Friday 27 January 2017

Teh Talua dan Sebuah Percakapan (Cerpen)

Al Hafidh Ramadhan

“Segala sesuatunya diawali dengan sebuah pertemuan.” Kau mulai bercerita, bibirmu yang kering dan berkerak bergerak malas.

“Baru kemaren rasanya. Laki laki itu datang, saat itu aku sedang membantu Apak membuat teh talua di kedai domino depan rumah, siang itu terik, sangat panas, bahkan rasanya lebih panas dari air panas menggelegak yang kucampurkan dengan bubuk teh, dan ku tuang ke dalam segelas kuning telur yang ku kocok hingga memutih.” Engkau menghela nafas, merapikan kerudung putihmu yang tak lagi putih.


“Mungkin kau bingung, mengapa aku menggunakan perumpamaan itu. Ya, apalah yang diketahui seorang gadis kampung tak lulus SMA yang hanya bisa membuat teh talua di kedai Apaknya, selain teh talua itu sendiri.” Bibirmu sedikit terangkat, menambah keriut di wajah lelah penuh debu milikmu.

“Saat itulah pertama kali aku melihat laki laki itu. Ia hanya duduk diam di pojok kedai. Tenang, sangat kontras dengan kebisingan yang diciptakan bapak bapak tambun bersinglet yang tertawa dan membanting domino tak jauh dari tempatnya duduk. Dan ketenangan yang dihadirkannya membuatnya tampak mencolok dan menarik.” Tertangkap secercah perasaan yang terlintas di wajahmu. Dulu, aku dapat menjumpainya di mata bening cokelatmu, yang kini tergantikan oleh rongga kosong yang terkatup.

“Laki laki itu tampak lusuh. Bajunya, celananya, rambutnya, bahkan wajahnya tampak lusuh dan berdebu. Tapi, ada satu hal dari laki laki itu yang menarik perhatianku.” Engkau menghela nafas,menggantungkan kata di udara.

“Mata hitam yang dalam dan terjamah. Yang terlihat sendu saat itu.” Hening. Entah mengapa hanya keheningan yang dapat kutangkap di tengah keributan dan carut marut pasar yang sesak dan menyesakkan.

“Hari hari indah itu terus berlanjut, laki laki itu terus datang. Jam dua lewat lima, tak pernah terlambat, tak juga terlalu cepat. Ia selalu duduk di pojok, selalu memesan segelas teh talua, selalu berpakaian lusuh, selalu termenung, dan selalu tampan.” Keriuhan mengunjungi setiap sudut pasar raya, menyulap lapak lapak dagang dengan tawar menawar dan senda gurau, kehidupan terasa ramai dan menyenangkan. Tapi, keriuhan itu lupa mengunjungi sebuah meja di pojok lapau dua meja milik Mak Itam. Hanya ada kau, aku, dan dua piring bekas lontong gulai yang teronggok sepi.

“Minggu pertama, hanya ada senyum dan tatapan canggung, minggu kedua, kami bertukar senyum dan sapaan, minggu ketiga, kami berbagi keluh dan kesah, dan di minggu keempat...” engkau terdiam, dapat kubayangkan mata kosongmu menerawang, mengunjungi kembali sebuah tempat, dan suatu masa.

“Ia menawarkanku sebuah pernikahan.” Tangan keriputmu bergerak, menyentuh jari manis tangan kirimu, dapat ku bayangkan, dulu kau menyarangkan cincin perkawinanmu disana.

“Mungkin kau tak habis pikir, bagaimana bisa orang yang baru sebulan bertemu memutuskan untuk menikah, bahkan tanpa pikir panjang dan persiapan. Aku juga bingung, tapi, apalah yang dapat dilakukan seorang gadis yang terlenakan oleh cinta. Ya, aku menerima tawaran yang diajukannya.” Butiran butiran keringat mulai timbul di pori pori wajahmu, dapat kulihat baju penuh debu dan kotoran yang kau kenakan lembab akibat peluh. Diluar tenda kecil ini, matahari menguliti setiap pengunjung pasar yang terjemur. Kupesankan dua gelas teh talua, satu untukku, dan satu untukmu, pada Mak Itam yang yang sibuk dengan piring kotor dan sebaskom air.

 “Ternyata segala sesuatu tak selalu berjalan indah. Apak tak mengizinkan perkawinan kami, alasannya?. Alasan klasik. Uang. Laki laki itu adalah seorang kuli bangunan, gaji seorang kuli tak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sebagi anak semata wayang, wajarlah bila Apak mengatakan hal itu, Apak harus mencari menantu yang layak, mencari menantu yang pantas. ” Mak Itam beranjak dari piring piringnya, menyibak gorden, dan mengambil sebutir ayam kampung, tangan tuanya mengambil sendok, dan memukul pelan pucuk telur, menghasilkan lubang kecil di ujung telur, diambilnya cangkir palstik kecil, dan menuangkan putih telur kedalamnya.

“Jujur, aku tahu Apak benar, dan sebagai seorang anak, tak pantas rasanya aku membantahnya, tapi, aku bersikeras, berusaha membujuk Apak, meminta, dan memohon padanya. Kata orang, cinta itu butuh pengorbanan, dan kurasa, yang kulakukan adalah sebuah pengorbanan. Sampai, satu hari, Apak marah besar, dan menyuruhku memilih, antara Apak, atau laki laki itu.” Mak Itam selesai mengeluarkan putih telur, diambilnya gelas kaca, merobek cangkang telur itu lebih besar, dan menuangkan bagian kuningnya ke dalam gelas. Dapat kulihat, Mak Itam memasukkan tangannya ke dalam gelas, mengambil pecahan cangkang yang tak sengaja masuk ke gelas , dan mengelap tangannya di pada daster berenda yang ia kenakan.

“Setelah kejadian itu, aku tak lagi membicarakan hal itu pada Apak, saat ku bertanya pada Amak, yang terbaring sakit di kasur, perempuan tau itu hanya menggeleng pelan, Amak tidak bisa melakukan apa apa, segala keputusan berada di tangan Apak, sebagai kepala rumah tangga, dan satu satunya laki laki di rumah. Dan sejak saat itu, aku mencoba untuk berhenti berharap.” Mak Itam menyalakan mixer, menghasilkan dengung mesin yang berputar, dan mulai mengaduk gelas yang berisi kuning telur dan campuran dua sendok gula pasir.

“Sampai laki laki itu datang, kembali duduk di tempat yang sama, memesan minuman yang sama, tapi, kali ini, laki laki itu membawa kabar yang berbeda. Ia mengajakku merantau, meninggalkan kampung, dan tinggal di padang, tabungannya sudah cukup untuk setidaknya ongkos, dan biaya kontrak rumah beberapa bulan, ujarnya kali itu.”Mak Itam meninggalkan dua gelas  kuning telur yang telah memutih, dan berbusa. Tangan tuanya merendam bubuk teh, dengan air panas dari termos plastik berwarna merah.

“Tiga hari aku berpikir, memperhitungkan segalanya, kubayangkan diriku seperti putri dalam dongeng dongeng lama. Dalam kisah itu, putri itu menjumpai pangeran, jatuh cinta, dan memutuskan untuk menikah, tapi, sang raja tak merestui, hingga akhirnya sang putri memutuskan untuk pergi bersama pangeran tampan pujaan hatinya, dan di akhir kisah itu, mereka hidup bahagia selamanya. Dan tepat di hari ke tiga, aku memutuskan untuk pergi.”  Mak Itam meletakkan saringan teh di bibir gelas yang berisi telur, dan menuangkan cairan teh yang tadi direndamnya ke gelas tersebut. Dapat kulihat cairan putih yang berbusa itu naik ke permukaan, dan berhenti tepat sebelum tumpah.

“Hari itu, Apak tak lagi marah,ia hanya diam, seolah tak peduli, padahal dapat kulihat kegetiran yang mendalam di mata tuanya. Tapi, saat itu tekadku telah bulat, dan aku tak akan mundur. Aku pamit, menyalami Apak dan Amak. Mungkin bukan keputusan yang tepat, tapi aku tetap berangkat, membawa segunung harapan, dan rasa bersalah yang sama besarnya. Kata orang, cinta itu butuh pengorbanan.” Mak Itam membuka kulkas, mengambil susu kental cokelat dan jeruk nipis, di tuangkannya susu cokelat, dan dipotongnya jeruk nipis tipis, dan mencipratkan sedikit airnya ke atas teh talua. Supaya tidak terlalu amis, katamu dulu.

“Di padang, kami mulai menjalani hidup, langkah, demi langkah. Laki laki bermata dalam itu telah menjadi suamiku, dan kami mengontrak rumah kecil tak jauh dari pasar raya ini, bulan bulan awal dapat terjalani dengan tabungan laki laki itu yang semakin lama semakin tipis, hingga ia mendapat sebuah pekerjaan, ia bekerja sebagai supir angkot. Gajinya tidak besar, memang. Tapi, setidaknya  cukup untuk makan, dan sewa rumah.”  Teh talua itu kini terhidang di hadapanmu, busanya sedikit melimpah, membasahi piring putih kecil yang mengalasi minuman itu, dapat ku hirup aroma teh, serta sedikit bau amis yang menguar.

“Ternyata kehidupan tak sesempurna kisah dongeng dongeng lama, hari demi hari berjalan bahagia dan sederhana, hingga suatu hari aku mendapati diriku hamil. Seperti semua keluarga, kami bahagia mendengarnya, karna sebuah keluarga dapat dikatakan sempurna dengan hadirnya seorang anak. Tapi, sebuah kehidupan memiliki harganya sendiri, dan bagi keluarga kecil kami, harga itu sangatlah mahal. Sejak saat itu, laki laki itu mencari pekerjaan yang lebih layak, mencari, dan terus mencari.” Tanganmu meraba raba, mencari segelas teh talua yang terhidang di atas meja kayu beralas karpet plastik cokelat bermotif kotak kotak. Tanganmu berhenti sesaat setelah membentur gelas, dan menumpahkan sedikit isinya ke atas meja. Kau mulai minum, teguk demi teguk, kau berhenti pada teguk ketiga. Meletakkan gelas yang tinggal setengah ke atas meja, dan mengelap busa telur di bibirmu dengan ujung kerudung lusuh yang kau kenakan.

“Suatu hari ia pulang, membawa sebuah cerita tentang uda Buyuang dan jakarta, cerita tentang uang, dan pekerjaan, cerita tentang perantauan. Dan di akhir ceritanya, sebagai penutup, ia memohon izin dan restuku untuk pergi merantau ke Jakarta.” Kucicipi segelas teh talua yang terhidang. Hangat, ada rasa manis, asam, dan sedikit amis. Tidak seenak punyamu dulu, pikirku, kuseka busa putih kekuningan yang tersangkut di kumis tebalku.

“Saat itu kandunganku telah berumur tujuh bulan, dalam lubuk hatiku yang terdalam, aku sama sekali tak menginginkannya pergi, bagaimana cara aku mengurusi diriku dan kehamilanku yang sudah sebesar bola kaki. Tapi, demi mata hitam yang dalam itu, aku mengalah. Kata orang, cinta itu butuh pengorbanan. ” kau tampak haus, kutuang teh talua di gelasku, ke gelasmu, membuatnya penuh kembali.

“Anak kami lahir tanpa kehadiran seorang ayah, laki laki berata dalam itu tak kunjung kembali. Namanya Ainul,  anak yang cantik, tapi, kisah hidupnya tak secantik paras dan budinya, sejak masih bayi, rasanya ia tak pernah mencicipi kehidupan yang layak, baik materi maupun kasih sayang. Satu per satu barang yang kami miliki tergadai agar dapat hidup dan bernafas, di mulai dari cincin perkawinan, hingga tak ada lagi yang dapat tergadai. Dan pada akhirnya, kami terpaksa tidur beralas kardus.” Tanganmu meraih gelas, kau tak lagi perlu meraba raba, kau masih ingat dimana kau meletakkannya tadi. Kau sedikit kaget, menyadari gelasmu yang terasa lebih berat, tapi kau urung bertanya , dan tetap meneguknya, kau berhenti pada teguk kedua.

“Ainul tidak tumbuh seperti anak anak lainnya, ia hidup di lingkungan kumuh di sudut sudut pasar raya. Aku tak mengajarinya matematika, tapi aku mengajarinya kata kata dusta. Agar dapat makan, kami harus berbohong, aku berpura pura seperti orang buta, membawa tongkat dan ember plastik ke mana mana persis seperti yang kau lihat saat ini, sedangkan Ainul berpura pura menjadi pambimbingku. Bersama, kami mengunjungi kedai demi kedai di pasar raya ini, menukarkan dusta dan doa doa dengan kepingan rupiah. ” Kuseruput teh talua yang tersisa di gelas, menghabiskan airnya, meninggalkan jejak jejak busa di sisi dalam gelas itu, dan meletakkannya kembali di atas piring kecil. Kelezatan teh talua hanya dapat kau temukan saat masih hangat, ujarmu dulu.

”Rutinitas itu berlangsung setidaknya dua tahun. Hingga suatu sore menjelang maghrib, hari itu, dusta kami tak lagi laris, hanya ada empat keping uang seribu, lima keping uang lima ratus, dan puluhan uang seratus. Kami berjalan cukup jauh, tak lagi di lingkungan pasar raya. Senja yang sepi dan menenangkan, hingga, sebuah mobil yang melaju kencang merenggut semuanya dariku.” Tangan kananmu bergerak gerak gugup, mengelupas karpet plastik yang mengalasi meja kayu.

“Sejak saat itu, semuanya tampak hampa dan tak bernyawa, tak ada lagi Apak, tak ada lagi teh talua, tak ada lagi laki laki bermata dalam, dan yang paling kusesali, tak ada lagi Ainul. Dan sejak saat itu, aku tak lagi percaya pada kata orang yang berkata cinta itu membutuhkan pengorbanan.” Kau menghela nafas, tubuhmu bergetar, kau ambil teh talua di atas meja dan menenggaknya sampai habis. Kau menghabisinya dalam empat teguk.

“Dan sejak saat itu, aku tak memiliki apa apa selain tongkat, dan ember plastik ini, aku bahkan tak memiliki bola mata untuk sekedar mengeluarkan air mata.”tanganmu bergerak, meraba tempat duduk kayu di samping kirimu, dan menemukan tongkat, dan ember plastikmu di sana.

“Sedih bukan? Kau boleh tidak percaya atas semua yang kuceritakan, aku tidak menuntutmu untuk percaya, terima kasih untuk lontong dan teh teluanya, semoga kebaikanmu dibalas oleh Tuhan.” Kepalamu menunduk berkali kali, kau mulai berdiri, tanganmu menggerak gerakkan tongkat, mencari celah di antara kursi dan meja, gerakanmu terhenti saat tangangku memegang tanganmu.

Kau terlihat bingung, dan berusaha melepaskan diri, tapi tanganku jauh lebih kuat dan akhirnya kau menyerah. Kuarahkan tangan kananmu menyentuh wajahku.

Tanganmu bergerak, mulai meraba, menyentuh hidung, kumis, pipi, bibir, dahi, tanganmu tehenti, kulihat sekilas raut wajah kaget dan tak percaya disana, tanganmu kembali bergerak, mencoba memastikan, dan terus meraba, hingga kau menyadari sesuatu dan meyakininya. Tanganmu bergetar. Aku tak dapat mengartikan ekspresi yang kau tampilkan di wajahmu, ada rindu, luka, benci, kaget, bingung, takut, entahlah. Terlalu kompleks untuk dapat kumengerti.

Kau berlari, menabrak kursi kayu, dan terjatuh, menjatuhkan ember birumu, dan menyerakkan recehan di dalamnya, kau berdiri lagi, dan mencoba berlari, tapi kau kembali terjatuh, tersangkut tongkat kayumu sendiri, kau mencoba berdiri lagi, tapi terlambat, tanganku telah sempurna memeluk erat tubuh kecilmu.

Kau mencoba meronta, memukul, menendang, dan menjerit. Orang orang yang berlau lalang berhenti sejenak, hanya sekedar mengambil gambar, atau mendengus jijik. Di dalam kedai dua meja ini hanya ada kau, aku, dan Mak Itam yang mematung di pojok.

Kau terus meronta.

Butuh enam menit untuk akhirnya kau menyerah, dan larut dalam pelukan. Membiarkan diriku memelukmu, membiarkanku menghirup aroma sampah, keringat, dan kotoran dari tubuh kurusmu yang bergetar. Di dadaku, kau menumpahkan segalanya, luka, rindu, benci, semuanya. Tapi, kau lupa menumpahkan sesuatu. Air mata.


Hari itu mengajariku satu hal : terkadang, kau tidak membutuhkan air mata untuk dapat menangis.



Tulisan yang dimuat adalah sepenuhnya milik penulis  risalah-online, bukan merupakan pernyataan dari risalah-online

No comments:

Post a Comment