Oleh : Fadil Ahmadhia Warman, MA Ar Risalah
Tak ada yang lebih berharga di
dunia bagi Ray kecuali ibunya. Orang yang sabar dalam mengasuh ia sehingga Ray
bisa menjadi seperti sekarang ini. Tak ada raut wajah paling indah yang
dibayangkannya kecuali wajah ibunya.
Negeri yang indah dengan seluruh keindahan
alam yang terbentang luas. Langit malam yang bersih tak tersaput awam. Bintang
bertumpah ruah, membentuk berbagai rasi sebagai petunjuk
arah dan berbagai macam kegunaan.
Pemuda itu tak menghiraukan itu semua. Ia
hanya menatap kosong keindahan itu. Tak ada rasa takjub di benaknya. Ia
hiraukan burung yang bernyanyi, ah semua itu tak penting. Yang penting saat ini
adalah keadaan negeri yang semakin kacau. Kenyamanan telah melebur bersama
kesengsaraan orang-orang yang dianggap tak berguna. Menentang keinginan raja,
maka akan dipenggal. Menucapkan kata penolakan, dibunuh. Menolak aturan,
diasingkan. Hidup bagai di penjara. Dengan keadilan yang tak tahu entah kemana.
Ia membetulkan letak kacamatanya. Menatap alam nan luas namun tak adakah
penolong, orang yang akan merubah semua ini. Apakah semua raja itu sama?
Ia melompat, beranjak dari batu besar
tempat ia duduk. Berjalan mengikuti keinginan hati yang terfokus ke sebuah
rumah tua bergaya victoria. Meninggalkan jejak keresahan di antara rerumputan
yang dilaluinya. Memegang gagang pintu, melangkah masuk ke rumah itu. menyalami
seorang wanita tua yang telah lemah walau hanya untuk ke kamar mandi. Seorang
wanita yang mengasuh pemuda itu, mengandung tak kenal lelah. Sebuah mangkok
yang berisi makanan ia suapi untuk wanita tua itu, dengan seluruh kasih sayang
dan penghormatan. Ia kecup kening pemuda tadi, gurat wajah yang menunjukkan
kerasnya kehidupan. Sekarang senyuman itu telah memiliki banyak garis kehidupan
yang semulus dulu lagi. Penghormatan yang dilakukan pemuda itulah yang membuat
wanita tua tadi tetap bisa bertahan dengan segala kekurangan dalam dirinya.
“Bagaimana kerjaanmu, Ray?” Wanita itu
bertanya dengan rasa penasaran. Pertanyaan yang sama tiap Ray pulang dari rumah
tapi pemuda itu tak pernah bosan menjawabnya karena ia menganggap itu sebagai
doa dari ibunya agar ia bisa sukses dalam kehidupan ini.
“Alhamdulillah baik, bu.”
Ia merebahkan tubuhnya ke atas ranjang.
Terlelap dalam ayunan malam dan nyanyian bintang-bintang. Rembulan masih tetap
utuh menyinari setiap gelapnya malam. Memberikan penerangan bagi orang-orang
yang hanya berharap pada cahayanya. Udara dingin yang menusuk tulang. Tapi
pemuda itu tak merasakan dinginnya malam. Ia tetap tertidur dalam buaiyan.
Bermimpi indah, agar bisa ia ceritakan pada ibu tersayang.
***
Pagi telah menjelang. Burung-burung seakan
mengajak bernyanyi bersama mengikuti gerakan pepohonan yang sedang bahagia
karena mentari menepati janjinya untuk keluar di awal pagi. Tak seperti
manusia, yang kebanyakan hanya bisa mengingkar janji sehingga ada manusia lain
yang tersakiti karena itu. Bagaimana mungkin orang yang berbohong itu tahu
kalau ada yang sakit hati sedang ia tak mementingkan itu semua.
“Ibu, pagi yang indah. Bagaimana keadaanmu
di pagi ini?”
“Aku baik-baik saja anakku.” Senyum merekah
dari wajahnya. Berharap anaknya tak pernah berubah. Selalu menghormatinya
sampai ia tutup umur. “Kau ada kegiatan saat ini, anakku?”
“Iya bu. Aku mau melanjutkan pekerjaanku.”
“Ibu, ada suatu hal yang kuceritakan
padamu. Aku sudah lama menjalin hubungan dengan seorang wanita tapi kami tidak
pacaran. Aku akan tetap mengingat nasehatmu. Aku mau melamarnya. Bagaimana
menurut ibu?”
“Kalau kau tanya aku, terserah kamu.
Serahkan pada Yang Kuasa. Apapun pilihanmu maka itulah yang terbaik menurutmu,
nak. Aku percaya padamu.”
Ray merasakan kebahagiaan dengan jawaban
ibunya tadi. Selalu jawaban yang sama disaat ditanya hal lain. Terserah padaku.
Begitu besar kepercayaannya kepadaku. Aku tak akan menyia-nyiakan kepercayaan
yang dititipkan kepadaku.
Hari ini, Ray datang untuk melamarnya.
Menyatakan isi hatinya kepada ayah perempuan yang telah bertengger dalam diri
Ray.
“Bapak, saya ingin menjadikan anak bapak
sebagai pasangan hidup saya.” Tanpa grogi ia melafazkan itu.
“Apakah kamu yakin untuk itu? sudah
dipikirkan matang-matang, Ray?”
“Sudah, pak.”
“Kalau begitu mari kita dengar jawaban dari
Intan.” Semua mata menoleh kepada perempuan itu. “Intan, kamu setuju?”
“Aku sih setuju. Tapi aku ada syarat.
Dalam pernikahan kita nanti mohon ibumu tak diundang.” Semua orang di ruangan
itu terkejut. Tak menyangka itu keluar dari mulut manis wanita itu. Bagai petir
menembak kepala Ray. Tak mungkin ia tak mengikuti ibunya dalam acara yang
paling penting ini. Tak mungkin Ray melupakan wanita yang mengasuh dari kecil.
Membesarkan dengan seluruh usaha yang dimilikinya sehingga ia bisa menjadi
manager di perusahaan yang bergengsi di ibukota.
“Kalau itu syarat yang kamu berikan. Maka
aku tak jadi melanjutkan lamaran ini.” Ray berkata tegas. “Ibuku adalah
segala-galanya bagiku. Tak ada alasan menolak ibuku sebagaimana kamu memiliki
ibu.”
Ray pergi dari rumah itu. Berjanji tak akan
menginjakkan kaki walau sebentar saja. Duduk di taman kota. Menatap sunset yang
sebentar lagi akan digelar. Memandangi berbagai macam bunga dan burung elang
yang kembali ke kandangnya. Pertunjukan itu sedang dimulai. Nikmat yang tak
terkira, melihat pemandangan yang indah ini walaupun ia sudah berkali-kali
memandangi itu.
Di saat ia melihat sunset. Maka seluruh
pemikiran yang sedang menumpuk serasa hilang. Ia bisa menyegarkan jiwanya. Ray
beranjak, pergi menuju rumah. Seperti biasa, wanita tua itu telah menunggunya.
Ia tak tahu apa respon dari ibunya. Seorang wanita yang selama ini
didambakannya ternyata bukan orang yang cocok. Seluruh kecantikan dan
kebaikannya selama ini lebur bersama perkataannya tadi. Toh masih banyak wanita
lain yang bisa menjadi pasangannya.
Ray melangkah masuk. Melangkah menuju ibu.
Memegang tangan ibunya, dan tak tahu mengapa air mata bercucuran. Ibunya
mengelus lembut pipinya. Menghapus air mata, menghentikan alirannya.
“Nak, kau bisa cerita pada ibu.”
“Ibu, ternyata ia bukanlah wanita yang
baik. Ia meminta disaat pernikahan nanti ibu tidak datang.”
“Nak, andaikan kamu bahagia dengannya ibu
rela.” Wanita tua itu menangis. Tangisan haru dan syukur atas nikmat anak yang
berbakti ini. “Ibu rela Ray. Kalau kamu bahagia maka itu sudah cukup.”
“Tidak ibu. Engkau adalah orang yang
kuhormati dari dulu. Diriku ini adalah milikmu. Pantaskah aku melakukannya?”
Ibunya terus mengelus kepalanya. “Seberapa menawan wanita itu tapi ia tak bisa
menghormati ibu maka kecantikannya itu akan luluh. Tak ada tempat di hatiku
buat dia lagi. Ia tak menghormati ibu sama saja tidak menghormatiku sebagai
calon suaminya.”
“Sudah nak. Kamu memang anakku yang
berbakti. Aku berdoa untukmu semoga engkau mendapatkan yang lebih baik.”
Ibu dan anak itu saling berpelukan.
Tenggelam dalam tangisan. Memecah bisunya malam. Rembulan ikut bersedih. Begitu
juga dengan bintang. Mereka tak menampakkan diri. Jadilah ini malam yang gelap,
hanya diterangi oleh cahaya lampu beberapa watt. Kita tak tahu dengan skenario
Tuhan selanjutnya.
***
“Bagaimana lamaranmu, Ray.” Lelaki itu
bertanya. Direktur perusahaan yang telah mengizinkan ia cuti sehari untuk
melamar wanita itu.
“Gagal pak. Ia bukanlah wanita yang cocok
buatku.” Ray melempar senyum kepada lelaki dengan gurat wajah yang telah
merasakan getirnya kehidupan ini.
“Kau tahu yang terbaik buatmu, Ray. Semoga
dapat pengganti yang lebih baik.”
“Terima kasih, pak.”
Ray, dengan tekun melanjujkan pekerjaannya
yang terpotong dengan sedikit percakapan tadi. Itu adalah salah satu bentuk
perhatian yang diberikan atasannya. Ia tetap menghargai itu. Tentunya kejadian
itu tak akan menganggu ia dalam keseharian maupun pekerjaannya. Fokus dan disiplin
adalah modal utamanya.
“Bapak Ray, bagian SDM menyuruh memberikan
surat ini untuk Anda.”
“Terima kasih ya.”
Ray menerima surat yang terbungkus rapi di
dalam amplop coklat. Ia membuka dan membacanya. Ray, karyawan paling disiplin
mendapatkan kesempatan untuk belajar bahasa asing di Pare. Ini adalah salah
satu penghargaan yang diberikan perusahaan bagi karyawan yang telah mengabdikan
dirinya. Dulu disaat ia tengah sibuk bekerja, direktur perusahaan ini
mendatanginya. Bertanya tentang apa yang diinginkannya. Lalu ia menjawab agar
bisa belajar bahasa inggris agar ia bisa berhubungan dengan orang asing tanpa
perlu penerjemah. Maka sekarang adalah realisasi atas keinginannya tersebut.
Tak ada kerugian yang diperoleh perusahaan ini jika mereka melakukan itu. keuntungan
yang mereka dapatkan karena akan banyak klien yng datang dari luar negeri untuk
menjalin kerjasama dengan perusahaan ini karena managernya sudah bisa berbahasa
inggris.
Ray, beranjak dari kursinya. Berlari menuju
kantor SDM. Melangkah masuk, lupa mengucapkan salam karena saking gembiranya.
“Bapak, terima kasih atas semua ini. Saya
amat senang dan bersyukur.”
“Tak perlu berterima kasih kepada saya. Ini
sudah menjadi kebijakan perusaan. Bapak direktur yang langsung memilihmu Ray.
Kamu memang pemuda yang berbakat dan menghargai atasanmu.”
“Kamu bisa pergi ke Pare minggu depan.”
Senyum merekah dari pipi Ray. Bahagia atas
nikmat yang dianugerahkan kepadanya. Mulutnya tak berhenti dari mengucap
syukur. Ia tak sabar menceritakan semuanya kepada ibunya. Tapi, apakah ibunya
akan senang bahwa beliau akan ditinggalkan selama 4 minggu, buat ia belajar di
sana?
Ia pergi mendatangi direktur, Bapak Alex.
Memohon agar ibunya diizinkan untuk ikut. Ia ketok pintu sambil mengucapkan
salam. Terdengar sahutan yang mempersilahkan ia masuk.
“Ray, ada apa? Apakah kamu senang dengan
penghargaan yang kami berikan?”
“Iya pak. Saya amat senang dan berterima
kasih kepada bapak. Tapi pak....”
“Ada apa Ray? Jangan malu untuk
mengatakannya kepada saya. Jika saya bisa, saya akan bantu itu.”
“Pak, saya menolak hal ini. Saya tak bisa
pergi.”
“Mengapa Ray? Kau bisa konsultasi denganku
dulu.”
“Begini pak, saya memiliki seorang ibu di
rumah saya. Hanya saya seorang yang mengurus beliau. Saya tak bisa pergi dengan
meninggalkan ibu saya. Maka dari itu, saya lebih memilih menolak ini.”
“Ray, kamu tak perlu menolak ini. Saya akan
memberangkatkan ibumu bersamamu. Kami yang akan membiayainya. Jadi, kamu harus
tetap melaksanakan ini.”
“Benarkah pak?”
“Apakah perkataan saya masih kurang jelas?”
“Terima kasih pak. Kebaikan Anda tak akan
saya sia-siakan.”
***
Banyak pengalaman yang didapat Ray semenjak
belajar di Pare. Ia dengan mudah berbicara dengan klien yang berasal dari luar
negeri. Produksi perusahaan ini meningkat, makin banyak klien yang tak hanya
dari dalam negeri tapi juga dari luar negeri. Bandara terbaru di distrik 8 juga
proyek dari perusahaan tempat Ray bekerja.
Jabatannya juga semakin naik, sekarang ia
adalah wakil direktur. Direktur telah memercayainya sebagai wakilnya. Wakil
yang dulu telah tutup waktu di dunia ini. Walaupun begitu, tapi baktinya kepada
ibunya tetap sebagaimana saat Ray manager dulu. Ia juga sudah mendapatkan
pengganti wanita yang dulu pernah dilamarnya. Seorang wanita yang berbakti kepada
Ray maupun ibunya. Wanita yang selalu menjaga auratnya. Zahra. Sekarang mereka
akan membangun rumah tangga bersama ibunya.
Tulisan yang dimuat adalah sepenuhnya milik penulis risalah-online, bukan merupakan pernyataan dari risalah-online
No comments:
Post a Comment