Friday 30 September 2016

Makna Berduka Untuk Rayhan



Oleh : Naufal Thoriq Azarys

Rayhan duduk meluruskan kakinya sambil besandar pada dinding di masjid. Pandangannya lurus ke depan, menatap beberapa santri yang masih bertahan di masjid usai shalat ashar. Beberapanya ada yang tilawatil quran, menhafal, berbaring melepaskan penat, mengadakan rapat organisasi maupun yang berkumpul dan sekedar mengobrol membicarakan hal hal yang menyenangkan.
Seperti biasa, semuanya terlihat baik baik saja. Kecuali aku. Pikirnya.


Hal yang dipikirkannya memang benar. Sangar benar. Rayhan malah bisa dikatakan sangat jauh dengan dengan yang namanya baik baik saja. Bahkan dia merasa bahwa dia jauh lebih buruk dari kata buruk itu sendiri.

Seperti yang barusan terjadi, dia tiba tiba merasa jauh lebih buruk. Seorang ustadz kabir-begitulah sebutan untuk seorang ustadz yang telah lama mengajar dan memiliki jabatan yang di pesantrennya-lewat di depannya dan menghampiri Rayhan yang sedang duduk bersandar pada dinding.

Ustadz kabir itu bernama lengkap Muhammad Aditya. Beliau merupakan salah seorang pendiri pesantrennya. Beliau berperawakan tinggi, berbadan tegap, dan perut sedikit buncit. Beliau memiliki wajah yang bersih dengan sebuah tahi lalat yang akan terlihat bila berhadapan wajah dengannya. Beliau memiliki ekspresi sangar bila dilihat sehari hari-mungkin karena pengaruh harus menegakkan aturan di pesantrennya. Namun ketika berbicara dengannya, ekspresi sangarnya hilang seketika, digantikan oleh ekspresi yang membuat orang betah berbicara berlama lama dengannya. 

Rayhan menyalami ustadz Muhammad Aditya itu sebagaimana sopan santun terhadap guru yang telah diajarkan kepadanya. Dia berdiri sambil tetap bersalaman. Ustadz kabir menanyakan kabarnya, pelajarannya di sekolah, keadaannya di asrama dan berbagai pertanyaan lainnya.

Rayhan menjawab pertanyaan dari ustadz Muhammad Aditya itu satu per satu dengan ramah. Walau sebenarnya dia sedang merasa buruk, namun dia tetap tidak boleh menunjukkan hal yang dirasakannya kini dengan sikap yang buruk kepada seorang guru. Walau bagaimana pun kondisinya sekarang, adab kepada seorang merupakan suatu hal yang sangat penting baginya dan terus dia pegang. Karena dengan begitulah ilmu yang diajarkan oleh guru menjadi berkah dan cahaya bagi yang mematuhi adab kepada guru.

Rayhan dan ustadz Muhammad Aditya terus mengobrol. Rayhan cukup dikenal oleh berbagai kalangan di pesantrennya. Selain pernah memenangi lomba di bidang fisika hingga nasional, dia juga sering menjadi imam shalat di masjid. Kemerduan suaranya serta hafalan al qurannya yang kini telah mencapai 15 juz, membuat dirinya ditunjuk oleh ustadz menjadi imam shalat maghrib dan isya. Hingga akhirnya ustadz kabir mengenal dirinya.

Ustadz Muhammad Aditya berhenti tertawa usai mendengar cerita lucu Rayhan tentang teman seasramanya. Dia menatap lekat wajah Rayhan, lalu menimbang apakah dia perlu mengatakannya atau tidak. Namun tampaknya dia telat. Mulutnya telah terbuka dan mulai mengucapkannya. Sebuah kalimat yang akan terus diucapkan oleh siapa pun sebagai bentuk ungkapan kesedihan.

“Ustadz turut berduka atas apa yang terjadi pada ayah antum. Ustadz berharap semoga antum baik baik saja dan tetap menjalani hidup dengan berprestasi seperti yang selalu antum lakukan”
Rayhan terkejut. Pundaknya tegang seketika. Otot rahangnya menegang menahan rasa benci. Jantung seolah berhenti setiap mendengar perkataan seperti itu. Turut bersedih, turut berduka. Rasa sedih, kecewa, putus asa, benci, dan amarah bercamur aduk menjadi kekacauan di hatinya.

Sejujurnya dia sangat membencinya. Sangat. Dia muak dengan nada sok ikut bersedih dalam setiap kata duka yang diucapkan oleh orang orang kepadanya. Seolah dengan perkataan seperti itu, orang yang mengucapkannya bisa meringankan atau meredakan rasa sedih yang sedang dideritanya. Padahal kenyataanya tidak! Sama sekali tidak! Dia tidak pernah merasa lebih baik dengan mendengar perkataan sok berduka itu.

“Iya ustadz. Semoga saja”. Dia mengucapkannya dengan penuh nada sinis. Dia tidak dapat menahannya lagi. Seketika adab kepada guru menguap begitu saja dari pikirannya. Dia lelah mendengarnya. Tidak bisakah orang orang berhenti mengatakannya?

Sadar dengan ucapan Rayhan penuh dengan nada sinis, ustadz Muhammad Aditya merasa dirinya harus mundur perlahan. Tampaknya dia tersakiti dengan ucapanku barusan. Dia pun berusaha tersenyum kepada Rayhan, seolah dia tidak menyadari ucapan Rayhan yang penuh dengan nada sinis. Lalu mengucapkan beberapa kata nasehat tanpa disahut dengan ramah oleh Rayhan, kemudian melangkah pergi meninggalkan masjid diikuti pandangan Rayhan yang menusuk di belakangnya.

Setelah ustadz kabir itu pergi, dia kembali duduk bersandar pada dinding di masjid. Lalu di sinilah dia berada, menatap beberapa santri yang maih bertahan di masjid.

Seperti biasa, semuanya terlihat baik baik saja. Kecuali aku.

Rayhan sebenarnya menyadari bahwa sikap yang barusan dia tunjukkan kepada ustadz Muhammad Aditya kurang pantas. Bersikap skeptis dan berbicara dengan nada sinis merupakan sesuatu yang jarang dia lakukan. Namun apalah daya yang bisa dia lakukan. Perasaannya sangat kacau tadi. Dia merasa bahwa sikapnya tadi disebabkan oleh ucapan ustadz Muhammad Aditya yang tidak pada tempatnya menurutnya. Entahlah, dia tidak tahu apakah dia salah atau tidak.

Dengan perasaan yang semakin tidak baik baik saja dia mencoba mengalihkan pikirannya dari kejadian barusan dengan memikirkan acara yang ‘harus’ diadakan oleh ibunya. Apakah dia akan datang menghadirinya atau tidak

Kamu harus menghadirinya. Bagaimanapun kamu menolaknya, kamu tetap harus menghadirinya. Tidak boleh tidak. Karena kamu adalah satu satunya anak laki laki ayah, ucap ibunya melalui jalur telepon kembali terngiang di kepalanya.


 Jika boleh menolak, Rayhan lebih memilih tidak menghadiri acara itu. Pastinya di sana dia akan kembali mendengar perkataan sok berduka yang tidak diucapkan dengan ikhlas. Namun ibunya memaksa. Dia tidak berani melawan ibunya. Dengan melawan ibunya-yang pasti sangat juga bersedih-akan menjadi sebuah kedurhakaan yang dilakukannya kepada ibunya.

Baiklah, mungkin aku harus menghadirinya. Setidaknya untuk membuat ibu senang.

Rayhan berdiri tegak, lalu pergi meninggalkan masjid menuju asrama. Mempersiapkan pakaiannya untuk  beberapa hari di rumah. Mungkin ibunya sebentar lagi akan tiba di pesantrennya untuk menjemput Rayhan. Membawa dirinya ke acara yang paling dibencinya. Acara duka diamana yang berduka harus memakai topeng kebahagiaan, begitulah kira kira Rayhan menyebutnya.

Sambil berjalan menuju asrama, Rayhan mengehela napas berat. Akhirnya tiba juga hari dia akan menghadiri acara manujuah hari ayahnya. Karena hari ini, hari ketujuh ayahnya telah pergi meninggalkan dunia ini untuk selamanya.
“Rayhan, tolong kamu bawa piring-piring berisi sambal ini ke depan. Terus kamu juga bawa kue-kue ini setelah itu”, perintah ibu Rayhan kepadanya. Rayhan mengangguk, mengambil piring-piring tersebut, lalu membawanya ke perkarangan rumah.

Di perkarangan rumahnya telah berdiri sebuah tenda bewarna putih bersih. Rahyan meletakkan piring-piring itu di atas tikar plastik yang telah menutupi sebagian besar permukaan perkarangan rumahnya. Tampak bapak-bapak sedang duduk bersila di dekat piring yang diletakkannya tadi. Bapak-bapak itu tersenyum padanya, lalu salah seorang bapak-bapak yang sedang memegang puntung rokok menanyakan sekolahnya, lalu mengucapkan terima kasih.

Ucapan terima kasih? Yang benar saja, pikirnya. Dia mendengus dalam hati. Kesal.

Rayhan melangkah ke dalam rumahnya. Dia melirik jam yang tergantung pada dinding. jam setengah sembilan. Kemudian dia terus melangkahkan kakinya hingga dia terhenti akibat sebuah foto di depannya. Foto keluarganya.

Di dalam foto keluarga yang dibingkai dengan kayu yang indah itu, dia tersenyum lepas. Begitu juga dengan ibu, kakak kakaknya serta adiknya. Juga ayahnya. Senyum sehangat matahari Rayhan mengatakannya. Aku merindukan senyumanmu, ayah, ucapnya dalam hati. Rayhan berusaha menahan cairan bening yang kini mulai berkumpul di matanya agar tidak jatuh. Dia mendongakkan kepalanya, seolah itu bisa menahan cairan bening itu.

Rayhan, kamu anak laki laki. Seorang lelaki sejati tidak menjatuhkan air matanya, terang ayah Rayhan ketika pernah suatu kali dia pernah menangis.

Akhirnya Rayhan menghapus cairan bening itu, lalu kembali ke dapur mengambil kue kue untuk disajikan kepada yang hadir di depan.

Setelah selesai seluruh hidangan diletakkan di atas karpet plastik, acara manujuah hari dimulai. Rayhan duduk diantara kakak-kakaknya. Dia malas duduk di antara bapak-bapak di sana. Sebab mereka pasti sedang merokok sekarang, dan asap rokok akan membuatnya tidak nyaman dan batuk-batuk.

Seorang yang dituakan di daerahnya berdiri memberikan sambutan dan mengenang kebaikan almarhum. Semua diam mendengarkan, walau masih ada terdengar bisik bisik dari arah ibuk-ibuk di belakang-maklumlah, namanya juga ibuk-ibuk.

Kemudian ibu Rayhan juga berdiri usai kata sambutan tadi untuk mengucapkan terima kasih karena para tetangga dan kerabat telah datang. Rayhan memandang ibunya dengan tatapan aneh. Mengapa ibu harus berterima kasih?, tanya Rayhan kesal di benaknya.

Acara manujuah hari pun berlanjut dengan doa dipimpin oleh ustadz di daerahnya. Rayhan khusuk mendoakan ayahnya. Dia berharap semoga dengan doanya, ayahnya diringankan dengan segala yang memberatkan, serta ayahnya dimasukkan ke surga kelak. Karena doa dari seorang anak yang sholeh merupakan salah satu yang dikabulkan oleh Allah.

Usai berdoa, semua yang hadir dipersilahkan menyantap hidangan. Rayhan melihat semua yang hadir makan dengan lahap-yang pasti karena masakan ibunya sangat enak-kecuali dirinya. Dia tidak nafsu makan. Dengan suasana hati yang buruk, nafsu makannya hilang begitu saja. Padahal sejak sore tadi perutnya belum menyentuh makanan sedikit pun.

Rayhan berdiri beranjak meninggalkan kakak-kakaknya.

“Mau kemana?”, tanya kakaknya yang tertua sambil menahan tangan Rayhan agar tidak pergi dulu.

“Ke kamar mandi kak”, jawab Rayhan berbohong. Sebenarnya dia bukan mau mengambil hape, melainkan dia tidak tahan dengan suasana sekarang. Berduka.

“Oh, iyalah. Langsung balik ya kalau sudah selesai”

“Iya kak”   

 Rayhan meneruskan langkahnya. Dia melewati beberapa ibuk ibuk yang sedang duduk berkumpul membicarakan sesuatu. Terlihat dari ekspresi mereka bahwa hal mereka bicarakan merupakan suatu hal yang seru. Ekspresi ketika menggosip. Awalnya Rayhan tidak terlalu mendengar obrolan ibuk-ibuk itu, namun telinga tegak ketika mendengar nama ibunya disebut.

“Kasihan ya bu Rana. Suaminya telah meninggal. Padahal suaminya jarang sekali pulang ke rumah. Jarang ketemu. Sering juga pulang malam. Saya malah berpikir aneh aneh karenanya. Untung saja bu Rana juga bekerja, kalau gak, sangat susahlah menyekolahkan 3 anaknya yang masih sekolah”, ucap ibuk yang berjilbab merah.

Seketika emosi Rayhan memuncak. Wajahnya merah padam. Dia sangat marah dengan perkataan ibu tadi. Dia menatap tajam ibu tersebut. Ibu yang tadi mengucapkan perkataan tadi serta teman temannya terkejut bahwa yang di hadapannya merupakan anak yang meninggal. Mereka tidak mampu berkata sepatah kata pun. Kecemasan menguasai diri meraka.

“Jika ibuk tidak tahu yang sebenarnya. Saya harap ibuk DIAM SAJA!”, ucapnya setajam mungkin dan berakhir dengan teriakan. Rayhan meninggalkan ibuk-ibuk itu dengan rasa bersalah yang mendalam pastinya. Orang orang di sekitar ibuk-ibuk tadi, memperhatikan Rayhan melangkah menjauh dari sana.

Apa yang mereka tahu tentang keluarga kami? Berhakkah mereka berbicara seperti itu?

Dada Rayhan bergemuruh. Hatinya sedang dalam kondisi terburuk yang pernah dia alami. Dia sangat marah ketika mendengar perkataan seperti tadi. Ibuk tadi bicara tanpa berlandaskan fakta. Sudah membicarakan keburukan orang lain, tidak benar pula.

Hal yang dilakukan ibuk itu seperti memakan bangkai saudaranya sendiri. Menjijikkan. Sesuatu yang sangat buruk.

Betul perkataan ibuk tadi, ayah Rayhan memang jarang di rumah dan sering pulang malam. Namun itu disebabkan ayahnya sering dinas keluar provinsi, menetap di sana hingga bisa 1 bulan. Juga sering pulang malam karena pekerjaan yang menumpuk luar biasa di kantor. Mereka saja yang tidak mengetahui hal ini, hingga akhirnya bergosip hal buruk.

Rayhan tidak tahu apa lagi yang dipikirkannya. Semua rasa bercampur di dadanya kini. Rayhan menyelinap ke belakang, menuju dapur. Lanjut dia membuka pintu belakang rumah dan terus melewati halaman belakang rumahnya. Kakinya terus melangkah tanpa arah. Rayhan membuka pintu pagar halaman belakang rumah, melewatinya, tanpa menutupnya kembali. Dia tidak tahu harus kemana.

Hening menguasai sesaat. Hanya suara malam yang terdengar.  Rayhan berdiri tanpa suara. Cairan bening yang ditahannya sedari tadi tumpah. Mengaliri pipinya, lalu jatuh ke bumi. Dia menangis. Maaf ayah, aku menangis.

Isak tangisnya tidak kunjung berhenti, hingga terpikir di benaknya sebuah senyuman sehangat matahari. Menenangkan dan nyaman. Aku merindukanmu ayah. Rayhan pun menghapus air matanya, lalu  melangkahkan kakinya membelah gelapnya malam, menuju dimana pemilik senyuman sehangat matahari itu beristirahat.   

Ibu Rayhan masuk ke rumah, meninggalkan para tetangga dan tamu yang datang. Dia sedang mencari Rayhan, pasti anak itu sedang tidak merasa nyaman kini. Karena mengingat Rayhan sempat tidak mau datang ke sini. Tadi dia sempat bertanya kepada kakak Rayhan kemana Rayhan pergi dan kakak Rayhan menjawab  Rayhan sedang di kamar. Namun kini, Rayhan tidak ada di kamarnya. Kemana pula anak itu?, tanya ibu Rayhan dalam hati. Dia terus mencari Rayhan di dalam rumah hingga menemukan pintu belakang terbuka.
Heningya malam mengukung diri Rayhan yang sedang duduk sendirian di samping kuburan ayahnya. Dia duduk sambil besedekap. Rayhan meletakkan hape yang layarnya bercahaya di sampingnya, hingga keadaan di sana tidak terlalu gelap.

 Sejujurnya Rayhan kini merasa sedikit takut. Gelap selalu menjadi hal yang dia takutkan sejak kecil. Tapi rasa rindu kepada ayahnya telah mengalahkan rasa takutnya dengan gelap. Rasa rindu yang begitu mendalam.

“Aku merindukanmu ayah”, ucap Rayhan lirih. Dia menyentuh batu nisan kuburan ayahnya. Tertulis di nisan itu nama ayahnya. Dzul bin Yunus. Jari jarinya dia telusurkan mengikuti gurat nama ayahnya di batu nisan itu.

Lalu tangis Rayhan pun pecah kembali. Dia tidak tahan lagi dengan rindu yang dia rasakan. Rayhan hanya mengingikan senyuman sehangat mentari itu untuk menenangkannya. Tidak ada yang lain.

Suara tangis memenuhi langit malam di kuburan. Gelapnya suasan malam menjadi saksi betapa pilunya tangis seorang Rayhan yang merindukan ayahnya. Rayhan tidak tahu sudah berapa lama dia menangis. Yang jelas, mungkin sudah hampir sejam lebih dia berada di sini.

“Nak, jangan menangis lagi”, ucap seorang wanita tepat di belakangnya dengan lembut. Rayhan terkejut setengah mati mendengar suara itu. Dia mengambil hape, lalu mengarahkannya ke arah sumber suara itu. Kemudian tampaklah ibunya.

Ibu Rayhan tersenyum. Dia melangkah mendekati Rayhan dan duduk di sampingnya. Tejadi keheningan beberapa saat. Hanya sebuah suara segukan usai tangis Rayhan yang terdengar.

“Nak, ibu tahu kamu sedih karena kehilangan ayah kamu. Ibu juga sangat seperti kamu. Kakak-kakakmu juga. Bersedih merupakan sesuatu yang wajar bagi yang kehilangan. Termasuk kita.

Tapi, bila kamu terus terusan bersedih seperti ini, menatapi hal yang sudah terhadi dan tidak mungkin diubah, apakah ayah kamu akan datang di hadapanmu kini dengan tersenyum? Tidak Rayhan. Tidak akan pernah”

Rayhan terdiam mendengar perkataan ibunya. Apa yang dikatakan ibunya memang benar. Bersedih seperti ini bukanlah sesuatu yang diinginkan ayahnya

“Tapi entah kenapa bu, Rayhan selalu benci setiap ada orang yang mengatakan perkataan turut berduka, turut bersedih. Mereka mengatakannya seolah mereka bisa merasakan apa yang kita rasakan. Seolah mereka bisa mengangkat kedihan kita begitu saja. Rayhan sangat membencinya

“Ditambah acara seperti manujuah hari itu. Penuh perkataan tutut berduka yang setiap sebentar diucapkan oleh yang hadir”, jelas Rayhan.

Ibu Rayhan tersenyum mendengar perkataan anaknya. Dia mengelus punggung anaknya dengan lembut dan memperhatikan wajah anaknya yang telah menanggung kedihan yang luar biasa. Ditinggalkan oleh seorang ayah yang sangat disayangnya.

“Bukan salah mereka mengatakan hal seperti itu nak. Itu merupakan suatu bentuk kesopanan dengan mengatakan kata turut berduka kepada yang ditinggalkan. Memang terkadang kita tidak siap menerima perkataan itu, tapi kini kamu harus siap Rayhan. Karena ayah memang sudah pergi. Kamu harus kuat Rayhan. Ayah kamu menginginkan kamu jadi anak yang kuat bukan?

“Kamu tidak harus menerima perkataan turut berduka dari orang orang. Tapi yang kau harus lakukan adalah dengan bersikap wajar dan menerima kenyataan. Tidak usah kamu membenci orang itu. Cukup berlapang dada, memahami bahwa ini yang mungkin tebaik bagi kamu. Soal apakah mereka ikhlas atau hanya sekedar basa basi aja, cukup Allah saja yang tahu. Manusia hanya perlu berprasangka baik saja kepada sesama. Bahkan sangat mungkin mereka yang mangatakan hal itu sangat perhatian dan sayang sama kamu”, jelas ibunya panjang lebar.

Rayhan tertunduk diam mendengar perkataan ibunya. Sangat benar selama ini dia selalu berprasangaka buruk kepada orang yang mengatakan turut berduka kepadanya. Dia tidak pernah sekali pun terlintas di benaknya bahwa sebenarnya mereka mengatakan hal itu buka karena basa basi, tapi karena meraka perhatian dan sayang kepadanya. Namun ibuk tadi…

“Walau bagaimana pun apa yang dikatakan ibuk tadi merupakan sesuatu yang sangat tidak pantas bu. Sesuatu perlakuan yang menjelekkan ayah. Rayhan tidak dapat menerima hal itu. Ayah sangat tidak mungkin melakukan hal yang aneh. Ibuk tadi pantas mendapatkan kesialan yang besar”, ucap Rayhan dengan nada kesal.

Ibu Rayhan kembali tersenyum. Dia beringsut duduk lebih dekat kepada Rayhan.

“Apa yang dikatakann oleh kamu memang benar nak. Ibuk tadi memang salah. Ibu sudah menegur ibuk yang bergosip tadi, dia menminta maaf tadi.Serta berjanji tidak akan bergosip hal hal yang buruk. Ibuk tadi juga minta maaf ke kamu, dia menyadari bahwa menggosip merupakan suatu hal yang menjijikkan. Seperti memakan bangkai saudaranya.

“Tapi yang lebih terpenting adalah kamu memaafkannya denga sepenuh hati. Tanpa ada rasa dendam lagi di lam hati. Setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan. Walaupun kesalahn itu sangat melukai hati kamu seperti yang dilakuakn ibuk tadi. Tapi Apakah kamu mau kesalahan kamu diingat oleh orang orang? Tidak kan. Sehingga kamu jangan mengingat kesalahn orang yang berbuat buruk kepadamu. Cukup kamu memaafkannya dan terus menjaga hubungan baik dengan mereka yang telah berbuat salah. Tidak kamu perlu kamu memendam kebencian di dalam hati”, ucap ibu Rayhan dengan lembut.

Keheningan kembali hadir di antara mereka. Rayhan memahami yang diakatakan ibunya adalah benar. Ketika emosinya memuncak akibat perkataan ibuk tadi, Rayhan seketika hilang akal. Kebencian menguasai dirinya. Dia berpikir tidak akan menerima permintaan maaf dari ibuk tadi sampai kapan pun. Tidak akan ada kata maaf. Tapi apakah dengan begitu, hatinya menjadi tenang? Tidak! Malahan menjadi semakin kacau.

“Nak, kamu tahu bahwa ayahmu merupakan orang yang sangat baik. Ayahmu juga merupakan pemberani dan tidak pernah menyerah. Lihat saja bagaimana dia mencari uang untuk kebutuhan kita, sekolah kakak kamu dan kamu. Kamu harus harus bangga punya ayah seperti itu. Bila ada lain kali yang mengatakan suatu hal yang buruk tentang ayah kamu, hiraukan saja. Tidak usah perdulikan. Percayalah, kebenaran selalu di atas kebohongan”, lanjut ibunya.

Ibu Rayhan menarik Rayhan mendekatkan dirinya lebih dekat, lalu memeluknya. Ibu Rayhan sadar betul bahwa yang dibutuhkan oleh Rayhan sekarang adalah dukungan dari ibunya, untuk bisa menghadapi kenyataan pahit ini. Sebuah pelukan dari seorang ibu misalnya.

“Rayhan, kamu ingin tahu apa yang dikatakan ayahmu tentang anak laki lakinya sebelum meninggal”, tanya ibu Rayhan kepadanya. Rayhan menatap ibunya, lalu mengisyaratkan agar melanjutkan.

“Ayahmu mengatakan bahwa kamu adalah anak yang pintar. Dia ingin kamu menjadi orang yang baik dan kuat. Tidak gampang menyerah dan selalu bisa diandalkan kapan saja. Juga menjadi orang hebat kelak melampui ayahnya. Jika operasi pengangkatan kankernya tidak berjalan lancar, dia meminta tolong kepada ibu untuk mengatakan kepadamu bahwa ayahmu sangat mencintai kamu. Juga meminta tolang agar kamu menjaga ibumu beserta kakak-kakakmu dan adikmu, karena bila dia gagal, kamu akan menjadi pemimpin di rumah kita ”

Seketika tangis Rayhan pun pecah setelah mendengar perkataan ibunya. Ibunya memeluk lembut Rayhan, membiarkan anak laki lakinya menangis mengingat pemilik senyuman sehangat matahari itu. Biarlah dia menangis malam ini. Besok atau lusa kelak, dia akan menjadi orang yang berbeda dari yang sekarang. Dia akan menjadi orang yang sepeti yang dikatakan ayahnya. Menjadi jauh lebih hebat dari ayahnya. Berani dan tidak mudah menyerah. Menjadi seorang laki laki yang menjaga ibu, kakak-kakak, dan adiknya dari segala hal.
           

No comments:

Post a Comment