Saturday 31 December 2016

Anak-Anak dan Pemecahan Masalah


Seorang anak berusia lima tahun kebetulan melihat sendiri ayahnya cedera karena terkena gergaji mesin, ia langsung masuk ke rumah untuk menelepon saluran darurat. Seorang anak tujuh tahun, karena kesal pada ayahnya yang selalu terlambat bila menjemputnya dari les renang membeli sebuah arloji dengan alarm sebagai hadiah ulang tahun sang ayah dan sebelum memberikannya pada ayahnya ia menyetelnya sedemikian rupa sehingga alarm arloji itu akan berdering satu jam sebelum jam penjemputannya. Seorang anak berusia 10 tahun, yang ketakutan karena sepupunya terluka akibat tembak-menembak di jalan, menulis surat kepada walikota dan kepala polisi untuk menceritakan kecemasannya, dan mendesak moreka untuk menugaskan lebih banyak polisi di daerah tempat tinggalnya.  Ia mendapatkan surat, balasan pribadi dan walikota, yang menjanjikan bahwa peristiwa serupa akan diusahakan tidak terjadi lagi.


Kita sering tidak memberi anak-anak kita kepercayaan penuh atas kemampuan mereka memecahkan masalah. Begitu serirg kita turun tangan membantu padahal bantuan itu belum betul-betul dibutuhkan, atau begitu sering kita mengandaikan bahwa kita harus membuatkan keputusan bagi mereka, padahal bila diberi kesempatan dan dorongan, anak-anak kita mampu memandang suatu masalah dari segala sisi dan memecahkan masalah yang sangat rumit, dan ini akan meningkatkan mutu hidup mereka serta hidup orang lain.

Sebagian orangtua mungkin tidak menyediakan waktu untuk mengajarkan keterampilan pemecahan masalah, dan dengan naif  percaya bahwa anak-anak sedapat mungkin harus dibebaskan dari masalah. Seperti komentar salah satu orangtua ketika mengetahui bahwa dalam kurikulum anaknya yang bersekolah di taman kanak- kanak ada pelajaran memecahkan masalah, “Bukankah ia masih kanak-kanak? Ia masih mempunyai banyak waktu untuk berurusan dengan masalah.”     

Yang tidak disadari oleh orangtua ini adalah bahwa kemampuan memecahkan masalah adalah bagian yang menyatu dalam proses pertumbuhannya. Anak-anak kita sudah menjadi pemecah masalah sejak bulan-bulan pertama hidup mereka. Pertumbuhan intelektual dan emosional mereka didorong oleh proses pemecahan masalah. Namun, seperti keterampilan-keterampilan EQ yang lain, kemampuan seorang anak untuk memecahkan masalah umumnya sejalan dengan usia. Kita hanya perlu mengamati bagaimana seorang anak mencoba memecahkan suatu masalah baru agar dapat menghayati pentingnya keberadaan masalah dan segi pertumbuhan mereka:
•      Bayi memerlukan waktu berjam-jam untuk memasukkan jempolnya ke dalam mulut, yang sering meleset ke hidung atau ke dahi, sampai akhirrya ia merasa puas karena berhasil.
•      Seorang anak usia satu tahun bekerja keras menyeimbangkan tiga buah balok untuk membuat menara. Ia bisa kesal dan kecewa, bahkan hampir menangis bila terus-menerus gagal, tetapi a akan mengamuk jika balok-balok itu disingkirkan.
•      Seorang anak usia tiga tahun berkeras menalikan sepatunya sendiri, tidak peduli bahwa ia sedang berada di tengah lorong toko sayur-sayuran yang penuh dengan pengunjung. Ia menolak disuruh menyingkir sampai usahanya berhasil, bahkan akan berteriak memprotes bila orangtuanya ikut campur, meski itu demi keselamatannya.

Orangtua yang mendefinisikan kebahagiaan atau keberhasilan mereka sendiri berdasarkan sedikitnya masalah yang harus dicemaskan mungkin sulit mengerti bahwa anak-anak sesungguhnya menikmati proses pemecahan masalah mereka. Coba perhatikan sekelompok anak delapan tahun yang tengah membangun sebuah benteng di halaman belakang. Keasyikan mereka dimulai dengan membuat rencana, mengumpulkan karton-karton bekas, potongan-potongan kayu, tali, dan rongsokan apa saja dari garasi atau dari gudang untuk memuaskan fantasi arsitektur mereka. Mereka biasanya lupa dengan jam makan siang dan tidak peduli meskipun hujan tiba-tiba turun. Mereka tampaknya juga tidak ambil pusing dengan sikap skeptis orargtua akan hasil “bangunan”-nya nanti. Dalam banyak hal, anak-anak akan lebih menunjukkan kepuasan dan kesenangan dari pemecahan masalah dalam upaya membangun benteng dibanding bermain benteng-bentengan itu sendiri.

Konsep salah kaprah yang lain adalah bahwa pemecahan masalah lebih banyak berhubungan dengan perkembangan intelektual (IQ) ketimbang dengan keterampilan emosianal dan sosial (EQ). Psikolog terkemuka dalam perkembangan anak Jean Piaget meng­andaikan bahwa logika, mula-mula konkret dan kemudian abstrak, adalah unsur penting dalam pemecahan masalah, karena secara langsung menghubungkannya dengan usia dan bakat intelektual searang anak. Tetapi, makin banyak bukti yang menunjukkan bahwa pengalaman sosial dan keakraban dengan masalah mungkin merupakan faktor yang Iebih penting.

Dalam bukunya, Children Solving Problem, Stephanie Thornton, seorang pnofesor di University of Sussex, mengutip sejumlah hasil penelitian yang menyatakan bahwa anak-anak jauh lebih ahli dalam pemecahan masalah daripada yang pernah diduga oleh banyak oranq. Ia menyimpulkan bahwa pemecahan masalah yang berhasil tidak begitu bergantung kepada kecerdasan si anak tetapi lebih kepada pengalaman mereka. Thornton menerangkan bahwa penetitian terdahulu tentang bagaimana anak-anak mempelajari keterampilan memecahkan masalah, termasuk karya psikolog kelas dunia Jean Piaget,  didasarkan pada uji-uji di mana anak-anak tidak akrab dengan jenis masalah yang disajikan kepada meeka. Sebagai contoh,         tidak banyak anak dua atau tiga tahun yang mampu  menjawab soal abstrak seperti:

Kalau A betul, berarti B betul.

A ternyata betul. Apa akibatnya?

Sebaliknya, jarang anak tiga tahun yang akan mengalami kesulitan  dengan konsep inferensial yang sama ni ika disajikan dalam bentuk berikut:
1. Kalau kamu bersikap baik waktu berbebanja, kamu akan men­dapatkan semangkuk es krim.
2. Kamu terryata bersikap manis waktu berbelanja. Apa yang akan terjadi?

Anak-anak sanggup memecahkan masalah-masalah yang lumayan rumit bila mereka dibimbing menggunakan istilah-istilah yang akrab dan konkret bagi mereka, walaupun akan gagal menjawab soal yang sama jika soal itu disajikan dalam lentuk abstrak yang tidak jelas dan hipotetis.

Sesungguhnya, orang dewasa pun bisa mengalami kesulitan dalam pemecahan masalah logika kecuali mereka sudah pernah mengetahui dan mengalaminya dalam dunia nyata. Oleh karena itu, masuk akal bila keakraban kita dengan sesuatu menambah kemam­puan kila memecahkan masalah menyangkut hal tensebut. Andaikan Anda harus menunjukkan arah kepada seseorarg untuk menuju ke suatu tempat di kota Anda sendiri, lalu bandingkan bila Anda harus berbuat serupa untuk kota yang baru satu atau dua kali Anda datangi. Bila hanya ditinjau dar segi kognitif, kedua masalah tadi tepat sama. Tetapi, dengan informasi dan pengalaman yang lebih banyak, penyelesaian masalah menjadi jauh lebih mudah

Prinsip inii juga berlaku ketika kila mengajari anak cara meme­cahkan masalah antarpribadinya. Melalui setiap pengalaman peme­cahan masalah positif yang dapat kila berikan kepada kepada anak, kita membangun sebuah gudang fakta dan pengalaman yang isinya dapat mereka gunakan untuk memecahkan masalah berikutnya. Jadi, campur tangan kila adalah dalam menciptakan jalan untuk pemecahan masalah yang dimulai dengan dorongan~dorongon perkembangan alami mereka, tetapi semua ini berhubungan dan dapat dihubungkan kembali melalui pengetahuan dan pengalaman.

Zulfi Andri

No comments:

Post a Comment