Seorang anak berusia lima
tahun kebetulan melihat sendiri ayahnya cedera karena terkena gergaji mesin, ia
langsung masuk ke rumah untuk menelepon saluran darurat. Seorang anak tujuh
tahun, karena kesal pada ayahnya yang selalu terlambat bila menjemputnya dari
les renang membeli sebuah arloji dengan alarm sebagai hadiah ulang tahun sang
ayah dan sebelum memberikannya pada ayahnya ia menyetelnya sedemikian rupa
sehingga alarm arloji itu akan berdering satu jam sebelum jam penjemputannya.
Seorang anak berusia 10 tahun, yang ketakutan karena sepupunya terluka akibat
tembak-menembak di jalan, menulis surat kepada walikota dan kepala polisi untuk
menceritakan kecemasannya, dan mendesak moreka untuk menugaskan lebih banyak
polisi di daerah tempat tinggalnya. Ia
mendapatkan surat, balasan pribadi dan walikota, yang menjanjikan
bahwa peristiwa serupa akan diusahakan tidak terjadi lagi.
Kita sering tidak memberi
anak-anak kita kepercayaan penuh atas kemampuan mereka memecahkan masalah.
Begitu serirg kita turun tangan membantu padahal bantuan itu belum betul-betul
dibutuhkan, atau begitu sering kita mengandaikan bahwa kita harus membuatkan
keputusan bagi mereka, padahal bila diberi kesempatan dan dorongan, anak-anak
kita mampu memandang suatu masalah dari segala sisi dan memecahkan masalah yang
sangat rumit, dan ini akan meningkatkan mutu hidup mereka serta hidup orang
lain.
Sebagian orangtua mungkin
tidak menyediakan waktu untuk mengajarkan keterampilan pemecahan masalah, dan
dengan naif percaya bahwa anak-anak
sedapat mungkin harus dibebaskan dari masalah. Seperti komentar salah satu
orangtua ketika mengetahui bahwa dalam kurikulum anaknya yang bersekolah di
taman kanak- kanak ada pelajaran memecahkan masalah, “Bukankah ia masih
kanak-kanak? Ia masih mempunyai banyak waktu untuk berurusan dengan masalah.”
Yang tidak disadari oleh
orangtua ini adalah bahwa kemampuan memecahkan masalah adalah bagian yang
menyatu dalam proses pertumbuhannya. Anak-anak kita sudah menjadi pemecah
masalah sejak bulan-bulan pertama hidup mereka. Pertumbuhan intelektual dan
emosional mereka didorong oleh proses pemecahan masalah. Namun, seperti
keterampilan-keterampilan EQ yang lain, kemampuan seorang anak untuk memecahkan
masalah umumnya sejalan dengan usia. Kita hanya perlu mengamati bagaimana
seorang anak mencoba memecahkan suatu masalah baru agar dapat menghayati
pentingnya keberadaan masalah dan segi pertumbuhan mereka:
• Bayi
memerlukan waktu berjam-jam untuk memasukkan jempolnya ke dalam mulut, yang
sering meleset ke hidung atau ke dahi, sampai akhirrya ia merasa puas karena berhasil.
• Seorang
anak usia satu tahun bekerja keras menyeimbangkan tiga buah balok untuk membuat
menara. Ia bisa kesal dan kecewa, bahkan hampir menangis bila terus-menerus
gagal, tetapi a akan mengamuk jika balok-balok itu disingkirkan.
• Seorang
anak usia tiga tahun berkeras menalikan sepatunya sendiri, tidak peduli bahwa
ia sedang berada di tengah lorong toko sayur-sayuran yang penuh dengan
pengunjung. Ia menolak disuruh menyingkir sampai usahanya berhasil, bahkan akan
berteriak memprotes bila orangtuanya ikut campur, meski itu demi
keselamatannya.
Orangtua yang mendefinisikan
kebahagiaan atau keberhasilan mereka sendiri berdasarkan sedikitnya masalah
yang harus dicemaskan mungkin sulit mengerti bahwa anak-anak sesungguhnya
menikmati proses pemecahan masalah mereka. Coba perhatikan sekelompok anak
delapan tahun yang tengah membangun sebuah benteng di halaman belakang.
Keasyikan mereka dimulai dengan membuat rencana, mengumpulkan karton-karton
bekas, potongan-potongan kayu, tali, dan rongsokan apa saja dari garasi atau
dari gudang untuk memuaskan fantasi arsitektur mereka. Mereka biasanya lupa
dengan jam makan siang dan tidak peduli meskipun hujan tiba-tiba turun. Mereka
tampaknya juga tidak ambil pusing dengan sikap skeptis orargtua akan hasil
“bangunan”-nya nanti. Dalam banyak hal, anak-anak akan lebih menunjukkan
kepuasan dan kesenangan dari pemecahan masalah dalam upaya membangun benteng
dibanding bermain benteng-bentengan itu sendiri.
Konsep salah kaprah yang lain adalah
bahwa pemecahan masalah lebih banyak berhubungan dengan perkembangan
intelektual (IQ) ketimbang dengan keterampilan emosianal dan sosial (EQ).
Psikolog terkemuka dalam perkembangan anak Jean Piaget mengandaikan bahwa
logika, mula-mula konkret dan kemudian abstrak, adalah unsur penting dalam
pemecahan masalah, karena secara langsung menghubungkannya dengan usia dan
bakat intelektual searang anak. Tetapi, makin banyak bukti yang menunjukkan
bahwa pengalaman sosial dan keakraban dengan masalah mungkin merupakan faktor
yang Iebih penting.
Dalam bukunya, Children Solving
Problem, Stephanie Thornton, seorang pnofesor di University of Sussex,
mengutip sejumlah hasil penelitian yang menyatakan bahwa anak-anak jauh lebih
ahli dalam pemecahan masalah daripada yang pernah diduga oleh banyak oranq. Ia
menyimpulkan bahwa pemecahan masalah yang berhasil tidak begitu bergantung
kepada kecerdasan si anak tetapi lebih kepada pengalaman mereka. Thornton
menerangkan bahwa penetitian terdahulu tentang bagaimana anak-anak mempelajari
keterampilan memecahkan masalah, termasuk karya psikolog kelas dunia Jean
Piaget, didasarkan pada uji-uji di mana
anak-anak tidak akrab dengan jenis masalah yang disajikan kepada meeka. Sebagai
contoh, tidak banyak anak dua atau
tiga tahun yang mampu menjawab soal
abstrak seperti:
Kalau A betul, berarti B betul.
A ternyata betul. Apa akibatnya?
Sebaliknya, jarang anak
tiga tahun yang akan mengalami kesulitan
dengan konsep inferensial yang sama ni ika disajikan dalam bentuk
berikut:
1. Kalau kamu bersikap baik waktu berbebanja, kamu akan mendapatkan
semangkuk es krim.
2. Kamu terryata bersikap manis waktu berbelanja.
Apa yang akan terjadi?
Anak-anak
sanggup memecahkan masalah-masalah yang lumayan rumit bila mereka dibimbing
menggunakan istilah-istilah yang akrab dan konkret bagi mereka, walaupun akan
gagal menjawab soal yang sama jika soal itu disajikan dalam lentuk abstrak yang
tidak jelas dan hipotetis.
Sesungguhnya,
orang dewasa pun bisa mengalami kesulitan dalam pemecahan masalah logika
kecuali mereka sudah pernah mengetahui dan mengalaminya dalam dunia nyata. Oleh
karena itu, masuk akal bila keakraban kita dengan sesuatu menambah kemampuan
kila memecahkan masalah menyangkut hal tensebut. Andaikan Anda harus
menunjukkan arah kepada seseorarg untuk menuju ke suatu tempat di kota Anda
sendiri, lalu bandingkan bila Anda harus berbuat serupa untuk kota yang baru
satu atau dua kali Anda datangi. Bila hanya ditinjau dar segi kognitif, kedua
masalah tadi tepat sama. Tetapi, dengan informasi dan pengalaman yang lebih
banyak, penyelesaian masalah menjadi jauh lebih mudah
Prinsip
inii juga berlaku ketika kila mengajari anak cara memecahkan masalah
antarpribadinya. Melalui setiap pengalaman pemecahan masalah positif yang
dapat kila berikan kepada kepada anak, kita membangun sebuah gudang fakta dan
pengalaman yang isinya dapat mereka gunakan untuk memecahkan masalah
berikutnya. Jadi, campur tangan kila adalah dalam menciptakan jalan untuk
pemecahan masalah yang dimulai dengan dorongan~dorongon perkembangan alami
mereka, tetapi semua ini berhubungan dan dapat dihubungkan kembali melalui
pengetahuan dan pengalaman.
Zulfi Andri
No comments:
Post a Comment