Friday 30 September 2016

Tanah Kampung


Fadil Ahmadhia Warman

Kepalaku mendongak. Memandang seluruh isi rumah adat ini. Rumah Gadang yang dipakai untuk acara keadatan. Sekarang sedang dilaksanakan rapat antarkepala dan perwakilan kampung. Aku ke sini karena di ajak bapakku. Selang waktu menunggu, aku mendengar suara sayup-sayup keributan di ruang rapat. Adikku, Ranti berlari menuju ruang itu.



"Ranti, tunggu. Jangan ke sana. Bapak telah melarang kita untuk ke sana.”

“Tapi Ranti mau ketemu bapak kak.”

“Nggak boleh Ranti. Kau dengar kakak, kan?”

“Iya, kak. Maafin Ranti.” katanya sambil menundukkan kepala. Tanda perasaan bersalahnya.

Keributan itu makin menjadi-jadi. Suara dalam rapat itu semakin jelas terdengar. Kakiku melangkah mengikuti aliran adrenalin yang mengajaknya menuju asal suara itu. Rasa penasaran yang besar membuatku tak bisa diam.

“Ranti, kau main saja sama Thoyyib ya. Kakak mau pergi sebentar.” perintahku.

“Ya, kak.”

Aku melirik ke dalam ruang rapat. Terlihat para tetua dan pemuda kampung. Golongan muda yang kelihatan tak setuju. Kedua golongan sedang bersitegang. Tak terkecuali bapakku. Bapakku yang menjadi perwakilan para tetua. Beliau berusaha menjelaskan kepada para pemuda dengan perkataan yang halus. Seorang pemuda lain tampak marah. Mukanya merah padam.

Aku mau masuk. Tapi karena bapak melarangku. Makanya tak ada alasan bagiku untuk masuk. Kemarahan bapak adalah hal yang paling kutakuti di dunia ini. Aku kembali ke tempatku semula. Di sana masih terlihat adikku bermain dengan gembira.

Pukul 12. Rapat kampung telah selesai dilaksanakan. Para tetua dan pemuda kembali ke rumah mereka masing-masing. Kami juga pulang. Aku memandangi mata bapak. Ada secercah kesedihan yang tersirat di matanya.

“Bapak, tadi Luqman mendengar suara gaduh di ruang rapat. Apa yang terjadi,  pak?”

“Itu hanyalah kesalahpahaman Luqman. Kau tak perlu mengetahuinya.”

Bapak terus berjalan lurus, sambil memandang datar ke depan. Aku tak melanjutkan pertanyaanku. Sepertinya tak akan ada lagi percapakan yang terjadi dalam perjalanan pulang ini.

Kami sampai di rumah dalam lima belas menit. Ranti langsung merebahkan tubuhnya di atas tikar yang tergeletak di lantai rumah. Aku mendengar percapakan antara bapak dan mamak di kamarnya. Mungkin saja membahas masalah tadi.

“Assalamu’alaikum. Mak Ida.”

“Wa’alaikumussalam.” Mamak keluar dengan kerudungnya yang melabuh sampai pinggangnya.

Mataku terus memandangi televisi yang sedang menyiarkan berita bola. Pemain kebanggaanku menang di liga kali ini. Mamak masuk dengan menjinjing kantong plastik putih.

“Siapa tadi mak?”

“Buk Nisa. Dia ngasih lemang tapai. Kau mau Luqman?”

“Iya mak. Aku mau.”

“Ayo, ikut mamak ke dapur.”

Aku berjalan di belakang mamak. Meninggalkan tontonanku. Mamak sedang memindahkan lemang tadi ke piring. Bau harumnya menyeruak, memberikan sensasi lezat.

“Ambillah Luqman. Mamak mau memberikan lemang ini ke bapak kau.”

“Ya mak.” Aku mengangguk, sambil memindahkan sabu ruas lemang ke piring.

Adzan zuhur dikumandangan. Lemangku telah habis. Bapak keluar dari kamar lengkap dengan pakaian shalatnya.

“Luqman, ayo kita ke masjid. Bapak tunggu kau di luar ya.”

Aku langsung berlari menuju kamar mandi. Berwudhu untuk melaksanakan shalat zuhur berjamaah. Aku mengejar bapak, berusaha menyusul beliau.

Selesai shalat, bapak-bapak membicarakan perkara tadi siang. Mereka membicarakan itu sehabis shalat. Aku hanya bisa menonton dan mendengarkan pembicaraan itu. Takut untuk ikut campur nanti bapak memarahiku.

"Pembicaraan itu menghabiskan waktu 20 menit. Akhirnya kami kembali ke rumah. Mamak telah menyiapkan makan siang.

“Pak, aku sudah menyiapkan makan siang. Ayo pak, kita makan dulu.”

Bapak melangkah menuju meja makan. Disusul oleh mamak yang telah menyiapkan semuanya. Ranti juga berlari mengejar bapak. Aku mengikuti adikku dari belakang. Bunyi decak kunyahan makanan di mulut terdengar jelas. Kami makan seadanya.

“Pak, apakah perkara itu masih belum selesai?”

“Iya, begitulah Ros. Kami masih belum bisa mencapai titik temu.”

“Pak, emangnya ada masalah apa?” aku menyela.

“Nggak ada. Kau makan saja.” jawab bapak.

Aku tak meneruskan pertanyaanku. Bapak sepertinya tak mau menjawabnya. Mau sekeras apapun kalau bapak sudah tidak mau maka tak ada yang bisa memaksanya.

***

Pagi yang cerah di kampungku. Jika kau berkunjung ke kampungku jangan lupa buat menatap lamat-lamat pemandangan yang disuguhkan di sini. Lingkungan yang asri tanpa asap kendaraan. Kau bisa melihat ladang bawang di mana-mana. Masyarakat di disi memilih bawang karena perawatannya lebih mudah.

Bawang-bawang di sini tak hanya di pasarkan di daerah Sumatera Barat saja, namun juga keluar provinsi ini. Bahkan jika hasilnya bagus kami mengekspor bawang ini ke luar negeri.

Jika kau mengunjungi kampungku ini maka jangan pernah mencoba tidur tanpa selimut, kau tak akan pernah kuat menahan dingin di sini. Tangan dan kakimu akan selalu dingin. Kau harus tetap mandi walaupun air di sini sangat dingin. Usahakan mandi dengan air dingin itu. Jika kau mandi dengan air panas maka akan bertambah dingin.

Olahraga di sini tak akan menghasilkan keringat. Walaupun keringatmu berhasil di ekskresikan, tapi selang beberapa detik maka keringat itu akan hilang lagi. Kau akan kembali seperti sebelum olahraga.

Kampungku memamg unik. Aku tinggal di tempat tertinggi di Sumatera Barat. Kau bisa melihat bukit di kiri kanan. Ladang di sekelilingmu. Jalanan yang bebas asap kendaraan. Hanya sebagian kecil masyarakat yang memiliki motor. Pemuda yang aktif dalam organisasi. Ku jamin kau akan nyaman tinggal di kampung ini.

Aku berangkat sekolah pagi-pagi. Mandi dan segera beres-beres. Aku meraih tasku, melangkah menuju sekolah. Berjalan beriringan dengan teman-teman sekelasku.

Belajar dimulai. Seperti hari biasanya, kami belajar bersama pak Syarif. Beliau adalah walas kelas 5 SD. Hari ini kami belajar matematika. Ada banyak hal yang diceritakan oleh pak Syarif. Sepulang sekolah, aku bertemu dengan pak Syarif.

“Pak, saya mau nanya sesuatu.”

“Apa itu Luqman?”

“Begini pak, saya kemaren ikut bapak saya ke Rumah Gadang. Saya juga lihat bapak ada di sana. Saya penasaran, apa yang dibahas oleh tetua kampung saat itu?”

“Oh, soal itu. Kami membahas tentang tanah pusaka di kampung yang mau dibeli oleh orang kota. Ia mau mendirikan mall di sana. Sebagaimana kamu tahu tanah pusaka kampung cukup luas untuk dijadikan mall.”

“Lalu, keributan yang terjadi disebabkan apa pak?

“Kalau itu akibat tetua kampung tidak menyetujui untuk dijual. Tanah pusaka bukan untuk dijual. Tapi orang kota itu juga bersikeras agar tanah itu tetap dijual. Mereka berjanji agar masyarakat di sini bisa bekerja di sana.”

“Begitu ya pak. Terima kasih pak.”

Pak Syarif melanjutkan langkahnya. Punggungnya lama kelamaan menghilang dari pandangan. Perkataan beliau tadi langsung ku rekam pada catatan kecil yang selalu ku bawa ke mana-mana.

Aku sampai di rumah. Bapak bersama tetua kampung sedang berkumpul di ruang tamu. Tentu saja mereka membicarakan hal tadi. Aku tak ikut campur dalam pembicaraan itu. Biarlah aku nanti membicarakannya setelah aku mengetahuinya lebih dalam. Aku langsung ganti baju dan berwudhu buat melaksanakan shalat dzuhur.

Mamak melangkah ke ruang tamu. Beliau mendekat ke bapak dan membisikkan sesuatu.

“Bapak-bapak, mari kita makan siang dulu. Sebelum itu mari kita shalat dzuhur berjamaah. Si Ros sudah menyiapkan seluruhnya. Mari.” Sanggah bapak.

Para tetua kampung bangkit dari duduk mereka. Melangkah takzim menuju ruang shalat rumah kami. Sehabis shalat mereka duduk di meja makan. Aku melangkah masuk ke ruang makan. Salah satu tetua mengajakku makan bersama. Aku duduk di sebelah makan. Ikut makan sambil mendengarkan perincangan di antara bapak-bapak tersebut. Banyak hal yang masih belum ku mengerti.

Jam 2 ini adalah waktu mengaji di MDA. Aku bersiap-siap. Ahmad, teman sekelasku sudah menungguku di luar rumah. Kami berjalan bersisihan.

“Mad, kau tahu tentang rapat yang diadakan di Rumah Gadang?”

“Mana aku tahu Man. Kan itu bukan urusan kita.”

Aku hanya menatap datar Ahmad. Sepertinya dia tak peduli dengan omonganku tadi. Ya sudahlah. Aku akan membicarakan hal ini dengan yang lainnya.

***

Suasana makan malam bersama keluargaku. Aku hanya menatap bapak yang terus mengunyak masakan buatan mamak.

“Pak, bagaimana dengan orang yang akan membeli tanah pusaka itu?” aku memberanikan diri bertanya.

“Darimana kau tahu?”

“Tadi, Luqman tanyain ke pak Syarif.”

“Kami telah berumbuk lagi tadi siang sebagaimana yang telah kau lihat.”

“Lalu, apa keputusannya pak?”

“Keputusannya adalah rapat akan diadakan lagi dengan mengundang seluruh masyarakat di nagari ini. Rencananya besok. Undangan juga telah disebarkan.”

“Aku ikut ya, pak.”

Bapak hanya mengangguk takzim. Aku akan berusaha mencari jalan keluar juga.

***

Pagi hari di Rumah Gadang. Semua warga nagari telah berkumpul. Semua tetua telah berhadir dan duduk di bagian depan. Juga bapakku sebagai kepala nagari. Satu orang dari pembeli juga datang. Dia mengangung-ngaungkan alasan-alasan kenapa tanah itu dibeli. Ia juga berjanji akan memperkejakan warga yang ingin bekerja di mall yang akan dibangun itu.

Semua warga telah setuju. Aku tak setuju dengan semua itu. aku memberanikan diri untuk berdiri di mimbar.

“Bapak-bapak, ibu-ibu yang saya hormati. Tanah ini tak boleh dijual apapun alasannya! Apakah bapak dan ibu sekalian tak tahu bagaimana nenek moyang kita memerdekakan tanah ini?”

“Di dalam syariat agama dan adat minangkabau juga telah diketahui tanah pusaka tak boleh dijual. Bagaimana mudahnya kita semua menjual tanah itu?”

Seorang dari masyarakat berdiri, “Lalu apa penyelesaian kamu, Luqman? Bagaimana cara kita mendapatkan pekerjaan?”

“Kita bisa membuat kebun teh di atas tanah pusaka itu.” aku mengangkat tanganku ke atas. “Kita juga bisa buat mall di atas tanah itu. Kenapa harus orang kota yang mendirikannya? Bapak-bapak, ibu-ibu. Mall dapat membunuh semua perekonomian di sini. Kampung ini juga tidak asri lagi. Kenapa? Karena banyaknya kendaraan yang datang silih berganti karena mall tersebut. Pedagang-pedagang kecil juga akan bangkrut bahkan bisa gulung tikar. Itu semua saya ketahui dari buku yang saya baca dan pelajari.”

“Tanah pusaka bagaimanapun tak boleh dijual. Walaupun semua telah menyetujuinya. Saya rasa para hadirin telah mengetahui adat Minangkabau lebih dalam dari saya. Juga para tetua kampung yang berhadir. Maka saya menolak keputusan ini sebagaimana alasan yang telah saya sampaikan. Terima kasih.”

Ruang rapat dipenuhi sorak sorai serta tepuk tangan dari seluruh masyarakat. Juga tetua kampung yang senang dengan perkataanku tadi. Kecuali perwakilan orang kota yang tampak tertunduk lesu. Bapakku maju ke mimbar, “Sebagaimana yang telah diucapkan oleh Luqman. Maka telah kita putuskan bersama bahwa tanah pusaka tak jadi dijual.” Bapakku memukul palu tiga kali. Pertanda keputusan telah ditetapkan.

Bapak turun dari mimbar, mengecup keningku dengan bangga. Aku kembali duduk di samping mamak. “Mamak bangga padamu, Luqman. Kau anak yang cerdas dan pintar. Kau anak mamak yang paling mamak banggakan juga bapak kau. Dia pasti bangga pada kau.” Aku senang dengan komentar mamak. Akhirnya tanah pusaka tak jadi dijual. Orang kota itu juga telah mengakui kekalahannya dalam melobi masyarakat di nagari ini. Asal dia tahu, pendirian orang Minangkabau sangat kuat dan tak dapat tergoyahkan. Juga ilmu agama yang mendalam sebagaimana pepatah adat “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah[1].”
***

“Pak, ini dokumen yang bapak minta.”

“Ya, tolong letakkan di meja saya. Terima kasih ya.”

Sekarang aku telah menjadi direktur di kebun teh yang dibangun di atas tanah pusaka nagari ini. Masyarakat setuju dengan ideku 20 tahun yang lalu.  Aku juga telah menyelesaikan kuliah S1 di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian. Aku kuliah dengan biaya dari pencaharian bapakku sebagai petani bawang.

Banting tulang hasil kerja bapakku dapat membuatku melanjutkan S2 di New Zealend. Kebetulan aku ikut dalam pemilihan peserta beasiswa. Ternyata aku lulus bersama empat orang temanku. Aku sayang keluargaku. Bapakku yang terus banting tulang serta mamak yang terus menyokongku dari belakang.


[1]Adat berasal dari syariat Islam, dan syariat Islam sumbernya dari Al-Qur’an.




Image Source

Tulisan yang dimuat adalah sepenuhnya milik penulis  risalah-online, bukan merupakan pernyataan dari risalah-online

No comments:

Post a Comment