Sunday, 29 January 2017

Jingga (Cerpen)

Karya : Afifah Nurul Fadhlillah

Seorang wanita muda dengan langkah setengah terseret memasuki sebuah restoran cepat saji di pinggiran jalan. Pandangannya tak henti menatapa langkah kakinya, menunduk. Kebiasaannya ketika melewati keramaian. Dengan susah payah, ia mempercepat langkahnya menuju dapur restoran itu.

“Lagi-lagi kau terlambat Jingga. Cepatlah, hari ini banyak sekali pengunjung” Kepala chef tiba-tiba berhenti dari kesibukannya saat tau Jingga telah datang.

“Maafkan aku Chef Cindi. Aku bangun kesiangan tadi”

“Apa itu sebuah alasan” Semua orang yang berada di dapur restoran kini semua menatap Jingga dengan ekspresi tak bersahabat. Lagi-lagi membuat Jingga menundukkan kepalanya.

“…”

“Ada apa ini? Kenapa kalian semua berhenti bekerja?” Pemilik restoran tiba-tiba muncul, membuat semua orang reflek sibuk bekerja kembali. Jarang sekali Jackfroze_julukan para staf untuknya_ mengunjungi salah satu bisnisnya ini, mengingat begitu banyak pekerjaan yang harus diselesaikannya.

“Ah..akhirnya kau datang juga Jingga. Aku menunggumu dari tadi” Seorang staff wanita dengan cepat mencairkan suasana tegang beberapa saat yang lalu dan segera membawa Jingga menuju kasir depan.

“Kau membawaku kemana? Aku harus bekerja di dapur Sisi

“Tidak Jingga. Hari ini kau bertugas di bagian kasir. Bukan, tidak hari ini saja, seterusnya kau akan bekerja di bagian kasir”

“Apa kau bercan__”

“Jackfroze yang memberitahuku. Maksudku Pak Fajar. Jadi kau tidak boleh membantah”

“Sungguh? Kenapa tiba-tiba? Aku masih ingin bekerja di dapur”

“Ah..sudahlah. Lebih baik kau terima saja. Bukankah itu lebih baik?”

“Kau benar. Ini akan lebih baik mengingat keadaanku saat ini”

“Jingga... Kau tak bo__”

“Aku tak akan menghambat pekerjaan di dapur lagi karena kepayahanku dalam berjalan. Baiklah, kali ini aku akan bekerja dengan baik dan tak akan memberatkan pekerjaan orang lain lagi”. Susah payah Jingga membentuk sebuah senyuman di bibirnya.

“Jingga, kau tak boleh seperti ini terus. Tidak ada yang menyalahkan kakimu”. Untuk kesekian kalinya Sisi menasehati Jingga yang selalu menyalahkan keadaannya.

Sudah satu tahun tiga bulan Jingga menghadapi pahitnya kehidupan. Setelah kecelakaan tabrak lari yang dialaminya, lebih kurang sembilan bulan ia hanya terbaring lemah di rumah sakit. Ketika terbangun dari koma pun, kehidupannya tak lagi sama. Ia telah kehilangan segala kemanisan hidup yang ia punya. Terutama kakinya.

Jingga kehilangan setengah fungsi kaki kanannya, yang menyebabkan berjalannya tak lagi sempurna. Sesuatu yang sangat penting baginya. Jingga bukanlah siapa-siapa dengan kaki cacatnya. Mana ada seorang model berjalan dengan kaki pincang? Begitulah hidup, tak sedetik pun kita mampu menebaknya.

“Apa kau hanya akan menatapku seperti itu Sisi? Kau harus melanjutkan pekerjaanmu”. Jingga menatap balik Sisi yang menatapnya dengan makna yang sulit diartikan. Kasihan? Iba? Prihatin?. Entahlah !

“Tentu saja” dengan segera Sisi melanjutkan menjaga kasir di samping Jingga.

Sisi bukanlah satu-satunya orang yang terpukul atas keadaan yang dialami Jingga, mengingat betapa banyaknya fans Jingga sebelum kejadian itu. Tapi sampai detik ini,  hanya Sisilah satu-satunya orang yang tak meninggalkannya. Tak ada lagi yang mengidolakan seorang model cacat seperti dirinya.

***

“Total semuanya seratus enam puluh tiga ribu lima ratus Mas. Ya..terima kasih. Silahkan berkunjung kembali” dengan sopan Jingga memberikan kembalian pelanggannya. Sepasang kekasih tersebut menjadi pelanggan terakhir untuk malam ini.

“Haah.. akhirnya selesai juga”. Sisi menghembuskan napas lega. Terlihat jelas keletihan menggelayuti wajah imutnya. “Jingga, kau tidak lelah?” tanya Sisi, melihat Jingga hanya diam menatapnya.

“Tidak. Aku senang sekali hari ini bisa menyelesaikan tugasku dengan baik” jawab Jingga dengan senyuman kecil.

“Kau serius? Itu bagus sekali. Aku juga senang kau yang bekerja di sampingku”

“Wah, wah.. Sepertinya kau senang sekali tak lagi bekerja di dapur Jingga” Nada sinis Chef Cindi menghentikan Jingga dan Sisi yang baru akan beranjak meninggalkan Restoran.

“Kau boleh pulang setelah membersihkan dapur malam ini. Hukuman karena kau terlambat tadi pagi”

“Tapi Jingga tidak lagi bekerja di dapur mulai hari ini Chef” bela Sisi.

“Tak apa Sisi. Aku akan melakukannya.” putus Jingga

“Ayo cepat Jingga. Kau selalu saja lamban mengerjakan sesuatu. Ups, aku lupa kau mempunyai sebelah kaki yang pincang. Sorry!” tanpa rasa bersalah Chef Cindi berlalu meninggalkan Restoran.

Ya! Apa-apaan.Tak bisakah kau menjaga ucapanmu?”  dengan kesal Sisi meneriaki Cindi yang sebenarnya sepantaran dengannya, tapi Cindi telah jauh meninggalkan Restoran.

“Sudahlah Sisi. Tak apa-apa. Ini hukumanku karena aku terlambat lagi”. Sekuat tenaga Jingga menahan air matanya agar tak tumpah lagi di depan Sisi. Sudah terlalu banyak Sisi menyaksikan kerapuhan dirinya. Percuma, Sisi dapat melihat jelas lagi-lagi Jingga meneteskan air mata. Sudah terlalu sering Jingga memperoleh penghinaan untuk dirinya satu seperempat tahun terakhir.

Ingatan Sisi kembali ketika terakhir kali ia mendengar suara riang Jingga sebelum semuanya terjadi

“Kau dimana?” bukannya marah, malah nada khawatir yang diucapkan Jingga.

“Maafkan aku Jingga. Atasanku tiba-tiba menyuruhku kembali ke restoran, penting sekali katanya” suara Sisi terdengar lelah di seberang sana.

“Ah..syukurlah. Kukira kau diculik preman-preman di simpang Restomu itu” Jingga lega sekali.

“Kau selalu saja khawatir berlebihan. Aku baik-baik saja. Kau bisa langsung pulang jika tidak ingin membeli gaun sendirian”

“Tidak Sisi, aku akan membelinya sendiri. Aku sudah berada di depan departemen store dress yang aku butuhkan”

“Baiklah. Kau harus berhati-hati Jingga. Jangan pulang terlalu larut. Sekali lagi,  maafkan aku” ucap Sisi yang terdengar sangat menyesal.

“Aku akan berhati-hati. Kumaafkan, tapi lain kali kau harus mentraktirku makan di restoran tempatmu bekerja itu” Sebenarnya Jingga belum benar-benar sampai di departemen store yang dikatakannya tadi. Hanya butuh menyebrang sekali saja baru dia akan sampai.

Dengan tetap berbicara ditelepon, Jingga segera menyebrangi jalanan yang lumayan ramai malam itu.

“Tak masalah, aku akan mentraktirmu. Ya sudah, kututupya! Sampai jumpa besok”

“Daah..”Jingga segera memasukkan ponselnya ke dalam tas tangannya,  saat sebuah truk pengangkut minyak bumi melintas cepat di jalan yang dilalui Jingga.

“Teeet..teet..”Klakson truk itu menggema keras di telinga Jingga sebelum ia sempat menggapai ujung jalan. Sepersekian detik kemudian terdengar jelas pekikan keras seorang wanita. “Bruuuk…” Sang supir truk segera melajukan kembali truknya sebelum orang-orang sempat menghentikannnya. Tabrak lari!

***

“Selamat pagi..!” sapaan riang Sisi yang baru saja memasuki restoran, mengembangkan senyum Jingga di balik meja kasir. Hanya ada Jingga yang mendengar sapaan Sisi itu. Staff lainnya terlihat sibuk  dengan urusan masing-masing.

“Pagi Sisi! Senang sekali sepertinya. Kutebak, akhirnya kau dilamar oleh pria ‘rahasiamu’ itu?” candaan iseng Jingga membuat pipi Sisi memerah.

“Hussshh..! Jangan asal bicara Jingga. Kau membuatku malu” Sisi mulai mengenakan seragam kerjanya dan beranjak menuju kasir di samping Jingga.

“Salah sendiri, kenapa tidak mau memberitahuku tentang pria ‘rahasiamu’ itu” ucap Jingga setengah merajuk. “Ayolah... apa salahnya hanya memberitahuku? Aku temanmu bukan?”

“Bukan begitu. Hanya saja aku sangat malu mengatakannya”

“Payah..! Ah..sudahlah. Aku akan setia menunggu kau mengatakannya padaku. Sekarang, mari bekerja !” dengan riang Jingga mulai melayani pelanggan pertamanya hari itu. Pandangan Sisi tak lepas memperhatikan sahabatnya dari bangku sekolah menengah pertama itu. Sepuluh tahun lebih mereka telah bersama. Melihat senyum Jingga yang selalu terbit setiap kali melayani pelanggan-pelangan restoran, ikut membuat lengkungan manis di wajah Sisi.

***

Untuk kesekian kalinya Jingga merasakan Sisi tak berhenti menatapnya. Jingga sebenarnya tau setiap kali sahabatnya itu memperhatikannya, hanya saja ia ingin berpura-pura tak melihatnya. Entahlah, itu terjadi begitu saja tanpa disadarinya.

Jingga sendiri tak tau bagaimana membalas semua kebaikan Sisi satu tahun terakhir. Setelah sadar dari koma, hanya Sisi yang berlari menemuinya ke rumah sakit. Orangtuanya sudah meninggal saat Jingga berumur dua belas tahun. Setelah itu ia tinggal bersama neneknya. Hanya enam tahun, dan neneknya juga ikut meninggalkannya. Saat itu Jingga delapan belas tahun, memutuskan untuk hidup sendiri walaupun banyak tante dan pamannya menawarkan untuk tinggal bersama. Jingga mulai menyewa sebuah apartemen kecil tak jauh dari universitas barunya.

Keputusan Jingga untuk tinggal sendiri tentu saja sudah ia pertimbangkan dengan matang sebelumnya. Dari umur lima belas tahun, Jingga sudah memasuki dunia permodelan. Jadi setidaknya ia sudah mempunyai cukup uang untuk melanjutkan hidupnya sendiri. Karena sibuknya karir permodelan Jingga, terpaksa ia menghentikan kuliahnya yang sudah berjalan dua tahun itu. Hidupnya sangat sejahtera saat itu, sampai kecelakaan terkutuk itu terjadi.

“Jingga.. Kau dengar aku tidak? Jangan bilang kau melamun lagi?” ucapan Sisi membuyarkan pikiran Jingga tentang masa lalunya.

“Ah..tidak. Aku tidak melamun. Hanya.. memikirkan sesuatu” Jingga berdalih.

“Ya sudah. Kalau begitu, ayo pulang !”

“Oh.. Baiklah, ayo!” Jingga dan Sisi dengan langkah gontai melangkah keluar restoran. Seseorang berjalan dari arah yang berlawanan.

“Buuk”

“Aduh..maafkan aku” dengan cepat Jingga memunguti barang-barang yang terjatuh karenanya.

“Ah tidak. Seharusnya aku yang minta maaf” ucap pria di hadapan mereka datar, sambil membantu Jingga mengambil map-mapnya yang terjatuh.

Ya! Bagaimana sih ? Kau tidak melihat kami berja... Jackfroze?! Maksudku, Pak Fajar?” dengan cepat Sisi mengubah nada suaranya saat pria yang menabrak mereka_lebih tepatnya Jingga_ mendongak dan memperlihatkan wajahnya.

“Kau memanggilku apa? Jackfroze?” tanya Pak Fajar dingin.

“Ah..bukan apa-apa. Maafkan kami telah menabrak Bapak” dengan menyesal Sisi meminta maaf sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sial! Kenapa harus keceplosan di hadapan orangnya sendiri!, batin Sisi.

“Benar. Maafkan kami” sambung Jingga.

“Tak masalah. Permisi, saya buru-buru” Pak Fajar segera pergi menuju mobilnya yang diparkir di seberang restoran.

“Tunggu! Barang bapak ketinggalan” teriakan Jingga membuat Pak Fajar kembali membalikkan badannya dan berjalan menuju Jingga dan Sisi lagi untuk mengambil mapnya yang ketinggalan. 

“Terima kasih”

***

“Jingga, kalau dipikir-pikir, kenapa Pak Fajar tadi malam-malam ke restoran, tapi pergi kembali sebelum sempat masuk?”

“Karena kita menabraknya?” jawab Jingga asal. Mereka sedang berada di bus menuju apartemen Jingga. Sisi memang sering menginap di apartemen Jingga jika mereka pulang larut setiap shift malam.

“Kau bercanda..? Huuh..”  dengan malas Sisi kembali menutup matanya untuk sedikit beristirahat sebelum sampai di apartemen Jingga.

“Haha..lebih baik kau tidur saja. Aneh! Tiba-tiba menanyakan si Jackfroze” omel Jingga.

“Tunggu, bukannya sebentar lagi weekend? Bagaimana kalau kita pergi refreshing?” tiba-tiba Sisi bangun kembali dan menyatakan idenya dengan semangat.

“Refreshing? Kedengarannya seru. Ayo, akan kemana?” respon Jingga tak kalah semangat.

“Hmm..bagaimana kalau kita pergi shopping? Sudah lama sekali kita tak membeli baju-baju baru. Bagaimana?” usul Sisi.

“Boleh. Dimana? Jam berapa?”

“Aku tau satu tempat bagus yang menjual baju-baju baru tapi terjangkau. Kalau jam, malam saja?”

“Baiklah, aku percaya denganmu”

***

Pagi menyapa. Dengan hampa Jingga berjalan dari halte bus menuju restoran tempatnya bekerja. Sisi sudah berangkat dari tadi karena dia mempunyai shift pagi hari ini. Jingga berusaha mengalihkan pikirannya yang selalu muncul setiap kali ia berjalan sendirian, ketika tidak pernah terpikir olehnya akan sesusah ini hanya untuk berjalan. Saat dirinya sudah berhasil mengalihkan pikirannya, lagi-lagi ia mendengarkan hal yang benar-benar tak ingin didengarnya.

“Aduh,, cantik-cantik kok pincang sih?”

“Itu kan mantan model terkenal itu?”

“Benar juga. Si Jingga Cahaya itu ya? Kasihan banget, dulu model sekarang gembel”

Sakit. Pertahanan yang sudah susah payang Jingga bangun, hancur berantakan hanya dalam sekejap. Cukup sudah, sekarang ia benar-benar benci. Benci terhadap dirinya yang cacat, benci kepada orang-orang yang seenaknya menghujatnya, dan tentu saja benci kepada siapa yang telah membuatnya seperti ini. Saat Jingga sibuk dengan kebencian-kebencian yang menguasainya, sebuah motor berjalan cepat menuju arahnya. Jingga sendiri hanya mampu pasrah di tempat. Mungkin ini benar-benar akhir dari kehidupannya.

“Awas..!” Sebuah tangan menarik tangan Jingga menepi.

“Te..terima..kasih” ucap Jingga dengan tubuh bergetar, sambil terus menunduk.

“Kalau jalan, jangan melamun! Masa motor lewat kau tidak lihat?”

“Pak.. Pak Fajar?” setengah terkejut Jingga mendongak untuk memastikan suara dingin yang didengarnya tadi benar-benar milik atasannya itu.

“Lain kali hati-hati!”  balas Pak Fajar singkat.

“Ya.. Sekali lagi terima kasih Pak” ujar Jingga saat Pak Fajar meninggalkannya menuju restoran miliknya yang hanya berjarak beberapa meter saja dari tempat Jingga tadi.

“Ya ampun Jingga. Kau tidak apa-apa?” Tiba-tiba Sisi datang dengan raut cemas. Ia bisa melihat apa yang barusan terjadi dari arah restoran, dan segera berlari saat ia melihat Pak Fajar telah menyelamatkan Jingga.

“Aku tak apa”

“Kau membuatku cemas saja. Kenapa kau hobi sekali membahayakan dirimu?”

“Maafkan aku. Aku memang ceroboh”

“Ya sudah. Sekarang ayo ke restoran”

“Hmm..”

***

Dua hari kemudian..

Lagi-lagi Jingga merasakan Sisi bersikap aneh. Seringkali ia merasakan tatapan janggal Sisi terarah kepadanya. Setiap kali ia memalingkan wajahnya menghadap Sisi, dengan cepat sahabatnya itu langsung  mengalihkan pandangannya dari Jingga. Aneh!

“Jingga, ada yang ingin kukatakan kepadamu” tiba-tiba orang yang dibingungkan Jingga tadi sudah berada di hadapannya dengan wajah penuh beban.

 “Katakan apa?”

 “Entahlah. Aku tak tau bagaimana memulainya. Tapi.. ini serius”

 “Baiklah. Akan kudengarkan” wajah Jingga berubah menjadi lebih tertarik.

 “Sebenarnya sudah lama ingin kukatakan, tapi aku belum siap, dan.. tidak ada waktu yang tepat”

 “Jadi..?”

 “Sebenarnya dari dulu aku sangat iri kepadamu” ucap Sisi lirih.

 “Benarkah? Tak ada yang pantas kau irikan dariku Sisi” potong Jingga setengah tertawa.

 “Kau bercanda? Banyak sekali yang bisa membuat orang lain iri kepadamu. Tapi... tentu saja sebelum kecelakaan itu terjadi”

 “...”

 “Kuakui, aku sangat sangat iri kepadamu jauh sebelum kau menjadikanku sahabatmu. Kau cantik, kau pintar, kau baik, dan kau kaya. Sedangkan aku? Terlahir untuk menderita” nada suara Sisi naik turun oleh emosi yang susah dikendalikannya.

 “Sisi.. tenanglah.. ”

 “Tapi kau memang terlalu baik. Bahkan kau mau berteman denganku yang dulu culun, miskin, tak punya teman. Kau jadikan aku sahabatmu dan menganggapku sama denganmu. Seharusnya aku menghilangkan rasa iri itu, tapi kau tau? Rasa iri itu tak pernah hilang setitik pun dari hatiku sampai detik ini” Sisi berusaha mengatur napasnya yang mulai naik turun tak beraturan.

 “Kau serius? Aku tak pernah tau tentang ini sebelumnya”

 “Tentu saja! Karena kau terlalu lugu, dan aku terlalu licik untuk menyembunyikan semuanya darimu. Aku tetap iri saat kau juara pertama dengan mudahnya, saat aku dengan susah payah belajar dan hanya mendapatkan tempat kedua. Aku juga iri denganmu yang punya banyak teman, disayangi guru, idola semua pria. Aku iri denganmu yang menjadi primadona sekolah dimana pun kau berada! Aku iri denganmu yang lulus seleksi  cheerleader dengan mudahnya seperti menjentikkan jari. Sedangkan aku? Kau tau betapa susahnya aku berlatih terlihat cantik dihadapan senior-senior yang menjadi juri?! Kau tau betapa beratnya bagiku untuk meniru gayamu yang menarik perhatian senior-senior itu bahkan hanya dengan melihat senyummu itu?! Tapi aku, dilirik pun tidak, apalagi lulus seleksi”. Diam sejenak. Sisi tak tau akan seberat ini untuk menyampaikan perasaan yang selama ini membebaninya.

 “Aku benar-benar tak tau ini sebelumnya..” ucap Jingga lirih.

 “Tunggu, masih banyak keirian lainnya yang belum kusebutkan Jingga. Dengarkan ini baik-baik. Aku iri saat kau diundang untuk melanjutkan SMA di sekolah favorit, sedangkan aku belajar mati-matian agar lulus seleksi di sekolah yang sama. Aku iri kau langsung menjadi pusat perhatian di hari pertama kita sekolah, aku iri senior yang kusukai malah menyatakan cinta padamu. Padahal tak seharusnya rasa iri itu ada setelah yang kau perbuat kepadaku selama itu. Dan yang paling penting, aku sangat tidak bisa menghilangkan rasa iriku saat kau akhirnya ditawarkan menjadi model disalah satu majalah terkenal, impianku dari kecil..

 “Bahkan aku pura-pura sakit di hari pemotretan pertamamu, karena takut tak akan sanggup menahan kebencianku dihadapanmu. Sampai kecelakaan tak terkira itu menimpamu, aku tak tau apa yang harus aku lakukan. Senang atau sedih. Senang karena tak ada lagi yang pantas kuirikan darimu, sedih karena kau adalah sahabatku satu-satunya. Tapi jujur, aku tidak bisa mementingkan egoku untuk meninggalkanmu saat itu. Aku sadar kalau aku benar-benar menyayangimu sebagai sahabat. Setelah kau kehilangan karirmu, kehilangan fans-fansmu, kukira tak ada lagi yang akan kuirikan darimu, tapi aku salah. Kau tetaplah Jingga yang membuat iri banyak orang. Kau tak kehilangan kecantikanmu, tak kehilangan kebaikan hatimu. Aku tetap iri karena pria rahasiaku lebih tertarik kepadamu setelah kau bekerja di tempat yang sama denganku” Sisi benar-benar tak tahan lagi sekarang, air mata sudah membanjiri wajahnya.

 “Aku tak bermaksud merebut apa yang kau suka selama ini Sisi. Sungguh..”

 “Tapi yang paling penting dari semua  yang ingin kukatakan, bahwa... aku tau siapa yang menabrakmu..” sesak di dada Sisi bertambah setiap detiknya. Hening. Untuk beberapa saat Jingga merasa seakan ia baru saja ditimpa beban seberat satu ton, sakit! Rasa dendam itu kembali muncul menguasai diri Jingga, mengingat penderitaan yang harus ditanggungnya karena orang sialan yang telah menabraknya itu.

 “Ka.. kau se..rius? Tapi, kau tak pernah memberitahuku selama ini.. Kenapa?!” setetes air mata terjatuh dari mata Jingga.

 “Ingin sekali rasanya kukatakan padamu, jika pelakunya bukan ayahku sendiri Jingga” hening sejenak. Sisi menarik napasnya dalam-dalam, bersiap akan apapun yang akan terjadi setelah ini. “Kuperjelas, ayahkulah yang telah menabrakmu”

 “Ayahmu?” tanya Jingga lirih.

 “Tapi jangan salahkan ayahku, jangan benci dia. Akulah orang yang pantas kau benci. Saat ayahku akan menyerahkan diri, karna tau yang ia tabrak seorang model terkenal dan sahabat anaknya sendiri, aku malah melarangnya dan menyuruhnya untuk bersembunyi saja. Aku tak ingin hidupku bertambah buruk dengan ayahku dipenjara, dan aku tau kau tak akan mencari tau siapa pelakunya karna kebaikan hatimu itu. Tapi kau tau? Aku salah, bukan itu yang diinginkan ayahku. Ayahku memiliki hati yang bersih, tak sama denganku, bersembunyi memperburuk keadaannya. Ayahku jatuh sakit enam bulan kemudian, diakhir hidupnya sekali pun penyesalan itu tak berkurang seujung kuku pun. Ayahku meninggal setelah satu tahun menderita karna sakitnya

 “...”

Maafkan aku. Sungguh maafkan aku..”

“Kau.. kenapa kau tak pernah bilang padaku? Kau tau berapa besar benciku terhadap segala ketidak normalanku ini? Berapa besar benciku kepada orang yang membuatku seperti ini? Demi tuhan, kau sendiri yang membuatku memupuk rasa benci ini. Jika saja dari dulu kau terus terang kepadaku, rasanya mungkin tak sesakit ini” Jingga menatap Sisi nanar.

 “Aku menyesal Jingga, sangat menyesal.. Kukira akan semudah itu, tapi aku salah..” Sisi terus berusaha meredakan tangisnya.

Seseorang berusaha menahan air mata dan sakit di dadanya dari luar pintu kasir.

***

“Ayolah Jingga ! Ternyata kau benar-benar lambat ya? Hahaha..” dengan iseng Sisi menggoda Jingga yang langsung mengubah ekspresinya, cemberut. Setelah pengakuan Sisi yang mengejutkan tadi, Jingga memilih untuk berbesar hati memaafkan segala yang telah tertingal di belakang. Walaupun sulit, dia akan berusaha. Karena itu, Jingga tetap melanjutkan janjinya bersama Sisi minggu ini, shopping!

“Sabar sedikit kenapa. Tapi kau yakin masih buka? Ini sudah malam”sahut Jingga yang tertinggal beberapa langkah  di belakang Sisi.

“Tenang saja. Tempat yang aku maksud buka 24 jam kok” jawab Sisi sumringah sambil menunjuk ke seberang jalan, tempatnya dan Sisi akan bersenang-senang nanti.

Pandangan Jingga mengikuti arah yang ditunjuk Sisi. Red Store ! Seketika Jingga terheyak. Kejadian dua tahun lalu kembali berputar di kepalanya. Malam hari, kendaraan yang ramai, dan Red Store! Semuanya persis sama.

Jingga mengalihkan pandangannya kembali ke Sisi. Ia tampak sedang merogoh tas tangannya lalu mengeluarkan sesuatu dan menempelkannya di telinga kanannya. Bahkan sekarang kejadiannya benar-benar sama, Sisi menyeberang sambil berbicara ditelepon. Tapi ia kemudian berbalik lagi, “Ayo cepat !” ujarnya singkat. Ia tak melihat wajah Jingga yang sudah berubah seputih salju.

“Sisi, sebenarnya... Sisi awas..!!” belum sempat Jingga mengutarakan isi hatinya, sebuah truk pengangkut minyak bumi melintas cepat dan menghantam tubuh mungil Sisi. “Sisi....!!” Dengan gemetar Jingga menhampiri tubuh Sisi yang telah tergolek lemah, dikerubungi orang-orang yang hendak menolong atau pun sekedar menonton.

“Jing...ga.. Ma...maaf “ susah payah Sisi terus mengucapkan maaf ditengah kesulitannya untuk tetap bertahan. Darah mengalir deras dari pelipis dan kepala belakangnya.

“Sisi.. ini aku, Jingga. Kau berdarah Sisi, kau tak apa?” Jingga meraih tubuh Sisi lemah dan menangis direngkuhannya. “Kenapa seperti ini. Bukannya kau berjanji akan bresenang-senang malam ini? Aku sudah memaafkanmu Sisi”

“Ma..maaf”

“Kau tau? Tempat yang kau maksud itu, sama dengan toko yang akan kukunjungi malam itu, dua tahun lalu. Tak  kusangka akan seperti ini, kalau tau begitu aku takkan mengiyakan ajakanmu kemarin” isakan Jingga bertambah keras.

“Tak a..pa. Yang pen..ting kau sudah tau semuanya. Mungkin Tu.han langsung mem..balasku dengan cara yang sa..ma” dengan terbata-bata Sisi tetap menjawab Jingga.

“Tidak.. Tidak seperti ini. Aku belum memberitahumu banyak hal. Baikalah, akan kuberitahu sekarang saja” hening sejenak, Jingga menyeka air matanya yang tak berhenti mengalir. Semua orang turut diam memperhatikan apa yang terjadi. “Akan kujelaskan kesalah pahamanmu selama ini. Kau salah karena iri denganku yang selalu mendapatkan juara, banyak teman, disayangi guru, idola para pria, kau SALAH ! Bukan aku yang menginginkan semua itu, kau tau rasanya dituntut? Itu yang kurasakan selama itu. Aku dituntut untuk selalu juara, dan terkenal di sekolah. Bahkan sebenarnya dulu aku adalah anak yang sangat pemalu, kuper, terasingkan. Aku sangat tersiksa harus berpura-pura untuk tak menjadi diriku sendiri Sisi. Tanteku mengancam akan mencabut beasiswamu jika aku tidak menuruti perintahnya, dari dulu tanteku memang terobsesi ingin menjadikanku seorang model, hal yang paling kubenci dulunya. Ya, tantekulah yang membiayai seluruh biaya sekolahmu dari SMP, aku yang memintanya saat tau kau tidak diterima karna tak punya biaya. Setelah kau akhirnya bersekolah disana, aku langsung mencarimu dan bersumpah akan berteman baik denganmu. Itu yang terjadi.

Dan aku benar-benar berubah setelah itu. Masuk cheerleader juga karena permintaan tanteku, dan tetap bertahan walaupun semua senior membenciku. Aku yang memohon agar kau tak diterima, supaya kau tidak merasakan sakitnya disiksa senior-senior itu. Dan tentang aku yang diundang masuk SMA, itu juga kerjaan tanteku. Sebenarnya kau tak perlu belajar begitu keras, karena pada akhirnya kau akan diterima juga. Tentang model, sudah kubilang itu semua ambisi tanteku sedari dulu. Aku akhirnya menerimanya karena punya rencana lain. Setelah aku sukses menjadi model nanti, aku akan mempromosikan dan membawamu masuk dengan mudahnya. Tapi tuhan punya rencana lain. Dihari aku akan memberitahumu bahwa kau akhirnya ditawarkan bergabung di studio tempatku bekerja, kecelakaan itu terjadi. Menemaniku membeli gaun terpenting, itu hanya alasanku agar kau mau menemaniku karena akhir-akhir itu kau sangat sibuk mengurus ulang tahun restoran tempatmu bekerja” Pengakuan Jingga benar-benar membuat Sisi terkejut.

“Dan satu hal yang penting kau ketahui. Kau salah jika iri karena pria rahasiamu itu lebih tertarik kepadaku, karena kau tau? Dia bahkan sudah menyukaimu jauh sebelum kau sadar kau menyukainya. Hari aku kecelakaan, dia memanggilmu bukan? Untuk menyatakan perasaannya, tapi tepat sebelum ia mengatakannya, telepon jika aku kecelakaan menundanya. Dan kau langsung berlari meninggalkannya setelah itu, tak peduli jika ia pria yang kau sukai sekali pun. Ya Tuhan, kau iri kepada adik pria yang kau sukai sendiri Sisi” Jingga menghela napasnya berat.

“Kau bilang kau adik pria ra..hasiaku? Kau adik Pak Fajar?” wajah Sisi benar-benar terkejut sekarang. Tubuhnya masih terbaring lemah dengan rengkuhan tangan Jingga di punggungnya.

“Benar. Dua hari yang lalu, setelah kakak menyelamatkanku, akhirnya ia mengaku kalau ia kakakku yang sudah lama dibuang orang tuaku karena waktu itu orang tuaku sangat miskin dan tidak punya biaya untuk merawat kakakku. Sembilan tahun kemudian aku lahir saat kondisi ekonomi keluargaku sudah sangat stabil. Dan yang membuatnya tertarik padaku, karena aku punya nama yang mirip dengannya, ia tau aku saat mengikutimu ke rumah sakit untuk melihatku. Fajar Cahaya dan Jingga Cahaya. Setelah itu, kakak mulai menyelidiku. Tapi baru sangat yakin saat ia menyelamatkanku dua hari yang lalu. Ia melihat gelang yang sama dengan miliknya di pergelangan tanganku” napas Jingga tambah tak beraturan lagi. Genggaman tangannya ke Sisi bertambah erat.

“A..ku sungguh me..nyesal telah hi..dup dengan ra..sa iri kepa..damu Jingga” Sisi balas menggenggam tangan Jingga lemah. “Kau mem..beritahu Pak Fajar siapa yang te..lah menabrakmu?” tanya Sisi bertambah lemah.

“Tidak. Tidak akan. Dia bilang sudah bersumpah akan membunuh siapa pun yang telah menabrakmu, dan aku tau dia tak pernah main-main dengan ucapannya. Tapi, dia juga merasa bersalah, ia menganggap turut ambil andil dalam penyebab kecelakaaku itu, coba saja ia tak memanggilmu waktu itu, mungkin kau ada di sampingku waktu itu dan kecelakaan itu tidak terjadi. Tapi siapa yang tau, buktinya sekarang saat aku di sampingmu pun, kau tetap ditabrak truk terkutuk itu. Mengapa truk-truk besar itu hobi sekali menabrak orang seenaknya?!” dalam kekalutannya, Jingga tetap berusaha meredakan kondisi saat ini.

“I..tu karena aku me..mang pantas dihu..kum se..perti i..ni Jingga” ucapan Sisi semakin terdengar melemah. “Maafkan se..mua kesa..lahanku sela..ma i..ni. Dan te..rima ka..sih telah ha..dir dalam hidupku. A..ku sungguh be..runtung pernah menge..nalmu. Jingga...” genggaman Sisi melemah, sampai tak terdengar lagi isakan tangisnya.

Suara ambulans tiba-tiba terdengar memenuhi pendengaran Jingga. Sisi sudah tergolek kaku didekapannya. “Sisiiii.... !!” tangis Jingga bertambah kencang sambil menggoyang-goyangkan tubuh Sisi, sia-sia ! Bahu Jingga terus bergetar hebat. Ia mendongakkan kepalanya untuk menghapus air mata yang sudah membanjiri wajahnya dari tadi. Sekelebat bayangan yang dikenalnya tertangkap oleh sudut matanya.

Seseorang berdiri kaku diseberang jalan sana, tepat di depan Red Store. Ekspresinya sulit diartikan. Sedih ? Lega ? Menyesal ? Tiba-tiba ujung bibirnya tertarik sebelah ke atas, senyuman sinis. Untuk terakir kalinya orang itu tersenyum tulus dan menundukkan badannya meminta maaf, setelah itu ia berjalan pelan menyebrangi jalan di hadapannya. Sirine ambulans semakin terdengar jelas ditelinga Jingga. Saat itu orang tadi tiba-tiba hilang dari pandangan Jingga, tubuhnya telah dihantam oleh badan ambulans tadi. Dihari yang sama, dua orang yang Jingga sayangi meninggalkannya untuk selamanya.

“Kak Fajaaaar...!!”



No comments:

Post a Comment