Karya: Hanifa Denis
Lolongan anjing mulai
terdengar dari kejauhan. Lampu-lampu jalanan satu persatu dihidupkan untuk
menerangi gelapnya malam.
Remang-remang cahaya bulan ikut menemani suasana yang
terasa begitu sunyi. Aku terus berlari meninggalkan suara gemericik air
bercampur tanah yang disebabkan oleh sepatuku sendiri. Satu tujuanku. Aku ingin
bertemu tuhan. Aku ingin menuntut masa kecilku yang begitu berantakan. Aku
terus berlari,sesekali menghapus air mata mulai yang mengaburkan pandangan. Buuk..!Sebuah lubang
membuatku terjatuh.
Aku tersungkur. Menghadap
pada kesunyian malam. Kakiku sudah tak sanggup lagi untuk berlari,bahkan hanya untuk
melangkah. Tubuhku bergetar. Air mata mulai jatuh membasahi pipiku yang telah
kotor oleh becekan tanah. Tak ada yang peduli.
“Papa…Mama…kenapa
semuanya jadi begini?”hati
kecilku menuntut sebuah penjelasan.
Malam semakin larut,menampakkan
rasi bintang yang terlihat menakjubkan. Semilir angin sepoi-sepoi mulai menampar
halus wajahku. Seakan tuhan tak ingin melihatku bersedih. Seakan tuhan akan
mengakhiri penderitaanku.
Bruum.!!Sebuah mobil
menghentikan waktuku.
Aku melayang. Mengambang
diantara awan-awan. Tuhan akan memberikan
penjelasan.
Ω
Ω Ω Ω Ω
Namaku Mentari. Tapi,hidupku
tak seindah pelangi. Mereka bilang,ini hanyalah sebuah kesalahan dimasa lalu. Seolah-olah
akulah penyebab mama dan papa bersatu. Usiaku 5 tahun.Masa kecilku begitu
berantakan. Canda tawa begitu mahal dikeluargaku. Mama dan papa begitu sibuk
dengan urusan mereka. Dan aku harus bisa mengurus diriku sendiri.
Aku tumbuh dengan
cepat. Pola pikirku berkembang lebih dahulu dibanding usiaku. Waktu itu,umurku
1 tahun. Aku sudah pandai menunggu kepulangan mama dan papaku di ruang tamu. Mereka
terkejut ketika menemuiku terlelap disamping sofa. Papa marah kepada
mama,mengatakan pada mama bahwa mama tak bisa menjadi ibu yang baik bagiku. Mama
tak terima di marahi papa dan mengambil dalih bahwa papa terlalu sibuk dan tak
ada waktu untuk mengurusiku. Pertengkaran itu terjadi kembali. Tuhan menutup
telinga mungilku dan membiarkanku tertidur dengan tenang. Usai
pertengkaran,akhirnya papa mengangkatku menuju kamar.
Usiaku 3 tahun. Untuk
pertama kalinya mama dan papa mengajakku pergi ke tempat hiburan. Aku senang
bukan kepalang. Selama perjalanan,aku bernyanyi dan berjoget tak karuan ala anak
kecil. Mama dan papa hanya tertawa
melihat tingkah laku bidadari kecilnya itu.
Kami bermain bersama.
Petak umpet,pelosotan,kejar-kejaran. Sungguh,keluarga yang bahagia. Tiga puluh
menit lamanya kami bermain. Itu waktu termahal yang pernah aku miliki. Setelah
itu,papa menemui seorang wanita berpakaian rapi di tempat parkir. Mereka
berbincang-bincang dan sesekali tampak tertawa. Begitu akrab.Seolah telah
begitu lama mengenal antara satu sama lain. Setelah wanita itu pergi,mama
menemui papa dengan wajah yang tampak memerah. Ia mengatakan bahwa wanita itu yang terus membuat papa super
sibuk,tak ada waktu untuk makan siang bersama mama,tak mau menjemput mama,dan
segala hal lain yang tak dapat aku dengarkan secara jelas. Papa marah,tak terima
dengan tuduhan mama yang asal-asalan mengatakan papa seperti itu. Aku mundur
tiga langkah.Tak tahan dengan pertengkaran yang terasa menyakitkan bagiku. Air
mata mulai menganak di pelupuk mata. Aku menangis terisak. Mama melihatku dan
mengatakan bahwa papa telah membuatku
menangis. Usai pertengkaran itu,mama menghampiriku. Ia menghapus air mataku
dengan kedua tangannya,mengatakan bahwa ini akan baik-baik saja. Setelah
itu,mama mengajakku menuju mobil.
Aku meminta pada mama untuk
dimasukkan ke playgroup ketika usiaku 4 tahun. Aku mulai bosan dengan segala
pertengkaran yang bagiku terasa sangat memuakkan. Mama menyanggupinya. Seminggu
setelah itu,mama dan papa mengantarkanku sampai gerbang sekolah. Mereka
mengecup kedua pipiku dan berjanji akan menjemputku seusai sekolah berakhir. Aku
mengangguk,melambaikan tangan mengiring kepergian mereka.
Ternyata sekolah itu
menyenangkan. Aku memiliki teman-teman baru,dan guru-guru yang baik dengan
segala kasih sayang dari mereka. Dan disinilah aku,menunggu mama dan papa di
bangku halaman sejak satu jam yang lalu. Sedari tadi beberapa guru menawarkan
untuk mengantarkanku pulang. Aku menggeleng,menjelaskan dengan sopan bahwa mama
dan papa sudah bejanji akan menjemputku. Sekarang semua orang telah pergi. Menyisakanku
yang kebosanan menunggu kehadiran orangtuaku yang tak kunjung datang. Semilir
angin yang berhembus,membuat mataku tarasa berat. Akhirnya ku putuskan untuk
membaringkan badan dan tertidur.
WWWWW
Pukul 22.00 WIB
Mobil sedan hitam baru saja memasuki garasi. Tampak dua orang
yang keluar dari mobil begitu kelelahan. Wajah mereka kusut. Tampak jelas beban
pekerjaan yang mengganggu pikiran mereka. Pintu beberapa saat terbuka,sebelum
akhirnya tertutp kembali.
WWWWW
Pukul 02.00 dini hari
Rintik hujan mulai
membasahi bumi. Suara gemericiknya yang mengenai loteng rumah,membuat irama
melodi yang terdengar beraturan. Petir mulai menggelegar memekakkan telinga. Seorang
wanita setengah baya terbangun dari tidurnya. Ia mimpi buruk. Sesuatu terjadi
pada putri kecilnya. Ia langsung belari keluar kamar,menuju kamar yang berada
tepat disamping kamarnya. Pintu perlahan terbuka. Ruangan itu terlihat gelap. Hanya
cahaya petir yang sesekali menyambar,membantu penglihatan. Wanita itu meraba-raba
dinding,mencari stopkontak. Lampu dihidupkan. Matanya langsung
terpejam,beradaptasi dengan cahaya yang baru menerangi ruangan. Ia
terhenyak,mendapati putri kecilnya yang tak berada dalam kamar. Ia tersadar. Ia
melupakan putri semata wayangnya itu. Sesegera mungkin ia bergegas menemui
suaminya yang tertidur lelap didalam kamar.
WWWWW
Mobil sedan itu dengan
kecepatan tinggi melaju dalam kesunyian malam. Hujan semakin deras. Wanita
setengah baya itu tak henti-hentinya menangis sedari tadi. Ia kalut. Kesalahan
fatal telah dilakukannya. Suara petir menggelegar membelah malam yang terasa
begitu senyap. setengah jam berlalu. Ban mobil yang terlebih dahulu
berhenti,menimbulkan suara decitan yang keras. Berhenti tepat didepan gerbang
yang tertutup rapat. Wanita itu berlari meninggalkan mobil. Sekuat tenaga
berusaha menggoyangkan gerbang agar
gerbang yang berdiri kokoh itu sedikit memberikannya celah untuk bisa menemui
putri kecilnya. Sia-sia. Gerbang itu terkunci rapat. Hanya bunyi gesekan
gerbang yang menggema dilangit malam. Laki-laki paruh baya keluar dari mobil.
‘Percuma Ma.Gerbangnya
tak akan terbuka..”Laki-laki paruh baya itu angkat bicara
“Harus terbuka Pa.Anak
kita didalam sana…”Wanita itu teriak histeris menunjuk kedalam gerbang.Tampak
sebuah bangunan besar yang suram,tak ada tanda-tanda kehidupan didalamnya.
Laki-laki paruh baya
itu akhirnya mengalah. Dipanjatnya gerbang besar itu dengan hati-hati. Hujan
semakin menjadi-jadi mengguyur kota. Laki-laki paruh baya itu tampak kewalahan.
Gerbang semakin lama, semakin licin.
Tap! Laki-laki
setengah baya itu melompat dengan pasti.
Ia berusaha menerawang
bangunan yang berdiri di depannya. Gelap.Di terangi kilatan petir yang sesekali
terlihat. Wanita tersebut mengangguk padanya. Ia mulai melangkah memasuki
halaman bangunan.
“Dimana
putri kecilnya berada?”hati
kecilnya bertanya sedari tadi.
Ia mulai mengitari
halaman sekolah. Satu langkah. Dua langkah. Samar-samar mendengar suara dengkuran.
Ia mulai melangkah mendekat. Dengkuran itu terdengar semakin jelas. Ia terkejut.
Mendapati seorang gadis kecil yang terbaring diatas bangku taman. Gadis kecil
itu menggigil hebat. Matanya terpejam. Sesekali mulutnya berkomat kamit
memanggil papa dan mamanya. Laki-laki tengah baya itu terisak. Diangkatnya
gadis kecil itu dan secepat mungkin menemui istrinya yang telah menunggu diluar
gerbang. Tubuhnya bergetar. Nafas tersenggal. Susah payah laki-laki setengah
baya itu memanjat keluar dari gerbang.
Syuuttt..! Ia
tergelincir.
Dengan sisa-sisa
tenaga yang ada,laki-laki paruh baya itu bangkit kembali. Ia harus bersegera.
Gadis kecilnya harus mendapatkan pertolongan secepat mungkin. Wanita setengah
baya yang menunggunya dari luar gerbang tak kalah panik. Langsung didekapnya
tubuh kecil putrinya itu erat. Dengan kecepatan tinggi,mobil sedan itu kembali
membelah kesunyian malam menuju rumah
sakit.
Ω
Ω Ω Ω Ω
Malam yang
kutunggu-tunggu akhirnya datang. Pesta akan dimulai satu jam lagi. Aku dari
tadi sibuk melihat diriku di depan cermin. Seorang gadis kecil memakai gaun ala
bidadari,akan merayakan ulang tahunnya. Mama yang sedari tadi memperhatikanku
akhirnya angkat berbicara.
“Bidadari kecil Mama
udah cantik kok…Ayo kita keluar.Temen-temen kamu udah pada datang..”
Aku mengangguk dan
mengikuti mama dari belakang.
Pesta berlangsung
meriah. Semua orang tampak berbahagia dengan hari kelahiranku ini. Tapi bukan
itu saja yang ku harapkan. Aku menuggu
kejutan yang akan diberikan papa dan mama. Mereka telah berjanji. Sebelum
kejutan itu mereka berikan,sebuah keributan merusak suasana pesta ulang tahunku
yang berlangsung bahagia. Keributan itu…Suara bentakan papa dan mama….Isakan
mama yang terdengar begitu lirih….
Pandanganku mulai
mengabur. Sebagian dari tamu yang datang,menatapku dengan wajah yang
prihatin,atau hanya diam,tak ikut mengasihaniku.
“Papa…Mama udah nggak
kuat lagi sama Papa…Papa keterlaluan..”
“Mama kira Papa betah
sama Mama?”
Mama menarik nafasnya
sejenak.Wajah putihnya memerah menahan amarah.
“Mama minta CERAI..!”
“Papa akan ceraikan
Mama secepatnya..!!”
Aku terkejut .Jantung
serasa akan berhenti berdetak. Aku sebenarnya tak begitu mengerti dengan
kata-kata itu. Yang penting mama dan papa akan berpisah. Apakah ini kejutan
papa dan mama katakan kemarin?Kenapa begitu menyakitkan?Tak adakah kejutan yang
lebih baik dari pada ini?Sedikit saja. Seperti setangkai lollipop?
Aku berlari menyusuri
tamu yang datang. Aku tak peduli dengan suara mama ataupun papa yang
memanggilku sejak tadi. Aku terus berlari. Air mata terus saja mengalir membasahi
pipi tanpa bisa aku cegah. Aku ingin bertemu tuhan!Aku ingin meminta penjelasan
kenapa hidupku berantakan seperti ini!
Sepertinya tuhan
mendengar rintihanku. Tepat di penghujung jalan,sebuah mobil menghentikan waktuku.
Aku melayang. Terbawa angin kedamaian.
Ω
Ω Ω Ω Ω
Suara mobil ambulan
mengaung-ngaung dalam kesuntukan malam. Berusaha menyelamatkan nyawa seorang
gadis kecil yang tak berdosa. Baju wanita setengah baya telah basah oleh darah
yang terus mengalir dari kepala gadis kecil yang berada dalam pangkuannya. Wanita
itu menangis terisak. Melihat perih bidadari kecilnya itu.
Ω
Ω Ω Ω Ω
Tiga operasi besar
telah berhasil dilakukan. Gadis kecil itu tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa
ia akan bangun. Hanya garis monitor detak jantung mulai bergerak normal menunjukkan
bahwa ia masih sanggup untuk bertahan. Wanita dan laki-laki paruh baya itu
hanya bisa berdo’a. Berharap akan kesembuhan putri kecil mereka. Dari tadi
wanita setengah baya itu terus menangis dan sesekali tampak mengelus kepala
putri kecilnya yang sudah tak berambut,menyisakan barut-barut kasar yang
panjang,bekas jahitan operasi.
Tiga orang dokter
datang memeriksa tiga hari pasca operasi terakhir. Mereka menjelaskan kepada
wanita dan laki-laki setengah baya itu tentang perkembangan geger otak yang dialami
putri kecil mereka. Dokter itu ragu memberikan presentasi harapan hidup,bahkan
hanya untuk sekedar gadis kecil itu dapat membuka matanya. Wanita dan laki-laki
setengah baya itu mengerti. Geger otak parah itu sangat membahayakan
keselamatan putri mereka. Tapi,salahkah bila mereka berharap suatu hari putri
mereka dapat hidup normal kembali,atau bahkan hanya untuk sekedar membuka mata
saja?
Ω Ω Ω Ω Ω
Tidak. Aku sama sekali
tak tertidur sedikitpun. Aku memang tak bisa membuka mata,berbicara dengan
mereka,tapi aku mendengarkan setiap detik percakapan yang mereka ucapkan. Aku
dapat mendengar lirihnya isakan mama yang menangis disampingku,dokter yang
seringkali datang memeriksaku,bahkan aku bisa mendengar dengan jelas cicak yang
mendecit pada malam hari. Jujur saja. Aku membencinya. Aku tak dapat melakukan
apa-apa disaat semua orang berharap akan kesembuhanku. Dan entah kenapa aku
bisa mengeluarkan butiran bening air mataku tatkala papa dan mama bertengkar. Yang
masih menjadi beban pikiranku sekarang adalah apakah papa dan mama sudah
benar-benar berpisah atau belum. Sampai pada suatu hari. Kata-kata itu kembali
terucap dari bibir mereka.
Wanita itu…yang pernah
menemui papa ditaman bermain…Membuat keributan diantara waktuku yang paling
berharga…Wanita itu,penghancur segalanya…
Kata-kata perpisahan
kembali terucap tak terbantahkan. Menoreh perih di relung hatiku yang terdalam.
Batinku terguncang,bersama kesadaran yang mulai melayang dari dari ragaku.
Masih sempat terdengar oleh telinga mungilku teriakan mama yang memilukan. Dokter
datang dengan segera menghampiriku. Mulai sibuk memasangkan alat terbaik rumah
sakit. Ini sudah dalam ambang pengakhiran. Harus selesai sebelum waktu penentu
datang menghampiri. Semua orang terdiam. Selesai. Semua kesadaranku sempurna
melayang menembus tempat keabadian.
Tiiitt…
Tiit…
“Coba lagi dok”
Tiiittt…
“Sekali lagi dok,saya
yakin akan berhasil”
Monitor pendeteksi
detak jantung kembali bekerja,Menampakkan cekungan kecil yang bergelombang.
Secercah harapan
muncul dibalik semua kegelisahan. Walaupun tak sebaik yang diharapkan. Tak apa.
Setidaknya harapan masih bersama memeluk segala kegundahan yang tertinggal. Dokter
kembali bernafas lega. Walau dokter itu tau,kapan saja detak jantung gadis
kecil ini bisa saja berhenti berdetak kapanpun yang ia mau,tanpa bisa dicegah.
Itu semua takdir tuhan. Tak ada yang bisa menentang segala ketetapan yang telah
tuhan berikan.
Ω
Ω Ω Ω Ω
Aku senang berada
disini. Gemericik air yang sejuk,angin sepoi-sepoi pembawa kedamaian,cicitan
burung kutilang yang terbang silih berganti,dan kupu-kupu yang berterbangan
mengelilingiku. Ini seperti dunia mimpi. Tak ada problema hidup yang terus
membuatku harus berpikir lebih dewasa. Aku seperti merasakan diriku yang
sebenarnya. Dan aku baru mengerti apa itu arti sebuah “masa kecil bahagia”.
Lima tahun koma pasca
operasi..
Aku tak pernah
kebosanan tinggal di tempat impian ini. Ada saja hal yang selalu membuatku
terkagum-kagum dan betah untuk tinggal disini. Semuanya membahagiakan. Tiba-tiba
sebuah suara menyapaku.
“Hai anak
kecil,waktumu sudah habis.Kau boleh kembali..”Suara itu terdengar menyenangkan
“Aku tak mau
kembali…Aku masih tetap ingin berada disini..”Jawabku,berharap
“Orang-orang telah
menunggumu…Berharap kau kembali..”
“Aku tak mau
kembali…Papa dan Mamaku akan berpisah..aku tak mungkin sanggup lagi untuk hidup..”rengekku
“Semuanya tak seperti
yang kau bayangkan gadis kecil…Semuanya telah membaik”
“Benarkah?”
“Kau akan mendapatkan
jawabannya”
Semuanya gelap dalam
sekejap. Perlahan aku mulai membuka mataku. Bau obat-obatan langsung menyeruak
dalam hidungku. Aku membencinya. Terlihat seorang wanita tengah baya dengan
mata sembab menangis dan langsung berlari memanggil dokter. Seorang dokter
dengan tergesa-gesa datang memeriksaku. Aku hanya menatap lemah semua orang
yang berada dalam ruangan. Dokter itu menggelengkan kepalanya. Seutas senyuman
menghiasi wajahnya. Dokter itu mengatakan bahwa ini adalah sebuah keajaiban. Seorang
gadis kecil yang menderita geger otak parah dapat bertahan dalam koma yang
begitu panjang. Semua orang berbahagia. Papa dan Mama serentak memelukku dengan
air mata haru mereka. Aku menatap kedua orangtuaku dengan seksama. Lihatlah.
Mata lelah itu…Kerutan yang tergurat mulai memanjang…Linangan air mata yang
takut akan sebuah kehilangan…
Aku ikut menangis
bersama mereka. Ya Tuhan,apakah aku terlalu lama meninggalkan mereka?Apakah aku
terlalu jahat tertidur begitu lama sehingga membuat mereka terus menungguku
tanpa sebuah kepastian?Aku benar-benar merasa telah berdosa membuat mereka
menjadi seperti ini. Maafkan aku tuhan…Maafkan aku yang telah mencoba melupakan
mereka.
“Jangan tinggalkan
kami lagi nak..”
“Papa dan Mama sayang
Mentari..”
“Maafkan kami karena
telah membuatmu menderita seperti ini..”
Aku menghela nafas
lega. Tuhan telah menjawab pertanyaanku. Dan aku baru saja belajar sesuatu
tentang arti sebuah kehidupan. Jangan pernah menganggap bahwa Tuhan itu tak
pernah mendengarkan rintihan
yang kau ucapkan. Walaupun hanya angin yang dapat mendengar.
Tulisan yang dimuat adalah sepenuhnya milik penulis risalah-online, bukan merupakan pernyataan dari risalah-online
No comments:
Post a Comment