Monday, 23 May 2016

Hacking Dari Kacamata Lain (Part 1)





Ide tentang hacking sering kali diasumsikan publik sebagai vandalisme elektronik, spionase, dan hal lain. Banyak orang mengasosiasikan hacking dengan menerobos hukum yang berlaku dan beranggapan kalau setiap orang yang terlibat dalam aktivitas hacking adalah kriminal.
Masih, ada banyak orang di luar sana yang menggunakan teknik hacking untuk melanggar hukum, tapi sebenarnya hacking tidak selalu tentang hal melanggar. Faktanya, hacking lebih kepada mengikuti hukum daripada sebaliknya. Esensi dari hacking itu sendiri adalah untuk menemukan sebuah metode tak terpikirkan dalam sebuah situasi hukum dan kemudian mengaplikasikannya dalam cara yang inventif dan baru dalam menyelesaikan masalah, apapun itu.
Permasalahan matematis berikut bisa mengilustrasikan defenisi tadi:

Gunakanlah setiap angka dari 1, 3, 4, dan 6 dengan operator matematis dasar (penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian) untuk menghasilkan bilangan 24. Setiap angka hanya bisa digunakan sekali dan hanya sekali, dan diperbolehkan untuk mendefenisikan urutan dari operasi. Sebagai contoh, 3 * (4 + 6) + 1 = 31 adalah valid, meskipun salah, sejak itu tidak menghasilkan 24.

Aturan dari permasalahan ini jelas dan simpel, meski jawabannya bisa bercabang kemana-mana. Seperti solusi dari masalah ini (Penulis akan menambahkannya di akhir pembahasan kita), solusi dari seorang Hacker masih mengikuti aturan, tapi dia memanfaatkan aturan tadi dalam cara tak terduga. Ini memberikan para Hacker “sudut” mereka, keistimewaan mereka sendiri. Memperbolehkan mereka menyelesaikan masalah dengan cara yang tak pernah ditemukan oleh orang-orang yang telah nyaman dengan metode dan cara pikir yang masih konvensional.

Sejak masa kanak-kanak dari sebuah benda bernama komputer, para Hacker telah lihai memecahkan masalah dengan kreatif (di bidangnya, tentu). Di akhir 1950-an, Klub Permodelan Rel MIT diberi donasi berupa suku cadang, sebagian besar perlengkapan telepon kuno. Mereka pun menggunakannya untuk membuat sebuah jaringan pengendali rel kereta yang kompleks yang memungkinkan lebih dari satu operator mengendalikan belokan rel dengan men-dial bagian jaringan terkait. Mereka menyebut metode baru yang inventif ini dengan sebutan Hacking. Banyak orang yang beranggapan kalau merekalah Hacker yang pertama. Klub ini berpindah ke proyek lain, yaitu programming pada ticker tape dan punch cards untuk komputer generasi awal seperti IBM 704 dan TX-0. Ketika orang lain berorientasi pada dasar pemikiran bahwa program hanya untuk menyelesaikan masalah, para Hacker awal ini terobsesi dengan menulis program yang menyelesaikan masalah dengan baik. Begini, sebuah program baru yang bisa mendapat hasil yang sama dengan punch cards yang lebih sedikit, dianggap lebih bagus. Meski mereka hanya melakukan hal yang sama. Kuncinya adalah, bagaimana cara program tersebut mencapai hasilnya dengan elegan.
Dengan kemampuan mengurangi jumlah punch cards yang diperlukan untuk sebuah program menunjukkan sebuah keahlian mendalam yang artistik dalam komputer. Begini, sebuah meja yang dibuat dengan sangat bagus dan teliti bisa menahan beban sebuah vas seperti sebuah kotak kayu biasa, tapi tentu salah satunya terlihat lebih bagus dari yang lain. ParaHacker awal membuktikan kalau masalah teknis bisa mempunyai solusi yang artistik. Dan yang mengejutkannya, mereka telah mentransformasikan programming dari sekedar hal permesinan kepada sebuah bentuk seni.

Seperti banyak macam kesenian lainnya, Hacking sangat sering disalahpahami. Adapun sedikit orang yang memahami konsepnya membentuk sebuah subkultur bersifat informal yang terus berfokus pada mempelajari dan mendalami seni mereka dengan intensif. Mereka percaya kalau segala informasi itu harusnya bersifat bebas dan apapun mengahalangi jalan kebebasan informasi ini harus lenyap.Ini bisa saja dicontohkan oleh figur pemerintah, birokrasi yang rumit, dan diskriminasi. Ini dibuktikan dengan persetujuan Klub Permodelan Rel MIT atas bergabungnya seorang remaja 12 tahun, Peter Deutsch ketika presentasinya tentang pengetahuannya perihal TX-0 dan hasrat belajarnya. Umur, gender, pangkat, status sosial dan hal lainnya tak jadi soal, bukan karena semata-mata semangat kesederajatan, tapi lebih ke hasrat membara untuk memajukan seni Hacking yang semakin melaju.

Para Hacker awal menemukan kemegahan di ilmu sains dan elektronik yang kekeringan. Mereka melihat programming sebagai sebuah ekspresi seni dengan komputer sebagai kuas dan kanvas alias instrumennya.Semangat mereka dalam usaha memahami dan belajar tidak untuk menghilangkan rasa seni para seniman pada umumnya, malahan ini adalah jalan yang lebih mudah untuk menghormati mereka. Nilai-nilai inilah yang sering disebut sebagai Hacker Ethic, alias Etika Hacker.

Apresiasi logika yang kaku sebagai sebuah bentuk seni dan promosi tentang alur informasi transparan, memutus batas aturan pengetahuan konvensional, yang berujung pada jalan yang lebih baik untuk mengerti tentang banyak hal di dunia ini. Ini bukan hal baru. Ribuan tahun lalu, para Pythagorean alias pengikut Pythagoras di Yunani Kuno mempunyai etika yang identik, kecuali dalam hal mempunyai komputer. Mereka melihat keindahan dalam matematika dan menemukan banyak pilar dasar geometri. Haus akan pengetahuan dan manfaat sampingannya pun berlanjut dalam sejarah dua milenium berikutnya. Dari Pythagoras, Al-Khawarizmi, Ada Lovelace, Alan Turing, dan akhirnya ke Klub Permodelan Rel MIT. Para Hacker modern seperti Richard Stallman dan Steve Wozniak telah melanjutkan budaya Hacker, membawa kita pada sistem operasi modern, bahasa pemograman, komuter pribadi alias PC, dan banyak lagi teknologi lainnya yang kita gunakan tiap hari.

Nah. Sekarang, bagaimana caranya memisahkan Hacker baik yang memberi kita kemajuan teknologi dengan Hacker jahat yang mencuri nomor kartu kredit kita? Kita akan membahasnya di Part 2.




Tulisan yang dimuat adalah sepenuhnya milik penulis  risalah-online, bukan merupakan pernyataan dari risalah-online

No comments:

Post a Comment