Gesekan
rerumputan nyanyikan kisah sendu. Bunga dandelion terbangkan penyesalam.
Hembusan dingin putri angin bekukan suasana. Bisakah ku ulang semuanya?
***
Tak ada rembulan yang muncul. Hanya
beberapa bintang yang menggantung dilangit malam. Udara malam ini cukup hangat.
Terbangkan kerindua dalamku.
Sudah hampir setengah jam aku menunggu.
Namun, tak ada panggilan yang masuk. Kemana Ayah? Apakah Ayah lupa menelfonku
malam ini?
"Meong..... meong...." segera
aku mengankat telfon. Bukan, itu bukan suara kucing. Suara itu adalah nada
dering telepon asramaku.
"Assalamualaikum, Ayah!"
salamku dengan nada girang.
"Waalaikumsalam...." jawab Ayah
dengan tenang.
"Ayah bagaimana kabarnya?"
"Alhamdulillah, sehat.
Ohokk..." terdengar suara batukkan diseberang sana.
"Ayah kenapa?" tanyaku cemas.
"Tidak, Ayah tersedak. Ada
apa?"
"Ayah, bulan ini aku pulang,
kan?"
"......" tak ada jawaban.
Jantungku berdegup kencang. Apa jawabannya?
"Tidak." Jawab Ayah singkat,
padat, dan jelas.
Mataku membulat tidak percaya. Mengapa
ini jawabannya?
"Ayah, sudah hampir 5 tahun aku
tidak pulang kerumah. Setiap triwulan, aku jadi penunggu asrama. Apakah Ayah
tidak rindu denganku?"
"Ada lagi, tidak? Ayah akan segera
menutup telfon." tanggap Ayah datar.
Aku terdiam. Satu bulir air mataku
berhasil jatuh. Perlahan, ku hirup nafas untuk menenangkan diri.
"Baiklah, tidak ada lagi. Terima
kasih, Ayah. Assalamualaikum....."
"Waalaikumsalam..... Tiit...
Tiit......"
Selalu begini akhirnya. Aku ingin sekali
pulang. Aku rindu dengan Ayah, bang Ahsan dan Taufiq. Kapan aku akan bertemu
mereka?
***
Pagi ini terasa hangat. Mentari pancarkan
sinar lembutnya. Burung-burung bersenandung riang. Hari ini hari yang bahagia
bagi seluruh penghuni asrama.
Banyak santri yang berjalan bersama orang
tuanya. Tawa bahagia terpancar jelas. Ada yang bahagia karena menjadi juara
kelas, ada yang bahagia karena akan pulang, bahkan ada yang bahagia karena
tidak kembali lagi, sebut saja "pindah".
Sedangkan aku? Dari balik jendela aku
menatap iri pemandangan pagi ini. Laporan pengasuhan dan laporan pendidikan
sudah ada dipangkuanku. Tidak seperti mereka yang mengambil rapor bersama orang
tua.
"Sudahlah, kamu tak usah bersedih,
Ulfah. Bisa jadi, karena rumah mu yang jauh dan Ayahmu sedang sibuk bekerja
sehingga ia tak bisa menjemputmu. Ia akan menjemput dihari kelulusanmu dari
'aliyah." Hibur ustadzah Siti merangkul hangat tubuhku.
Aku hanya diam tak berkutik. Ku pandang
pasrah wajah ustadzah Siti. Aku tak bisa beranggapan seperti itu.
"Dari pada bersedih, lebih baik
kamu berinteraksi dengan Al Qur'an. Ia adalah pengobat hati. Ingat! Kamu harus
tetap semangat. Beberapa lembar lagi kamu akan selesai menghafal Al Qur'an 30
juz. Ingat, Ulfah! Jadi HAFIDZAH!" pesan ustadzah Siti tersenyum yakin.
Semangatku berkobar. Jika teman-teman
yang lain berlibur bersama keluarga mereka, aku berlibur bersma Al Qur'an.
***
"Shadaqallaahu'azhiim..."
akhirku dengan tenang.
Ustadzah Siti memelukku erat. Air mata
kebahagian meluncur dipipinya. Akhirnya, aku telah selesai menghafal Al Qur'an
30 juz.
"Alhamdulillaahirabbil'aalamiin...
barakallaahufik! Ulfah, dijaga hafalannya, ya! Jadilah Hafidzah yang berakhlak
Al Qur'an!"ucap ustadzah Siti penuh kebahagiaan/
Alhamdulillah, salah satu cita-citaku
menjadi kenyataan. Terima kasih, Ya Rabb! Mudahkanlah menjadi penjaga kitab-Mu
Ya Allah!
"Assalamualaikum..." salam itu
membuatku tersentak.
"Waalaikumsalam...."
Perlahan aku mendongak kesumber suara.
Seorang lelaki yang cukup familiar berdiri diambang pintu.
"Bang Ahsan?" spontan aku
berlari menuju ambang pintu. Sudah lama aku tak bertemu dengannya, sudah hampir
6 tahun. Sejak ia kuliah di Bandung.
"Cepatlah, Ulfah! Waktu kita tak
panjang!" desak Bang Ahsan kalut. Setelah berpamitan, banh Ahsan menarikku
menuju motor bebeknya.
"Kita mau kemana, Bang?"
"Kita akan pulang. Pegangan yang
erat! Perjalanannya sedikit mengerikan." Pesan bang Ahsan menghidupkan
motor bebeknya. Aku menurutinya segera. Motor pun melaju meninggalkan asramaku.
***
Setelah 6 jam perjalanan, tujuanku sudah
berada didepan mata. Disekitar rumahku anyak orang berkerumun. Ada apa ini?
Mengapa sendu sekali rasanya?
Perasaan risau menyelimutiku. Segera aku
berlari menerobos kerumunan orang, memasuki rumah dengan kristal air mata yang
berterbangan.
Kilat serasa menyambarku kejam, bumi
menelanku bulat-bulat, dan ombak dipantai menggulungku tanpa ampun.. Apa ini?
Mengapa Ayah dibalut kain kafan?
"Innalillaahi wa
innailaihirooji'uun... Kamu harus tabah Ulfah!" ujar bang Ahsan mengelus
bahuku lembut.
Aku mengulangi kalimat yang diucapkan
Bang Ahsan. Bendungan air mataku jebol, tak tahan menahan kesedihan.
"Ayah meninggal karena TBC kronis
yang dideritanya. Ayah tak pernah bercerita padaku. Syukurlah, Taufiq tidak
tertular. Ayah selalu menutup mulutnya ketika ia batuk." Jelas bang Ahsan
dengan nada berusaha tegar. Aku hanya diam dalam kesedihan. Ayah, mengapa kau
begitu cepat pergi?
***
Sore ini begitu buram. Dunia turut
berduka akan kepergian Ayah. Aku tetap berusaha tegar. Tak ada gunanya
menangisi kepergian seseorang. Ia takkan kembali.
Bang Ahsan duduk tepat disisiku. Ia juga
bersedih karena kepergian Ayah. Ia adalah orang yang paling dekat dengan Ayah.
Tapi ia berusaha terlihat tegar.
"Ulfah, kamu tahu mengapa Ayah tak
menjemputmu pulang?" tanya bang Ahsan lirih. Aku menggeleng lesu.
"Ayah tak ingin uangnya terbuang
untuk menjemputmu pulang. Kamu tahu,kan, jarak rumah dengan sekolahmu cukup
jauh? Jika setiap triwulan Ayah menjemputmu, uangnya akan habis untuk membeli
bensin yang mahal. Ia lebih memilih menabungnya dan bekerja lembur ditambang
emas. Bahkan, ia rela tak membeli obat untuk menyembuhkan sakit TBC yang ia
derita. Ia lebih memilih mengumpulkan uang untuk biaya kuliahmu. Bersyukurlah,
Ulfah! Kamu memiliki Ayah yang tulus menyayangimu." Cerita bang Ahsan sendu.
Air mataku berjatuhan. Sedurhaka inikah,
aku? Mengapa aku tak peka dengan kasih sayang yang Ayah selipkan untukku? Ya
Allah, maafkan hambamu ini. Tolong jaga Ayah disana, Ya Rabb! Izinkanlah hamba
berkumpul bersama disurgamu. Amiinn.....
No comments:
Post a Comment