Thursday, 26 May 2016

Waktu Penentu



Karya: Hanifa Denis

Lolongan anjing mulai terdengar dari kejauhan. Lampu-lampu jalanan satu persatu dihidupkan untuk menerangi gelapnya malam.
Remang-remang cahaya bulan ikut menemani suasana yang terasa begitu sunyi. Aku terus berlari meninggalkan suara gemericik air bercampur tanah yang disebabkan oleh sepatuku sendiri. Satu tujuanku. Aku ingin bertemu tuhan. Aku ingin menuntut masa kecilku yang begitu berantakan. Aku terus berlari,sesekali menghapus air mata mulai yang mengaburkan pandangan. Buuk..!Sebuah lubang membuatku terjatuh.

Aku tersungkur. Menghadap pada kesunyian malam. Kakiku sudah tak sanggup lagi untuk berlari,bahkan hanya untuk melangkah. Tubuhku bergetar. Air mata mulai jatuh membasahi pipiku yang telah kotor oleh becekan tanah. Tak ada yang peduli.

“Papa…Mama…kenapa semuanya jadi begini?”hati kecilku menuntut sebuah penjelasan.

Malam semakin larut,menampakkan rasi bintang yang terlihat menakjubkan. Semilir angin sepoi-sepoi mulai menampar halus wajahku. Seakan tuhan tak ingin melihatku bersedih. Seakan tuhan akan mengakhiri penderitaanku.

Bruum.!!Sebuah mobil menghentikan waktuku.

Aku melayang. Mengambang diantara  awan-awan. Tuhan akan memberikan penjelasan.

Ω Ω Ω Ω Ω

Namaku Mentari. Tapi,hidupku tak seindah pelangi. Mereka bilang,ini hanyalah sebuah kesalahan dimasa lalu. Seolah-olah akulah penyebab mama dan papa bersatu. Usiaku 5 tahun.Masa kecilku begitu berantakan. Canda tawa begitu mahal dikeluargaku. Mama dan papa begitu sibuk dengan urusan mereka. Dan aku harus bisa mengurus diriku sendiri.

Aku tumbuh dengan cepat. Pola pikirku berkembang lebih dahulu dibanding usiaku. Waktu itu,umurku 1 tahun. Aku sudah pandai menunggu kepulangan mama dan papaku di ruang tamu. Mereka terkejut ketika menemuiku terlelap disamping sofa. Papa marah kepada mama,mengatakan pada mama bahwa mama tak bisa menjadi ibu yang baik bagiku. Mama tak terima di marahi papa dan mengambil dalih bahwa papa terlalu sibuk dan tak ada waktu untuk mengurusiku. Pertengkaran itu terjadi kembali. Tuhan menutup telinga mungilku dan membiarkanku tertidur dengan tenang. Usai pertengkaran,akhirnya papa mengangkatku menuju kamar.

Usiaku 3 tahun. Untuk pertama kalinya mama dan papa mengajakku pergi ke tempat hiburan. Aku senang bukan kepalang. Selama perjalanan,aku bernyanyi dan berjoget tak karuan ala anak kecil. Mama dan papa hanya  tertawa melihat tingkah laku bidadari kecilnya itu.

Kami bermain bersama. Petak umpet,pelosotan,kejar-kejaran. Sungguh,keluarga yang bahagia. Tiga puluh menit lamanya kami bermain. Itu waktu termahal yang pernah aku miliki. Setelah itu,papa menemui seorang wanita berpakaian rapi di tempat parkir. Mereka berbincang-bincang dan sesekali tampak tertawa. Begitu akrab.Seolah telah begitu lama mengenal antara satu sama lain. Setelah wanita itu pergi,mama menemui papa dengan wajah yang tampak memerah. Ia mengatakan bahwa  wanita itu yang terus membuat papa super sibuk,tak ada waktu untuk makan siang bersama mama,tak mau menjemput mama,dan segala hal lain yang tak dapat aku dengarkan secara jelas. Papa marah,tak terima dengan tuduhan mama yang asal-asalan mengatakan papa seperti itu. Aku mundur tiga langkah.Tak tahan dengan pertengkaran yang terasa menyakitkan bagiku. Air mata mulai menganak di pelupuk mata. Aku menangis terisak. Mama melihatku dan mengatakan  bahwa papa telah membuatku menangis. Usai pertengkaran itu,mama menghampiriku. Ia menghapus air mataku dengan kedua tangannya,mengatakan bahwa ini akan baik-baik saja. Setelah itu,mama mengajakku menuju mobil.

Aku meminta pada mama untuk dimasukkan ke playgroup ketika usiaku 4 tahun. Aku mulai bosan dengan segala pertengkaran yang bagiku terasa sangat memuakkan. Mama menyanggupinya. Seminggu setelah itu,mama dan papa mengantarkanku sampai gerbang sekolah. Mereka mengecup kedua pipiku dan berjanji akan menjemputku seusai sekolah berakhir. Aku mengangguk,melambaikan tangan mengiring kepergian mereka.

Ternyata sekolah itu menyenangkan. Aku memiliki teman-teman baru,dan guru-guru yang baik dengan segala kasih sayang dari mereka. Dan disinilah aku,menunggu mama dan papa di bangku halaman sejak satu jam yang lalu. Sedari tadi beberapa guru menawarkan untuk mengantarkanku pulang. Aku menggeleng,menjelaskan dengan sopan bahwa mama dan papa sudah bejanji akan menjemputku. Sekarang semua orang telah pergi. Menyisakanku yang kebosanan menunggu kehadiran orangtuaku yang tak kunjung datang. Semilir angin yang berhembus,membuat mataku tarasa berat. Akhirnya ku putuskan untuk membaringkan badan dan tertidur.

WWWWW
 Pukul 22.00 WIB
Mobil sedan hitam  baru saja memasuki garasi. Tampak dua orang yang keluar dari mobil begitu kelelahan. Wajah mereka kusut. Tampak jelas beban pekerjaan yang mengganggu pikiran mereka. Pintu beberapa saat terbuka,sebelum akhirnya tertutp kembali.
WWWWW

Pukul 02.00 dini hari

Rintik hujan mulai membasahi bumi. Suara gemericiknya yang mengenai loteng rumah,membuat irama melodi yang terdengar beraturan. Petir mulai menggelegar memekakkan telinga. Seorang wanita setengah baya terbangun dari tidurnya. Ia mimpi buruk. Sesuatu terjadi pada putri kecilnya. Ia langsung belari keluar kamar,menuju kamar yang berada tepat disamping kamarnya. Pintu perlahan terbuka. Ruangan itu terlihat gelap. Hanya cahaya petir yang sesekali menyambar,membantu penglihatan. Wanita itu meraba-raba dinding,mencari stopkontak. Lampu dihidupkan. Matanya langsung terpejam,beradaptasi dengan cahaya yang baru menerangi ruangan. Ia terhenyak,mendapati putri kecilnya yang tak berada dalam kamar. Ia tersadar. Ia melupakan putri semata wayangnya itu. Sesegera mungkin ia bergegas menemui suaminya yang tertidur lelap didalam kamar.

WWWWW

Mobil sedan itu dengan kecepatan tinggi melaju dalam kesunyian malam. Hujan semakin deras. Wanita setengah baya itu tak henti-hentinya menangis sedari tadi. Ia kalut. Kesalahan fatal telah dilakukannya. Suara petir menggelegar membelah malam yang terasa begitu senyap. setengah jam berlalu. Ban mobil yang terlebih dahulu berhenti,menimbulkan suara decitan yang keras. Berhenti tepat didepan gerbang yang tertutup rapat. Wanita itu berlari meninggalkan mobil. Sekuat tenaga berusaha menggoyangkan gerbang  agar gerbang yang berdiri kokoh itu sedikit memberikannya celah untuk bisa menemui putri kecilnya. Sia-sia. Gerbang itu terkunci rapat. Hanya bunyi gesekan gerbang yang menggema dilangit malam. Laki-laki paruh baya keluar dari mobil.

‘Percuma Ma.Gerbangnya tak akan terbuka..”Laki-laki paruh baya itu angkat bicara

“Harus terbuka Pa.Anak kita didalam sana…”Wanita itu teriak histeris menunjuk kedalam gerbang.Tampak sebuah bangunan besar yang suram,tak ada tanda-tanda kehidupan didalamnya.

Laki-laki paruh baya itu akhirnya mengalah. Dipanjatnya gerbang besar itu dengan hati-hati. Hujan semakin menjadi-jadi mengguyur kota. Laki-laki paruh baya itu tampak kewalahan. Gerbang semakin lama, semakin licin.

Tap! Laki-laki setengah baya itu melompat dengan pasti.

Ia berusaha menerawang bangunan yang berdiri di depannya. Gelap.Di terangi kilatan petir yang sesekali terlihat. Wanita tersebut mengangguk padanya. Ia mulai melangkah memasuki halaman bangunan.
“Dimana putri kecilnya berada?”hati kecilnya bertanya sedari tadi.

Ia mulai mengitari halaman sekolah. Satu langkah. Dua langkah. Samar-samar mendengar suara dengkuran. Ia mulai melangkah mendekat. Dengkuran itu terdengar semakin jelas. Ia terkejut. Mendapati seorang gadis kecil yang terbaring diatas bangku taman. Gadis kecil itu menggigil hebat. Matanya terpejam. Sesekali mulutnya berkomat kamit memanggil papa dan mamanya. Laki-laki tengah baya itu terisak. Diangkatnya gadis kecil itu dan secepat mungkin menemui istrinya yang telah menunggu diluar gerbang. Tubuhnya bergetar. Nafas tersenggal. Susah payah laki-laki setengah baya itu memanjat keluar dari gerbang.

Syuuttt..! Ia tergelincir.

Dengan sisa-sisa tenaga yang ada,laki-laki paruh baya itu bangkit kembali. Ia harus bersegera. Gadis kecilnya harus mendapatkan pertolongan secepat mungkin. Wanita setengah baya yang menunggunya dari luar gerbang tak kalah panik. Langsung didekapnya tubuh kecil putrinya itu erat. Dengan kecepatan tinggi,mobil sedan itu kembali membelah kesunyian malam  menuju rumah sakit.

Ω Ω Ω Ω Ω

Malam yang kutunggu-tunggu akhirnya datang. Pesta akan dimulai satu jam lagi. Aku dari tadi sibuk melihat diriku di depan cermin. Seorang gadis kecil memakai gaun ala bidadari,akan merayakan ulang tahunnya. Mama yang sedari tadi memperhatikanku akhirnya angkat berbicara.

“Bidadari kecil Mama udah cantik kok…Ayo kita keluar.Temen-temen kamu udah pada datang..”

Aku mengangguk dan mengikuti mama dari belakang.

Pesta berlangsung meriah. Semua orang tampak berbahagia dengan hari kelahiranku ini. Tapi bukan itu saja yang ku harapkan. Aku menuggu  kejutan yang akan diberikan papa dan mama. Mereka telah berjanji. Sebelum kejutan itu mereka berikan,sebuah keributan merusak suasana pesta ulang tahunku yang berlangsung bahagia. Keributan itu…Suara bentakan papa dan mama….Isakan mama yang terdengar begitu lirih….

Pandanganku mulai mengabur. Sebagian dari tamu yang datang,menatapku dengan wajah yang prihatin,atau hanya diam,tak ikut mengasihaniku.

“Papa…Mama udah nggak kuat lagi sama Papa…Papa keterlaluan..”

“Mama kira Papa betah sama Mama?”

Mama menarik nafasnya sejenak.Wajah putihnya memerah menahan amarah.

“Mama minta CERAI..!”

“Papa akan ceraikan Mama secepatnya..!!”

Aku terkejut .Jantung serasa akan berhenti berdetak. Aku sebenarnya tak begitu mengerti dengan kata-kata itu. Yang penting mama dan papa akan berpisah. Apakah ini kejutan papa dan mama katakan kemarin?Kenapa begitu menyakitkan?Tak adakah kejutan yang lebih baik dari pada ini?Sedikit saja.  Seperti setangkai lollipop?

Aku berlari menyusuri tamu yang datang. Aku tak peduli dengan suara mama ataupun papa yang memanggilku sejak tadi. Aku terus berlari. Air mata terus saja mengalir membasahi pipi tanpa bisa aku cegah. Aku ingin bertemu tuhan!Aku ingin meminta penjelasan kenapa hidupku berantakan seperti ini!

Sepertinya tuhan mendengar rintihanku. Tepat di penghujung jalan,sebuah mobil menghentikan waktuku. Aku melayang. Terbawa angin kedamaian.

Ω Ω Ω Ω Ω

Suara mobil ambulan mengaung-ngaung dalam kesuntukan malam. Berusaha menyelamatkan nyawa seorang gadis kecil yang tak berdosa. Baju wanita setengah baya telah basah oleh darah yang terus mengalir dari kepala gadis kecil yang berada dalam pangkuannya. Wanita itu menangis terisak. Melihat perih bidadari kecilnya itu.

Ω Ω Ω Ω Ω

Tiga operasi besar telah berhasil dilakukan. Gadis kecil itu tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia akan bangun. Hanya garis monitor detak jantung mulai bergerak normal menunjukkan bahwa ia masih sanggup untuk bertahan. Wanita dan laki-laki paruh baya itu hanya bisa berdo’a. Berharap akan kesembuhan putri kecil mereka. Dari tadi wanita setengah baya itu terus menangis dan sesekali tampak mengelus kepala putri kecilnya yang sudah tak berambut,menyisakan barut-barut kasar yang panjang,bekas jahitan operasi.

Tiga orang dokter datang memeriksa tiga hari pasca operasi terakhir. Mereka menjelaskan kepada wanita dan laki-laki setengah baya itu tentang perkembangan geger otak yang dialami putri kecil mereka. Dokter itu ragu memberikan presentasi harapan hidup,bahkan hanya untuk sekedar gadis kecil itu dapat membuka matanya. Wanita dan laki-laki setengah baya itu mengerti. Geger otak parah itu sangat membahayakan keselamatan putri mereka. Tapi,salahkah bila mereka berharap suatu hari putri mereka dapat hidup normal kembali,atau bahkan hanya untuk sekedar membuka mata saja?

          Ω Ω Ω Ω Ω

Tidak. Aku sama sekali tak tertidur sedikitpun. Aku memang tak bisa membuka mata,berbicara dengan mereka,tapi aku mendengarkan setiap detik percakapan yang mereka ucapkan. Aku dapat mendengar lirihnya isakan mama yang menangis disampingku,dokter yang seringkali datang memeriksaku,bahkan aku bisa mendengar dengan jelas cicak yang mendecit pada malam hari. Jujur saja. Aku membencinya. Aku tak dapat melakukan apa-apa disaat semua orang berharap akan kesembuhanku. Dan entah kenapa aku bisa mengeluarkan butiran bening air mataku tatkala papa dan mama bertengkar. Yang masih menjadi beban pikiranku sekarang adalah apakah papa dan mama sudah benar-benar berpisah atau belum. Sampai pada suatu hari. Kata-kata itu kembali terucap dari bibir mereka.

Wanita itu…yang pernah menemui papa ditaman bermain…Membuat keributan diantara waktuku yang paling berharga…Wanita itu,penghancur segalanya…

Kata-kata perpisahan kembali terucap tak terbantahkan. Menoreh perih di relung hatiku yang terdalam. Batinku terguncang,bersama kesadaran yang mulai melayang dari dari ragaku. Masih sempat terdengar oleh telinga mungilku teriakan mama yang memilukan. Dokter datang dengan segera menghampiriku. Mulai sibuk memasangkan alat terbaik rumah sakit. Ini sudah dalam ambang pengakhiran. Harus selesai sebelum waktu penentu datang menghampiri. Semua orang terdiam. Selesai. Semua kesadaranku sempurna melayang menembus tempat keabadian.

Tiiitt…
Tiit…
“Coba lagi dok”
Tiiittt…
“Sekali lagi dok,saya yakin akan berhasil”

Monitor pendeteksi detak jantung kembali bekerja,Menampakkan cekungan kecil yang bergelombang. 

Secercah harapan muncul dibalik semua kegelisahan. Walaupun tak sebaik yang diharapkan. Tak apa. Setidaknya harapan masih bersama memeluk segala kegundahan yang tertinggal. Dokter kembali bernafas lega. Walau dokter itu tau,kapan saja detak jantung gadis kecil ini bisa saja berhenti berdetak kapanpun yang ia mau,tanpa bisa dicegah. Itu semua takdir tuhan. Tak ada yang bisa menentang segala ketetapan yang telah tuhan berikan.
Ω Ω Ω Ω Ω

Aku senang berada disini. Gemericik air yang sejuk,angin sepoi-sepoi pembawa kedamaian,cicitan burung kutilang yang terbang silih berganti,dan kupu-kupu yang berterbangan mengelilingiku. Ini seperti dunia mimpi. Tak ada problema hidup yang terus membuatku harus berpikir lebih dewasa. Aku seperti merasakan diriku yang sebenarnya. Dan aku baru mengerti apa itu arti sebuah “masa kecil bahagia”.

Lima tahun koma pasca operasi..

Aku tak pernah kebosanan tinggal di tempat impian ini. Ada saja hal yang selalu membuatku terkagum-kagum dan betah untuk tinggal disini. Semuanya membahagiakan. Tiba-tiba sebuah suara menyapaku.

“Hai anak kecil,waktumu sudah habis.Kau boleh kembali..”Suara itu terdengar menyenangkan

“Aku tak mau kembali…Aku masih tetap ingin berada disini..”Jawabku,berharap

“Orang-orang telah menunggumu…Berharap kau kembali..”

“Aku tak mau kembali…Papa dan Mamaku akan berpisah..aku tak mungkin sanggup lagi untuk hidup..”rengekku

“Semuanya tak seperti yang kau bayangkan gadis kecil…Semuanya telah membaik”

“Benarkah?”

“Kau akan mendapatkan jawabannya”

Semuanya gelap dalam sekejap. Perlahan aku mulai membuka mataku. Bau obat-obatan langsung menyeruak dalam hidungku. Aku membencinya. Terlihat seorang wanita tengah baya dengan mata sembab menangis dan langsung berlari memanggil dokter. Seorang dokter dengan tergesa-gesa datang memeriksaku. Aku hanya menatap lemah semua orang yang berada dalam ruangan. Dokter itu menggelengkan kepalanya. Seutas senyuman menghiasi wajahnya. Dokter itu mengatakan bahwa ini adalah sebuah keajaiban. Seorang gadis kecil yang menderita geger otak parah dapat bertahan dalam koma yang begitu panjang. Semua orang berbahagia. Papa dan Mama serentak memelukku dengan air mata haru mereka. Aku menatap kedua orangtuaku dengan seksama. Lihatlah. Mata lelah itu…Kerutan yang tergurat mulai memanjang…Linangan air mata yang takut akan sebuah kehilangan…

Aku ikut menangis bersama mereka. Ya Tuhan,apakah aku terlalu lama meninggalkan mereka?Apakah aku terlalu jahat tertidur begitu lama sehingga membuat mereka terus menungguku tanpa sebuah kepastian?Aku benar-benar merasa telah berdosa membuat mereka menjadi seperti ini. Maafkan aku tuhan…Maafkan aku yang telah mencoba melupakan mereka. 
                                
“Jangan tinggalkan kami lagi nak..”

“Papa dan Mama sayang Mentari..”

“Maafkan kami karena telah membuatmu menderita seperti ini..”

Aku menghela nafas lega. Tuhan telah menjawab pertanyaanku. Dan aku baru saja belajar sesuatu tentang arti sebuah kehidupan. Jangan pernah menganggap bahwa Tuhan itu tak pernah mendengarkan rintihan yang kau ucapkan. Walaupun hanya angin yang dapat mendengar.




Tulisan yang dimuat adalah sepenuhnya milik penulis  risalah-online, bukan merupakan pernyataan dari risalah-online

No comments:

Post a Comment