Tuesday 31 January 2017

Ingin Pulang (Cerpen)


     Gesekan rerumputan nyanyikan kisah sendu. Bunga dandelion terbangkan penyesalam. Hembusan dingin putri angin bekukan suasana. Bisakah ku ulang semuanya?

***
      Tak ada rembulan yang muncul. Hanya beberapa bintang yang menggantung dilangit malam. Udara malam ini cukup hangat. Terbangkan kerindua dalamku.
      Sudah hampir setengah jam aku menunggu. Namun, tak ada panggilan yang masuk. Kemana Ayah? Apakah Ayah lupa menelfonku malam ini?   
      "Meong..... meong...." segera aku mengankat telfon. Bukan, itu bukan suara kucing. Suara itu adalah nada dering telepon asramaku.
      "Assalamualaikum, Ayah!" salamku dengan nada girang.
      "Waalaikumsalam...." jawab Ayah dengan tenang.
      "Ayah bagaimana kabarnya?"
      "Alhamdulillah, sehat. Ohokk..." terdengar suara batukkan diseberang sana.
      "Ayah kenapa?" tanyaku  cemas.
      "Tidak, Ayah tersedak. Ada apa?"
      "Ayah, bulan ini aku pulang, kan?"
      "......" tak ada jawaban. Jantungku berdegup kencang. Apa jawabannya?
      "Tidak." Jawab Ayah singkat, padat, dan jelas.
      Mataku membulat tidak percaya. Mengapa ini jawabannya?
      "Ayah, sudah hampir 5 tahun aku tidak pulang kerumah. Setiap triwulan, aku jadi penunggu asrama. Apakah Ayah tidak rindu denganku?"
      "Ada lagi, tidak? Ayah akan segera menutup telfon." tanggap Ayah datar.
      Aku terdiam. Satu bulir air mataku berhasil jatuh. Perlahan, ku hirup nafas untuk menenangkan diri.
      "Baiklah, tidak ada lagi. Terima kasih, Ayah. Assalamualaikum....."
      "Waalaikumsalam..... Tiit... Tiit......"
      Selalu begini akhirnya. Aku ingin sekali pulang. Aku rindu dengan Ayah, bang Ahsan dan Taufiq. Kapan aku akan bertemu mereka?
***
      Pagi ini terasa hangat. Mentari pancarkan sinar lembutnya. Burung-burung bersenandung riang. Hari ini hari yang bahagia bagi seluruh penghuni asrama.
      Banyak santri yang berjalan bersama orang tuanya. Tawa bahagia terpancar jelas. Ada yang bahagia karena menjadi juara kelas, ada yang bahagia karena akan pulang, bahkan ada yang bahagia karena tidak kembali lagi, sebut saja "pindah".
      Sedangkan aku? Dari balik jendela aku menatap iri pemandangan pagi ini. Laporan pengasuhan dan laporan pendidikan sudah ada dipangkuanku. Tidak seperti mereka yang mengambil rapor bersama orang tua.
      "Sudahlah, kamu tak usah bersedih, Ulfah. Bisa jadi, karena rumah mu yang jauh dan Ayahmu sedang sibuk bekerja sehingga ia tak bisa menjemputmu. Ia akan menjemput dihari kelulusanmu dari 'aliyah." Hibur ustadzah Siti merangkul hangat tubuhku.
      Aku hanya diam tak berkutik. Ku pandang pasrah wajah ustadzah Siti. Aku tak bisa beranggapan seperti itu.
       "Dari pada bersedih, lebih baik kamu berinteraksi dengan Al Qur'an. Ia adalah pengobat hati. Ingat! Kamu harus tetap semangat. Beberapa lembar lagi kamu akan selesai menghafal Al Qur'an 30 juz. Ingat, Ulfah! Jadi HAFIDZAH!" pesan ustadzah Siti tersenyum yakin.
      Semangatku berkobar. Jika teman-teman yang lain berlibur bersama keluarga mereka, aku berlibur bersma Al Qur'an.
***
      "Shadaqallaahu'azhiim..." akhirku dengan tenang.
      Ustadzah Siti memelukku erat. Air mata kebahagian meluncur dipipinya. Akhirnya, aku telah selesai menghafal Al Qur'an 30 juz.
      "Alhamdulillaahirabbil'aalamiin... barakallaahufik! Ulfah, dijaga hafalannya, ya! Jadilah Hafidzah yang berakhlak Al Qur'an!"ucap ustadzah Siti penuh kebahagiaan/
      Alhamdulillah, salah satu cita-citaku menjadi kenyataan. Terima kasih, Ya Rabb! Mudahkanlah menjadi penjaga kitab-Mu Ya Allah!
      "Assalamualaikum..." salam itu membuatku tersentak.
      "Waalaikumsalam...."
      Perlahan aku mendongak kesumber suara. Seorang lelaki yang cukup familiar berdiri diambang pintu.
      "Bang Ahsan?" spontan aku berlari menuju ambang pintu. Sudah lama aku tak bertemu dengannya, sudah hampir 6 tahun. Sejak ia kuliah di Bandung.
      "Cepatlah, Ulfah! Waktu kita tak panjang!" desak Bang Ahsan kalut. Setelah berpamitan, banh Ahsan menarikku menuju motor bebeknya.
      "Kita mau kemana, Bang?"
      "Kita akan pulang. Pegangan yang erat! Perjalanannya sedikit mengerikan." Pesan bang Ahsan menghidupkan motor bebeknya. Aku menurutinya segera. Motor pun melaju meninggalkan asramaku.
***
      Setelah 6 jam perjalanan, tujuanku sudah berada didepan mata. Disekitar rumahku anyak orang berkerumun. Ada apa ini? Mengapa sendu sekali rasanya?
      Perasaan risau menyelimutiku. Segera aku berlari menerobos kerumunan orang, memasuki rumah dengan kristal air mata yang berterbangan.
      Kilat serasa menyambarku kejam, bumi menelanku bulat-bulat, dan ombak dipantai menggulungku tanpa ampun.. Apa ini? Mengapa Ayah dibalut kain kafan?
      "Innalillaahi wa innailaihirooji'uun... Kamu harus tabah Ulfah!" ujar bang Ahsan mengelus bahuku lembut.
      Aku mengulangi kalimat yang diucapkan Bang Ahsan. Bendungan air mataku jebol, tak tahan menahan kesedihan.
      "Ayah meninggal karena TBC kronis yang dideritanya. Ayah tak pernah bercerita padaku. Syukurlah, Taufiq tidak tertular. Ayah selalu menutup mulutnya ketika ia batuk." Jelas bang Ahsan dengan nada berusaha tegar. Aku hanya diam dalam kesedihan. Ayah, mengapa kau begitu cepat pergi?
***
      Sore ini begitu buram. Dunia turut berduka akan kepergian Ayah. Aku tetap berusaha tegar. Tak ada gunanya menangisi kepergian seseorang. Ia takkan kembali.
      Bang Ahsan duduk tepat disisiku. Ia juga bersedih karena kepergian Ayah. Ia adalah orang yang paling dekat dengan Ayah. Tapi ia berusaha terlihat tegar.
      "Ulfah, kamu tahu mengapa Ayah tak menjemputmu pulang?" tanya bang Ahsan lirih. Aku menggeleng lesu.
      "Ayah tak ingin uangnya terbuang untuk menjemputmu pulang. Kamu tahu,kan, jarak rumah dengan sekolahmu cukup jauh? Jika setiap triwulan Ayah menjemputmu, uangnya akan habis untuk membeli bensin yang mahal. Ia lebih memilih menabungnya dan bekerja lembur ditambang emas. Bahkan, ia rela tak membeli obat untuk menyembuhkan sakit TBC yang ia derita. Ia lebih memilih mengumpulkan uang untuk biaya kuliahmu. Bersyukurlah, Ulfah! Kamu memiliki Ayah yang tulus menyayangimu." Cerita bang Ahsan sendu.

     Air mataku berjatuhan. Sedurhaka inikah, aku? Mengapa aku tak peka dengan kasih sayang yang Ayah selipkan untukku? Ya Allah, maafkan hambamu ini. Tolong jaga Ayah disana, Ya Rabb! Izinkanlah hamba berkumpul bersama disurgamu. Amiinn.....

No comments:

Post a Comment