Ide tentang
hacking sering kali diasumsikan publik sebagai vandalisme elektronik, spionase,
dan hal lain. Banyak orang mengasosiasikan hacking dengan menerobos hukum yang
berlaku dan beranggapan kalau setiap orang yang terlibat dalam aktivitas
hacking adalah kriminal.
Masih, ada banyak orang di luar sana yang menggunakan
teknik hacking untuk melanggar hukum, tapi sebenarnya hacking tidak selalu
tentang hal melanggar. Faktanya, hacking lebih kepada mengikuti hukum daripada
sebaliknya. Esensi dari hacking itu sendiri adalah untuk menemukan sebuah
metode tak terpikirkan dalam sebuah situasi hukum dan kemudian
mengaplikasikannya dalam cara yang inventif dan baru dalam menyelesaikan
masalah, apapun itu.
Permasalahan
matematis berikut bisa mengilustrasikan defenisi tadi:
Gunakanlah
setiap angka dari 1, 3, 4, dan 6 dengan operator matematis dasar (penjumlahan,
pengurangan, perkalian, dan pembagian) untuk menghasilkan bilangan 24. Setiap
angka hanya bisa digunakan sekali dan hanya sekali, dan diperbolehkan untuk mendefenisikan
urutan dari operasi. Sebagai contoh, 3 * (4 + 6) + 1 = 31 adalah valid, meskipun
salah, sejak itu tidak menghasilkan 24.
Aturan dari
permasalahan ini jelas dan simpel, meski jawabannya bisa bercabang kemana-mana.
Seperti solusi dari masalah ini (Penulis akan menambahkannya di akhir
pembahasan kita), solusi dari seorang Hacker masih mengikuti aturan, tapi dia
memanfaatkan aturan tadi dalam cara tak terduga. Ini memberikan para Hacker
“sudut” mereka, keistimewaan mereka sendiri. Memperbolehkan mereka
menyelesaikan masalah dengan cara yang tak pernah ditemukan oleh orang-orang
yang telah nyaman dengan metode dan cara pikir yang masih konvensional.
Sejak masa
kanak-kanak dari sebuah benda bernama komputer, para Hacker telah lihai
memecahkan masalah dengan kreatif (di bidangnya, tentu). Di akhir 1950-an, Klub
Permodelan Rel MIT diberi donasi berupa suku cadang, sebagian besar
perlengkapan telepon kuno. Mereka pun menggunakannya untuk
membuat sebuah jaringan pengendali rel kereta yang kompleks yang memungkinkan
lebih dari satu operator mengendalikan belokan rel dengan men-dial bagian
jaringan terkait. Mereka menyebut metode baru yang inventif ini dengan sebutan
Hacking. Banyak orang yang beranggapan kalau merekalah Hacker yang pertama.
Klub ini berpindah ke proyek lain, yaitu programming pada ticker tape dan punch cards untuk komputer generasi awal
seperti IBM 704 dan TX-0. Ketika orang lain berorientasi pada dasar pemikiran
bahwa program hanya untuk menyelesaikan masalah, para Hacker awal ini terobsesi
dengan menulis program yang menyelesaikan masalah dengan baik. Begini, sebuah program baru yang bisa mendapat hasil
yang sama dengan punch cards yang
lebih sedikit, dianggap lebih bagus. Meski mereka hanya melakukan hal yang
sama. Kuncinya adalah, bagaimana cara program tersebut mencapai hasilnya dengan
elegan.
Dengan kemampuan mengurangi jumlah punch cards yang diperlukan untuk sebuah
program menunjukkan sebuah keahlian mendalam yang artistik dalam komputer.
Begini, sebuah meja yang dibuat dengan sangat bagus dan teliti bisa menahan
beban sebuah vas seperti sebuah kotak kayu biasa, tapi tentu salah satunya
terlihat lebih bagus dari yang lain. ParaHacker awal membuktikan kalau masalah teknis bisa
mempunyai solusi yang artistik. Dan yang mengejutkannya, mereka telah
mentransformasikan programming dari sekedar hal permesinan kepada sebuah bentuk
seni.
Seperti banyak
macam kesenian lainnya, Hacking sangat sering disalahpahami. Adapun sedikit
orang yang memahami konsepnya membentuk sebuah subkultur bersifat informal yang
terus berfokus pada mempelajari dan mendalami seni mereka dengan intensif.
Mereka percaya kalau segala informasi itu harusnya bersifat bebas dan apapun
mengahalangi jalan kebebasan informasi ini harus lenyap.Ini bisa saja dicontohkan
oleh figur pemerintah, birokrasi yang rumit, dan diskriminasi. Ini dibuktikan
dengan persetujuan Klub Permodelan Rel MIT atas bergabungnya seorang remaja 12
tahun, Peter Deutsch ketika presentasinya tentang pengetahuannya perihal TX-0
dan hasrat belajarnya. Umur, gender, pangkat, status sosial dan hal lainnya tak
jadi soal, bukan karena semata-mata semangat kesederajatan, tapi lebih ke
hasrat membara untuk memajukan seni Hacking yang semakin melaju.
Para Hacker awal
menemukan kemegahan di ilmu sains dan elektronik yang kekeringan. Mereka
melihat programming sebagai sebuah ekspresi seni dengan komputer sebagai kuas
dan kanvas alias instrumennya.Semangat mereka dalam usaha memahami dan belajar
tidak untuk menghilangkan rasa seni para seniman pada umumnya, malahan ini
adalah jalan yang lebih mudah untuk menghormati mereka. Nilai-nilai inilah
yang sering disebut sebagai Hacker Ethic, alias Etika Hacker.
Apresiasi logika
yang kaku sebagai sebuah bentuk seni dan promosi tentang alur informasi
transparan, memutus batas aturan pengetahuan konvensional, yang berujung pada
jalan yang lebih baik untuk mengerti tentang banyak hal di dunia ini. Ini bukan
hal baru. Ribuan tahun lalu, para Pythagorean alias pengikut Pythagoras di
Yunani Kuno mempunyai etika yang identik, kecuali dalam hal mempunyai komputer.
Mereka melihat keindahan dalam matematika dan menemukan banyak pilar dasar
geometri. Haus akan pengetahuan dan manfaat sampingannya pun berlanjut dalam
sejarah dua milenium berikutnya. Dari Pythagoras, Al-Khawarizmi, Ada Lovelace,
Alan Turing, dan akhirnya ke Klub Permodelan Rel MIT. Para Hacker modern
seperti Richard Stallman dan Steve Wozniak telah melanjutkan budaya Hacker,
membawa kita pada sistem operasi modern, bahasa pemograman, komuter pribadi
alias PC, dan banyak lagi teknologi lainnya yang kita gunakan tiap hari.
Nah. Sekarang,
bagaimana caranya memisahkan Hacker baik yang memberi kita kemajuan teknologi
dengan Hacker jahat yang mencuri nomor kartu kredit kita? Kita akan
membahasnya di Part 2.
No comments:
Post a Comment