Saturday 31 December 2016

Cara Bijak Memarahi Anak (Bag 1)



Sebagaimana senyuman yang damai, kadang kita harus memarahi anak. Ini bukan berarti kita meninggalkan kelembutan, sebab memarahi dan sikap lemah-lembut bukanlah dua hal yang bertentangan. Lemah-lembut merupakan kualitas sikap, sebagai sifat dari apa  yang kita lakukan. Sedangkan memarahi -bukan marah-merupakan tindakan. Orang bisa saja bersikap kasar, meskipun dia sedang bermesraan dengan istrinya.

Persoalan kemudian, kita acapkali tidak bisa meredakan emosi pada saat menghadapi  perilaku anak yang menjengkelkan. Kita menegur anak bukan  karena ingin meluruskan kesalahan, tetapi karena ingin meluapkan amarah dan kejengkelan. Tidak mudah memang, tetapi  kita perlu terus-menerus belajar meredakan emosi saat menghadapi anak,
utamanya saat menghadapi perilaku mereka yang membuat kita ingin berteriak dan membelalak. Jika tidak, teguran kita akan tidak efektif. Bahkan, bukan tidak mungkin mereka justru semakin menunjukkan "kenakalannya". Sekali lagi, betapa pun sulit dan masih sering gagal, kita perlu berusaha untuk menenangkan emosi saat menghadapi anak sebelum kita menegur mereka, sebelum kita memarahi mereka.  Selebihnya, ada beberapa catatan yang bisa kita perhatikan: Ajarkan Kepada Mereka Konsekuensi, Bukan  Ancaman

Anak-anak belajar dari kita.
Mereka suka mengancam karena kita sering menghadapi mereka dengan gaya mengancam. Mereka melihat bahwa dengan cara mengancam, apa yang diinginkannya dapat tercapai. Dari kita, mereka juga belajar meluapkan kemarahannya untuk menunjukkan "keakuannya".

Saya tidak memungkiri, banyak pengaruh luar yang bisa mengubah perilaku  anak. Teman-teman sebaya, khususnya yang sangat akrab dengan anak, bisa mempengaruhi anak. Ia meniru temannya dari cara bicara, bertindak, mengekspresikan kemarahan, sampai dengan kata-kata yang diucapkan. Kadang anak memahami apa yang dikatakan,
tetapi terkadang anak tidak tahu apa maksudnya. Ia hanya menirukan apa yang didengar.

Perbincangan kita kali ini bukanlah tentang peniruan. Karena itu marilah kita kembali berbincang bersama bagaimana ancaman kepada anak, acapkali tidak menghasilkan perubahan yang baik. Ancaman tidak banyak bermanfaat untuk menghentikan kenakalan anak atau perilaku yang membuat kita sewot. Sebaliknya, ancaman justru membuat
anak belajar berontak dan menentang. Salah satu sebabnya, anak merasa orangtua tidak menyayangi ketika kita meneriakkan ancaman di telinga mereka.
Selain itu, kita sering lupa menunjukkan apa yang seharusnya dikerjakan anak manakala kita asyik melontarkan ancaman.

Lalu apa yang perlu kita lakukan? Pertama, Adalah buruk memarahi tanpa memberikan penjelasan. Sekali waktu kita perlu duduk bersama dalam suasana yang mesra dengan anak untuk berbicara tentang aturan-aturan. Kedua, kita bisa membuat komitmen bersama dengan anak untuk mematuhi aturan. Misalnya, mintalah kepada anak agar tenang ketika ada tamu. Kalau ada yang perlu disampaikan, atau anak menginginkan sesuatu,
hendaknya menyampaikan kepada orangtua dengan baik-baik dan bersabar bila belum bisa memenuhinya. Bersama dengan komitmen ini kita bisa membicarakan dengan anak
konsekuensi apa yang bisa diterima bila anak mengamuk di saat ada tamu.
Sekali lagi, konsekuensi ini disampaikan dengan nada yang akrab. Bukan
ancaman. Bila anak melakukan hal-hal negatif yang sangat mengganggu, orangtua bisa mengingatkan kembali kepada anak dan lagi-lagi tidak dengan nada mengancam.

Di sinilah letak beratnya. Kita acapkali mudah kehilangan kendali. Kita mudah membelalak saat marah, tetapi lupa untuk konsisten. "Ibu / Bapak Sudah Bilang Berkali-kali."

Perilaku yang menjengkelkan memang lebih mudah diingat, lebih membekas dan cenderung menggerakkan kita untuk segera bertindak. Sebaliknya perilaku positif cenderung kurang bisa mendorong kita untuk memberi komentar, kecuali jika perilaku tersebut benar-benar sangat mengesankan. Konsumen yang kecewa pada suatu produk,
akan segera menggerutu ke sana kemari, meski kekecewaan itu sebenarnya tidak seberapa. Tetapi konsumen yang puas cenderung akan diam saja, kecuali jika kepuasan itu sangat menakjubkan. Orangtua dan anak juga demikian. Orangtua mudah ingat
perilaku negatif anak, sementara anak mungkin tidak bisa melupakan tindakan orangtua yang menyakitkan hatinya. Salah satu kebiasaan umum orangtua yang menyakitkan hati anak sehingga  bisa melemahkan citra dirinya adalah ungkapan, "Ibu / Bapak sudah
berkali-kali bilang, tapi kamu tidak mau mendengarkan."

Ungkapan ini memang efektif untuk membuat anak diam menunduk. Tetapi ia diam karena harga dirinya jatuh, bukan karena menyadari kesalahan. Jika ini sering terjadi, anak akan memiliki citra diri yang buruk. Dampak selanjutnya, konsep diri dan harga diri
(self esteem) anak akan lemah. Anak melihat belajar memandang dirinya secara negatif, sehingga lupa dengan berbagai kebaikan dan keunggulan yang ia miliki. Sebaliknya orangtua juga demikian, semakin sering berkata seperti itu kepada anak, kita akan
semakin mudah bereaksi secara impulsif. Kita semakin percaya pada anggapan sendiri bahwa anak-anak kita memang bandel, menjengkelkan dan susah dinasehati.

Tidak mudah memang, tetapi kebiasaan memarahi anak dengan ungkapan "Bapak kan sudah bilang berkali-kali" atau yang sejenis dengan itu, harus kita kikis secara sadar dari sekarang. Kita perlu menguatkan tekad untuk berkata yang lebih positif, betapa pun hampir setiap komentar kita masih buruk.

No comments:

Post a Comment