bagaimana dia mencari uang untuk
kebutuhan kita, sekolah kakak kamu dan kamu. Kamu harus harus bangga punya ayah
seperti itu. Bila ada lain kali yang mengatakan suatu hal yang buruk tentang
ayah kamu, hiraukan saja. Tidak usah perdulikan. Percayalah, kebenaran selalu
di atas kebohongan”, lanjut ibunya.
Ibu Rayhan
menarik Rayhan mendekatkan dirinya lebih dekat, lalu memeluknya. Ibu Rayhan
sadar betul bahwa yang dibutuhkan oleh Rayhan sekarang adalah dukungan dari
ibunya, untuk bisa menghadapi kenyataan pahit ini. Sebuah pelukan dari seorang
ibu misalnya.
“Rayhan, kamu
ingin tahu apa yang dikatakan ayahmu tentang anak laki lakinya sebelum
meninggal”, tanya ibu Rayhan kepadanya. Rayhan menatap ibunya, lalu
mengisyaratkan agar melanjutkan.
“Ayahmu
mengatakan bahwa kamu adalah anak yang pintar. Dia ingin kamu menjadi orang
yang baik dan kuat. Tidak gampang menyerah dan selalu bisa diandalkan kapan
saja. Juga menjadi orang hebat kelak melampui ayahnya. Jika operasi
pengangkatan kankernya tidak berjalan lancar, dia meminta tolong kepada ibu
untuk mengatakan kepadamu bahwa ayahmu sangat mencintai kamu. Juga meminta
tolang agar kamu menjaga ibumu beserta kakak-kakakmu dan adikmu, karena bila
dia gagal, kamu akan menjadi pemimpin di rumah kita ”
Seketika tangis
Rayhan pun pecah setelah mendengar perkataan ibunya. Ibunya memeluk lembut
Rayhan, membiarkan anak laki lakinya menangis mengingat pemilik senyuman
sehangat matahari itu. Biarlah dia menangis malam ini. Besok atau lusa
kelak, dia akan menjadi orang yang berbeda dari yang sekarang. Dia akan menjadi
orang yang sepeti yang dikatakan ayahnya. Menjadi jauh lebih hebat dari
ayahnya. Berani dan tidak mudah menyerah. Menjadi seorang laki laki yang
menjaga ibu, kakak-kakak, dan adiknya dari segala hal.
No comments:
Post a Comment