Karya : Afifah Nurul Fadhlillah
Seorang wanita muda dengan langkah setengah terseret memasuki
sebuah restoran cepat saji di pinggiran jalan. Pandangannya tak henti menatapa
langkah kakinya, menunduk. Kebiasaannya ketika melewati keramaian. Dengan susah
payah, ia mempercepat langkahnya menuju dapur restoran itu.
“Lagi-lagi kau terlambat Jingga. Cepatlah, hari ini
banyak sekali pengunjung” Kepala chef tiba-tiba berhenti dari kesibukannya saat
tau Jingga telah datang.
“Maafkan aku Chef Cindi. Aku bangun kesiangan tadi”
“Apa itu sebuah alasan” Semua orang yang berada di dapur
restoran kini semua menatap Jingga dengan ekspresi tak bersahabat. Lagi-lagi
membuat Jingga menundukkan kepalanya.
“…”
“Ada apa ini? Kenapa kalian semua berhenti bekerja?” Pemilik
restoran tiba-tiba muncul, membuat semua orang reflek sibuk bekerja kembali.
Jarang sekali Jackfroze_julukan
para staf
untuknya_ mengunjungi salah satu
bisnisnya ini, mengingat begitu
banyak pekerjaan yang harus diselesaikannya.
“Ah..akhirnya kau datang
juga Jingga. Aku menunggumu dari tadi” Seorang staff wanita dengan
cepat mencairkan suasana
tegang beberapa saat yang lalu
dan segera
membawa Jingga menuju
kasir depan.
“Kau membawaku kemana? Aku harus bekerja
di dapur Sisi”
“Tidak Jingga. Hari ini kau bertugas di bagian kasir.
Bukan, tidak hari ini saja, seterusnya kau akan bekerja di bagian kasir”
“Apa kau bercan__”
“Jackfroze yang memberitahuku. Maksudku Pak Fajar. Jadi
kau tidak boleh membantah”
“Sungguh? Kenapa tiba-tiba? Aku masih ingin bekerja di
dapur”
“Ah..sudahlah. Lebih baik kau terima saja. Bukankah itu
lebih baik?”
“Kau benar. Ini akan lebih baik mengingat keadaanku saat
ini”
“Jingga... Kau tak bo__”
“Aku tak akan menghambat pekerjaan di dapur lagi karena kepayahanku dalam berjalan. Baiklah, kali ini aku akan bekerja dengan baik dan tak akan memberatkan pekerjaan orang lain
lagi”. Susah payah Jingga membentuk sebuah senyuman di bibirnya.
“Jingga,
kau tak boleh seperti ini terus. Tidak ada yang menyalahkan kakimu”. Untuk kesekian kalinya Sisi menasehati Jingga yang selalu menyalahkan keadaannya.
Sudah satu tahun tiga bulan Jingga menghadapi pahitnya kehidupan. Setelah kecelakaan tabrak lari yang dialaminya,
lebih kurang sembilan bulan ia hanya terbaring lemah di rumah sakit. Ketika terbangun dari koma pun, kehidupannya tak lagi sama. Ia telah kehilangan segala kemanisan hidup yang ia punya. Terutama kakinya.
Jingga kehilangan setengah fungsi kaki kanannya,
yang menyebabkan berjalannya tak lagi sempurna. Sesuatu yang sangat penting baginya. Jingga bukanlah siapa-siapa dengan kaki
cacatnya. Mana ada seorang model berjalan dengan kaki pincang? Begitulah hidup, tak sedetik pun kita mampu menebaknya.
“Apa kau hanya akan menatapku seperti itu Sisi? Kau harus melanjutkan pekerjaanmu”. Jingga menatap balik Sisi yang menatapnya dengan makna yang sulit diartikan. Kasihan? Iba? Prihatin?. Entahlah !
“Tentu saja” dengan segera Sisi melanjutkan menjaga kasir di samping Jingga.
Sisi bukanlah satu-satunya orang yang
terpukul atas keadaan yang dialami Jingga, mengingat betapa banyaknya fans Jingga sebelum kejadian itu. Tapi sampai detik ini, hanya Sisilah satu-satunya orang yang
tak meninggalkannya.
Tak ada lagi yang mengidolakan seorang model cacat seperti dirinya.
***
“Total
semuanya seratus enam puluh tiga ribu lima ratus Mas. Ya..terima kasih. Silahkan berkunjung kembali” dengan sopan Jingga memberikan kembalian pelanggannya. Sepasang kekasih tersebut menjadi pelanggan terakhir untuk malam ini.
“Haah.. akhirnya selesai juga”. Sisi menghembuskan
napas lega. Terlihat jelas keletihan menggelayuti wajah imutnya. “Jingga, kau
tidak lelah?” tanya Sisi, melihat Jingga hanya diam menatapnya.
“Tidak.
Aku senang sekali hari ini bisa menyelesaikan tugasku dengan baik” jawab Jingga dengan senyuman
kecil.
“Kau
serius? Itu bagus sekali. Aku juga senang kau yang bekerja di
sampingku”
“Wah, wah.. Sepertinya kau senang
sekali tak lagi bekerja di dapur Jingga” Nada sinis Chef Cindi menghentikan Jingga
dan Sisi yang baru akan beranjak meninggalkan Restoran.
“Kau
boleh pulang setelah membersihkan dapur malam ini. Hukuman karena kau terlambat
tadi pagi”
“Tapi
Jingga tidak lagi bekerja di dapur mulai hari ini Chef” bela Sisi.
“Tak
apa Sisi. Aku akan melakukannya.” putus
Jingga
“Ayo
cepat Jingga. Kau selalu saja lamban mengerjakan sesuatu. Ups, aku lupa kau mempunyai
sebelah kaki yang pincang. Sorry!” tanpa rasa bersalah Chef Cindi berlalu meninggalkan
Restoran.
“Ya! Apa-apaan.Tak bisakah kau menjaga ucapanmu?”
dengan kesal Sisi meneriaki Cindi yang sebenarnya sepantaran dengannya,
tapi Cindi telah jauh meninggalkan
Restoran.
“Sudahlah
Sisi. Tak apa-apa. Ini hukumanku karena
aku terlambat lagi”. Sekuat tenaga
Jingga menahan air matanya agar tak tumpah lagi di depan Sisi. Sudah terlalu banyak
Sisi menyaksikan kerapuhan dirinya.
Percuma, Sisi dapat melihat jelas lagi-lagi Jingga meneteskan air mata. Sudah terlalu sering Jingga
memperoleh penghinaan untuk dirinya
satu seperempat tahun terakhir.
Ingatan
Sisi kembali ketika terakhir kali ia mendengar suara riang Jingga sebelum semuanya
terjadi
“Kau dimana?” bukannya marah,
malah nada khawatir yang diucapkan Jingga.
“Maafkan aku Jingga. Atasanku
tiba-tiba menyuruhku kembali ke restoran,
penting sekali
katanya” suara Sisi terdengar lelah di seberang sana.
“Ah..syukurlah. Kukira kau
diculik preman-preman di simpang Restomu itu” Jingga lega sekali.
“Kau selalu saja khawatir
berlebihan. Aku
baik-baik saja. Kau
bisa langsung pulang jika tidak ingin membeli gaun sendirian”
“Tidak Sisi, aku akan membelinya
sendiri. Aku sudah berada di depan departemen store dress yang aku butuhkan”
“Baiklah. Kau harus berhati-hati Jingga. Jangan pulang terlalu larut. Sekali lagi, maafkan aku” ucap Sisi yang terdengar sangat menyesal.
“Aku akan berhati-hati.
Kumaafkan, tapi lain kali kau harus mentraktirku makan di restoran tempatmu bekerja
itu” Sebenarnya Jingga belum benar-benar sampai di departemen store yang
dikatakannya tadi. Hanya butuh menyebrang sekali saja baru dia akan sampai.
Dengan tetap berbicara ditelepon,
Jingga segera menyebrangi jalanan yang lumayan ramai malam itu.
“Tak masalah, aku akan mentraktirmu.
Ya sudah, kututupya! Sampai jumpa besok”
“Daah..”Jingga segera memasukkan
ponselnya ke dalam tas tangannya, saat sebuah
truk pengangkut minyak bumi melintas cepat di jalan yang dilalui Jingga.
“Teeet..teet..”Klakson truk
itu menggema keras di telinga Jingga sebelum ia sempat menggapai ujung jalan.
Sepersekian detik kemudian terdengar jelas pekikan keras seorang wanita. “Bruuuk…” Sang supir truk segera melajukan
kembali truknya sebelum orang-orang sempat menghentikannnya. Tabrak lari!
***
“Selamat pagi..!” sapaan riang Sisi yang baru saja
memasuki restoran, mengembangkan senyum Jingga di balik meja kasir. Hanya ada Jingga
yang mendengar sapaan Sisi itu. Staff lainnya terlihat sibuk dengan urusan masing-masing.
“Pagi Sisi! Senang sekali sepertinya. Kutebak, akhirnya
kau dilamar oleh pria ‘rahasiamu’ itu?” candaan iseng Jingga membuat pipi Sisi
memerah.
“Hussshh..! Jangan asal bicara Jingga. Kau membuatku
malu” Sisi mulai mengenakan seragam kerjanya dan beranjak menuju kasir di
samping Jingga.
“Salah sendiri, kenapa tidak mau memberitahuku tentang
pria ‘rahasiamu’ itu” ucap Jingga setengah merajuk. “Ayolah... apa salahnya
hanya memberitahuku? Aku temanmu bukan?”
“Bukan begitu. Hanya saja aku sangat malu mengatakannya”
“Payah..! Ah..sudahlah. Aku akan setia menunggu kau
mengatakannya padaku. Sekarang, mari bekerja !” dengan riang Jingga mulai
melayani pelanggan pertamanya hari itu. Pandangan Sisi tak lepas memperhatikan
sahabatnya dari bangku sekolah menengah pertama itu. Sepuluh tahun lebih mereka
telah bersama. Melihat senyum Jingga yang selalu terbit setiap kali melayani
pelanggan-pelangan restoran, ikut membuat lengkungan manis di wajah Sisi.
***
Untuk kesekian kalinya Jingga merasakan Sisi tak berhenti
menatapnya. Jingga sebenarnya tau setiap kali sahabatnya itu memperhatikannya,
hanya saja ia ingin berpura-pura tak melihatnya. Entahlah, itu terjadi begitu
saja tanpa disadarinya.
Jingga sendiri tak tau bagaimana membalas semua kebaikan
Sisi satu tahun terakhir. Setelah sadar dari koma, hanya Sisi yang berlari
menemuinya ke rumah sakit. Orangtuanya sudah meninggal saat Jingga berumur dua
belas tahun. Setelah itu ia tinggal bersama neneknya. Hanya enam tahun, dan neneknya
juga ikut meninggalkannya. Saat itu Jingga delapan belas tahun, memutuskan
untuk hidup sendiri walaupun banyak tante dan pamannya menawarkan untuk tinggal
bersama. Jingga mulai menyewa sebuah apartemen kecil tak jauh dari universitas
barunya.
Keputusan Jingga untuk tinggal sendiri tentu saja sudah
ia pertimbangkan dengan matang sebelumnya. Dari umur lima belas tahun, Jingga
sudah memasuki dunia permodelan. Jadi setidaknya ia sudah mempunyai cukup uang
untuk melanjutkan hidupnya sendiri. Karena sibuknya karir permodelan Jingga,
terpaksa ia menghentikan kuliahnya yang sudah berjalan dua tahun itu. Hidupnya
sangat sejahtera saat itu, sampai kecelakaan terkutuk itu terjadi.
“Jingga.. Kau dengar aku tidak? Jangan bilang kau melamun
lagi?” ucapan Sisi membuyarkan pikiran Jingga tentang masa lalunya.
“Ah..tidak. Aku tidak melamun. Hanya.. memikirkan sesuatu” Jingga berdalih.
“Ya sudah. Kalau begitu, ayo pulang !”
“Oh.. Baiklah, ayo!” Jingga dan Sisi dengan langkah
gontai melangkah keluar restoran. Seseorang berjalan dari arah yang berlawanan.
“Buuk”
“Aduh..maafkan aku” dengan cepat Jingga memunguti
barang-barang yang terjatuh karenanya.
“Ah tidak. Seharusnya aku yang minta maaf” ucap pria di
hadapan mereka datar, sambil membantu Jingga mengambil map-mapnya yang
terjatuh.
“Ya! Bagaimana
sih ? Kau tidak melihat kami berja... Jackfroze?! Maksudku, Pak Fajar?” dengan cepat Sisi mengubah nada suaranya saat pria yang menabrak mereka_lebih tepatnya
Jingga_ mendongak dan memperlihatkan wajahnya.
“Kau memanggilku apa? Jackfroze?” tanya Pak Fajar dingin.
“Ah..bukan apa-apa. Maafkan kami telah menabrak Bapak”
dengan menyesal Sisi meminta maaf sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sial! Kenapa harus keceplosan di hadapan
orangnya sendiri!, batin Sisi.
“Benar. Maafkan kami” sambung Jingga.
“Tak masalah. Permisi, saya buru-buru” Pak Fajar segera
pergi menuju mobilnya yang diparkir di seberang restoran.
“Tunggu!
Barang bapak ketinggalan” teriakan Jingga membuat Pak Fajar kembali membalikkan
badannya dan berjalan menuju Jingga dan Sisi lagi untuk mengambil mapnya yang
ketinggalan.
“Terima
kasih”
***
“Jingga,
kalau dipikir-pikir, kenapa
Pak Fajar tadi malam-malam ke restoran, tapi pergi kembali sebelum sempat
masuk?”
“Karena kita menabraknya?”
jawab Jingga asal. Mereka sedang berada di bus menuju apartemen Jingga. Sisi
memang sering menginap di apartemen Jingga jika mereka pulang larut setiap shift
malam.
“Kau
bercanda..? Huuh..” dengan malas Sisi
kembali menutup matanya untuk sedikit beristirahat sebelum sampai di apartemen
Jingga.
“Haha..lebih
baik kau tidur saja. Aneh! Tiba-tiba menanyakan si Jackfroze” omel Jingga.
“Tunggu,
bukannya sebentar lagi
weekend? Bagaimana kalau kita
pergi refreshing?” tiba-tiba Sisi bangun kembali dan menyatakan idenya dengan
semangat.
“Refreshing?
Kedengarannya seru. Ayo, akan kemana?” respon Jingga tak kalah semangat.
“Hmm..bagaimana
kalau kita pergi shopping? Sudah lama sekali kita tak membeli baju-baju
baru. Bagaimana?” usul Sisi.
“Boleh.
Dimana? Jam berapa?”
“Aku
tau satu tempat bagus yang menjual baju-baju baru tapi terjangkau. Kalau jam, malam
saja?”
“Baiklah,
aku percaya denganmu”
***
Pagi
menyapa. Dengan hampa Jingga berjalan dari
halte bus menuju restoran tempatnya bekerja.
Sisi sudah berangkat dari tadi karena dia mempunyai shift pagi hari ini. Jingga berusaha mengalihkan pikirannya yang selalu
muncul setiap kali ia berjalan sendirian, ketika tidak pernah terpikir olehnya
akan sesusah ini hanya untuk berjalan. Saat dirinya sudah berhasil mengalihkan
pikirannya, lagi-lagi ia mendengarkan hal yang benar-benar tak ingin
didengarnya.
“Aduh,, cantik-cantik kok pincang sih?”
“Itu kan mantan model terkenal itu?”
“Benar juga. Si Jingga Cahaya itu ya? Kasihan banget,
dulu model sekarang gembel”
Sakit. Pertahanan yang sudah susah payang Jingga bangun,
hancur berantakan hanya dalam sekejap. Cukup sudah, sekarang ia benar-benar
benci. Benci terhadap dirinya yang cacat, benci kepada orang-orang yang
seenaknya menghujatnya, dan tentu saja benci kepada siapa yang telah membuatnya
seperti ini. Saat Jingga sibuk dengan kebencian-kebencian yang menguasainya,
sebuah motor berjalan cepat menuju arahnya. Jingga sendiri hanya mampu pasrah
di tempat. Mungkin ini benar-benar akhir dari kehidupannya.
“Awas..!” Sebuah tangan menarik tangan Jingga menepi.
“Te..terima..kasih” ucap Jingga dengan tubuh bergetar,
sambil terus menunduk.
“Kalau jalan, jangan melamun! Masa motor lewat kau tidak
lihat?”
“Pak.. Pak Fajar?” setengah terkejut Jingga mendongak
untuk memastikan suara dingin yang didengarnya tadi benar-benar milik atasannya
itu.
“Lain kali hati-hati!” balas Pak Fajar singkat.
“Ya.. Sekali lagi terima kasih Pak” ujar Jingga saat Pak
Fajar meninggalkannya menuju restoran miliknya yang hanya berjarak beberapa
meter saja dari tempat Jingga tadi.
“Ya ampun Jingga. Kau tidak apa-apa?” Tiba-tiba Sisi
datang dengan raut cemas. Ia bisa melihat apa yang barusan terjadi dari arah
restoran, dan segera berlari saat ia melihat Pak Fajar telah menyelamatkan
Jingga.
“Aku tak apa”
“Kau membuatku cemas saja. Kenapa kau hobi sekali
membahayakan dirimu?”
“Maafkan aku. Aku memang ceroboh”
“Ya sudah. Sekarang ayo ke restoran”
“Hmm..”
***
Dua hari kemudian..
Lagi-lagi Jingga merasakan Sisi bersikap aneh. Seringkali
ia merasakan tatapan janggal Sisi terarah kepadanya. Setiap kali ia memalingkan
wajahnya menghadap Sisi, dengan cepat sahabatnya itu langsung mengalihkan pandangannya dari Jingga. Aneh!
“Jingga, ada yang ingin kukatakan kepadamu” tiba-tiba
orang yang dibingungkan Jingga tadi sudah berada di hadapannya dengan wajah
penuh beban.
“Katakan apa?”
“Entahlah. Aku tak
tau bagaimana memulainya. Tapi.. ini serius”
“Baiklah. Akan
kudengarkan” wajah Jingga berubah menjadi lebih tertarik.
“Sebenarnya sudah
lama ingin kukatakan, tapi aku belum siap, dan.. tidak ada waktu yang tepat”
“Jadi..?”
“Sebenarnya dari
dulu aku sangat iri kepadamu” ucap Sisi lirih.
“Benarkah? Tak ada
yang pantas kau irikan dariku Sisi” potong Jingga setengah tertawa.
“Kau bercanda?
Banyak sekali yang bisa membuat orang lain iri kepadamu. Tapi... tentu saja
sebelum kecelakaan itu terjadi”
“...”
“Kuakui, aku
sangat sangat iri kepadamu jauh sebelum kau menjadikanku sahabatmu. Kau cantik,
kau pintar, kau baik, dan kau kaya. Sedangkan aku? Terlahir untuk menderita”
nada suara Sisi naik turun oleh emosi yang susah dikendalikannya.
“Sisi..
tenanglah.. ”
“Tapi kau memang
terlalu baik. Bahkan kau mau berteman denganku yang dulu culun, miskin, tak
punya teman. Kau jadikan aku sahabatmu dan menganggapku sama denganmu.
Seharusnya aku menghilangkan rasa iri itu, tapi kau tau? Rasa iri itu tak
pernah hilang setitik pun dari hatiku sampai detik ini” Sisi berusaha mengatur
napasnya yang mulai naik turun tak beraturan.
“Kau serius? Aku
tak pernah tau tentang ini sebelumnya”
“Tentu saja!
Karena kau terlalu lugu, dan aku terlalu licik untuk menyembunyikan semuanya
darimu. Aku tetap iri saat kau juara pertama dengan mudahnya, saat aku dengan
susah payah belajar dan hanya mendapatkan tempat kedua. Aku juga iri denganmu
yang punya banyak teman, disayangi guru, idola semua pria. Aku iri denganmu
yang menjadi primadona sekolah dimana pun kau berada! Aku iri denganmu yang
lulus seleksi cheerleader dengan mudahnya seperti menjentikkan jari. Sedangkan
aku? Kau tau betapa susahnya aku berlatih terlihat cantik dihadapan
senior-senior yang menjadi juri?! Kau tau betapa beratnya bagiku untuk meniru
gayamu yang menarik perhatian senior-senior itu bahkan hanya dengan melihat
senyummu itu?! Tapi aku, dilirik pun tidak, apalagi lulus seleksi”. Diam
sejenak. Sisi tak tau akan seberat ini untuk menyampaikan perasaan yang selama
ini membebaninya.
“Aku benar-benar
tak tau ini sebelumnya..” ucap Jingga lirih.
“Tunggu, masih
banyak keirian lainnya yang belum kusebutkan Jingga. Dengarkan ini baik-baik.
Aku iri saat kau diundang untuk melanjutkan SMA di sekolah favorit, sedangkan
aku belajar mati-matian agar lulus seleksi di sekolah yang sama. Aku iri kau
langsung menjadi pusat perhatian di hari pertama kita sekolah, aku iri senior
yang kusukai malah menyatakan cinta padamu. Padahal tak seharusnya rasa iri itu
ada setelah yang kau perbuat kepadaku selama itu. Dan yang paling penting, aku
sangat tidak bisa menghilangkan rasa iriku saat kau akhirnya ditawarkan menjadi
model disalah satu majalah terkenal, impianku dari kecil..
“Bahkan aku
pura-pura sakit di hari pemotretan pertamamu, karena takut tak akan sanggup
menahan kebencianku dihadapanmu. Sampai kecelakaan tak terkira itu menimpamu,
aku tak tau apa yang harus aku lakukan. Senang atau sedih. Senang karena tak
ada lagi yang pantas kuirikan darimu, sedih karena kau adalah sahabatku
satu-satunya. Tapi jujur, aku tidak bisa mementingkan egoku untuk
meninggalkanmu saat itu. Aku sadar kalau aku benar-benar menyayangimu sebagai
sahabat. Setelah kau kehilangan karirmu, kehilangan fans-fansmu, kukira tak ada
lagi yang akan kuirikan darimu, tapi aku salah. Kau tetaplah Jingga yang
membuat iri banyak orang. Kau tak kehilangan kecantikanmu, tak kehilangan
kebaikan hatimu. Aku tetap iri karena pria rahasiaku lebih tertarik kepadamu
setelah kau bekerja di tempat yang sama denganku” Sisi benar-benar tak tahan
lagi sekarang, air mata sudah membanjiri wajahnya.
“Aku tak bermaksud
merebut apa yang kau suka selama ini Sisi. Sungguh..”
“Tapi yang paling
penting dari semua yang ingin kukatakan,
bahwa... aku tau siapa yang menabrakmu..” sesak di dada Sisi bertambah setiap
detiknya. Hening. Untuk beberapa saat Jingga merasa seakan ia baru saja ditimpa
beban seberat satu ton, sakit! Rasa dendam itu kembali muncul menguasai diri
Jingga, mengingat penderitaan yang harus ditanggungnya karena orang sialan yang
telah menabraknya itu.
“Ka.. kau
se..rius? Tapi, kau tak pernah memberitahuku selama ini.. Kenapa?!” setetes air
mata terjatuh dari mata Jingga.
“Ingin sekali
rasanya kukatakan padamu, jika pelakunya bukan ayahku sendiri Jingga” hening
sejenak. Sisi menarik napasnya dalam-dalam, bersiap akan apapun yang akan
terjadi setelah ini. “Kuperjelas, ayahkulah yang telah menabrakmu”
“Ayahmu?” tanya
Jingga lirih.
“Tapi jangan
salahkan ayahku, jangan benci dia. Akulah orang yang pantas kau benci. Saat
ayahku akan menyerahkan diri, karna tau yang ia tabrak seorang model terkenal
dan sahabat anaknya sendiri, aku malah melarangnya dan menyuruhnya untuk
bersembunyi saja. Aku tak ingin hidupku bertambah buruk dengan ayahku
dipenjara, dan aku tau kau tak akan mencari tau siapa pelakunya karna kebaikan
hatimu itu. Tapi kau tau? Aku salah, bukan itu yang diinginkan ayahku. Ayahku
memiliki hati yang bersih, tak sama denganku, bersembunyi memperburuk
keadaannya. Ayahku jatuh sakit enam bulan kemudian, diakhir hidupnya sekali pun
penyesalan itu tak berkurang seujung kuku pun. Ayahku meninggal setelah satu
tahun menderita karna sakitnya
“...”
Maafkan aku. Sungguh maafkan aku..”
“Kau.. kenapa kau tak pernah bilang padaku? Kau tau
berapa besar benciku terhadap segala ketidak normalanku ini? Berapa besar
benciku kepada orang yang membuatku seperti ini? Demi tuhan, kau sendiri yang
membuatku memupuk rasa benci ini. Jika saja dari dulu kau terus terang
kepadaku, rasanya mungkin tak sesakit ini” Jingga menatap Sisi nanar.
“Aku menyesal
Jingga, sangat menyesal.. Kukira akan semudah itu, tapi aku salah..” Sisi terus
berusaha meredakan tangisnya.
Seseorang berusaha menahan air mata dan sakit di dadanya
dari luar pintu kasir.
***
“Ayolah Jingga ! Ternyata kau benar-benar lambat ya?
Hahaha..” dengan iseng Sisi menggoda Jingga yang langsung mengubah ekspresinya,
cemberut. Setelah pengakuan Sisi yang mengejutkan tadi, Jingga memilih untuk
berbesar hati memaafkan segala yang telah tertingal di belakang. Walaupun
sulit, dia akan berusaha. Karena itu, Jingga tetap melanjutkan janjinya bersama
Sisi minggu ini, shopping!
“Sabar sedikit kenapa. Tapi kau yakin masih buka? Ini sudah
malam”sahut Jingga yang tertinggal beberapa langkah di belakang Sisi.
“Tenang saja. Tempat yang aku maksud buka 24 jam kok”
jawab Sisi sumringah sambil menunjuk ke seberang jalan, tempatnya dan Sisi akan
bersenang-senang nanti.
Pandangan Jingga mengikuti arah yang ditunjuk Sisi. Red Store ! Seketika Jingga terheyak.
Kejadian dua tahun lalu kembali berputar di kepalanya. Malam hari, kendaraan yang ramai, dan Red Store! Semuanya persis
sama.
Jingga mengalihkan pandangannya kembali ke Sisi. Ia
tampak sedang merogoh tas tangannya lalu mengeluarkan sesuatu dan
menempelkannya di telinga kanannya. Bahkan sekarang kejadiannya benar-benar
sama, Sisi menyeberang sambil berbicara ditelepon. Tapi ia kemudian berbalik
lagi, “Ayo cepat !” ujarnya singkat. Ia tak melihat wajah Jingga yang sudah
berubah seputih salju.
“Sisi, sebenarnya... Sisi awas..!!” belum sempat Jingga
mengutarakan isi hatinya, sebuah truk pengangkut minyak bumi melintas cepat dan
menghantam tubuh mungil Sisi. “Sisi....!!” Dengan gemetar Jingga menhampiri
tubuh Sisi yang telah tergolek lemah, dikerubungi orang-orang yang hendak
menolong atau pun sekedar menonton.
“Jing...ga.. Ma...maaf “ susah payah Sisi terus
mengucapkan maaf ditengah kesulitannya untuk tetap bertahan. Darah mengalir
deras dari pelipis dan kepala belakangnya.
“Sisi.. ini aku, Jingga. Kau berdarah Sisi, kau tak apa?”
Jingga meraih tubuh Sisi lemah dan menangis direngkuhannya. “Kenapa seperti
ini. Bukannya kau berjanji akan bresenang-senang malam ini? Aku sudah
memaafkanmu Sisi”
“Ma..maaf”
“Kau tau? Tempat yang kau maksud itu, sama dengan toko
yang akan kukunjungi malam itu, dua tahun lalu. Tak kusangka akan seperti ini, kalau tau begitu
aku takkan mengiyakan ajakanmu kemarin” isakan Jingga bertambah keras.
“Tak a..pa. Yang pen..ting kau sudah tau semuanya.
Mungkin Tu.han langsung mem..balasku dengan cara yang sa..ma” dengan
terbata-bata Sisi tetap menjawab Jingga.
“Tidak.. Tidak seperti ini. Aku belum memberitahumu
banyak hal. Baikalah, akan kuberitahu sekarang saja” hening sejenak, Jingga
menyeka air matanya yang tak berhenti mengalir. Semua orang turut diam
memperhatikan apa yang terjadi. “Akan kujelaskan kesalah pahamanmu selama ini.
Kau salah karena iri denganku yang selalu mendapatkan juara, banyak teman,
disayangi guru, idola para pria, kau SALAH ! Bukan aku yang menginginkan semua
itu, kau tau rasanya dituntut? Itu yang kurasakan selama itu. Aku dituntut
untuk selalu juara, dan terkenal di sekolah. Bahkan sebenarnya dulu aku adalah
anak yang sangat pemalu, kuper, terasingkan. Aku sangat tersiksa harus
berpura-pura untuk tak menjadi diriku sendiri Sisi. Tanteku mengancam akan
mencabut beasiswamu jika aku tidak menuruti perintahnya, dari dulu tanteku
memang terobsesi ingin menjadikanku seorang model, hal yang paling kubenci
dulunya. Ya, tantekulah yang membiayai seluruh biaya sekolahmu dari SMP, aku
yang memintanya saat tau kau tidak diterima karna tak punya biaya. Setelah kau
akhirnya bersekolah disana, aku langsung mencarimu dan bersumpah akan berteman
baik denganmu. Itu yang terjadi.
Dan aku benar-benar berubah setelah itu. Masuk
cheerleader juga karena permintaan tanteku, dan tetap bertahan walaupun semua
senior membenciku. Aku yang memohon agar kau tak diterima, supaya kau tidak
merasakan sakitnya disiksa senior-senior itu. Dan tentang aku yang diundang
masuk SMA, itu juga kerjaan tanteku. Sebenarnya kau tak perlu belajar begitu
keras, karena pada akhirnya kau akan diterima juga. Tentang model, sudah
kubilang itu semua ambisi tanteku sedari dulu. Aku akhirnya menerimanya karena
punya rencana lain. Setelah aku sukses menjadi model nanti, aku akan mempromosikan
dan membawamu masuk dengan mudahnya. Tapi tuhan punya rencana lain. Dihari aku
akan memberitahumu bahwa kau akhirnya ditawarkan bergabung di studio tempatku
bekerja, kecelakaan itu terjadi. Menemaniku membeli gaun terpenting, itu hanya
alasanku agar kau mau menemaniku karena akhir-akhir itu kau sangat sibuk
mengurus ulang tahun restoran tempatmu bekerja” Pengakuan Jingga benar-benar
membuat Sisi terkejut.
“Dan satu hal yang penting kau ketahui. Kau salah jika
iri karena pria rahasiamu itu lebih tertarik kepadaku, karena kau tau? Dia
bahkan sudah menyukaimu jauh sebelum kau sadar kau menyukainya. Hari aku
kecelakaan, dia memanggilmu bukan? Untuk menyatakan perasaannya, tapi tepat
sebelum ia mengatakannya, telepon jika aku kecelakaan menundanya. Dan kau
langsung berlari meninggalkannya setelah itu, tak peduli jika ia pria yang kau
sukai sekali pun. Ya Tuhan, kau iri kepada adik pria yang kau sukai sendiri
Sisi” Jingga menghela napasnya berat.
“Kau bilang kau adik pria ra..hasiaku? Kau adik Pak
Fajar?” wajah Sisi benar-benar terkejut sekarang. Tubuhnya masih terbaring
lemah dengan rengkuhan tangan Jingga di punggungnya.
“Benar. Dua hari yang lalu, setelah kakak
menyelamatkanku, akhirnya ia mengaku kalau ia kakakku yang sudah lama dibuang
orang tuaku karena waktu itu orang tuaku sangat miskin dan tidak punya biaya
untuk merawat kakakku. Sembilan tahun kemudian aku lahir saat kondisi ekonomi
keluargaku sudah sangat stabil. Dan yang membuatnya tertarik padaku, karena aku
punya nama yang mirip dengannya, ia tau aku saat mengikutimu ke rumah sakit
untuk melihatku. Fajar Cahaya dan Jingga Cahaya. Setelah itu, kakak mulai
menyelidiku. Tapi baru sangat yakin saat ia menyelamatkanku dua hari yang lalu.
Ia melihat gelang yang sama dengan miliknya di pergelangan tanganku” napas
Jingga tambah tak beraturan lagi. Genggaman tangannya ke Sisi bertambah erat.
“A..ku sungguh me..nyesal telah hi..dup dengan ra..sa iri
kepa..damu Jingga” Sisi balas menggenggam tangan Jingga lemah. “Kau
mem..beritahu Pak Fajar siapa yang te..lah menabrakmu?” tanya Sisi bertambah
lemah.
“Tidak. Tidak akan. Dia bilang sudah bersumpah akan membunuh
siapa pun yang telah menabrakmu, dan aku tau dia tak pernah main-main dengan
ucapannya. Tapi, dia juga merasa bersalah, ia menganggap turut ambil andil
dalam penyebab kecelakaaku itu, coba saja ia tak memanggilmu waktu itu, mungkin
kau ada di sampingku waktu itu dan kecelakaan itu tidak terjadi. Tapi siapa
yang tau, buktinya sekarang saat aku di sampingmu pun, kau tetap ditabrak truk
terkutuk itu. Mengapa truk-truk besar itu hobi sekali menabrak orang seenaknya?!”
dalam kekalutannya, Jingga tetap berusaha meredakan kondisi saat ini.
“I..tu karena aku me..mang pantas dihu..kum se..perti
i..ni Jingga” ucapan Sisi semakin terdengar melemah. “Maafkan se..mua
kesa..lahanku sela..ma i..ni. Dan te..rima ka..sih telah ha..dir dalam hidupku.
A..ku sungguh be..runtung pernah menge..nalmu. Jingga...” genggaman Sisi
melemah, sampai tak terdengar lagi isakan tangisnya.
Suara ambulans tiba-tiba terdengar memenuhi pendengaran
Jingga. Sisi sudah tergolek kaku didekapannya. “Sisiiii.... !!” tangis Jingga
bertambah kencang sambil menggoyang-goyangkan tubuh Sisi, sia-sia ! Bahu Jingga
terus bergetar hebat. Ia mendongakkan kepalanya untuk menghapus air mata yang
sudah membanjiri wajahnya dari tadi. Sekelebat bayangan yang dikenalnya
tertangkap oleh sudut matanya.
Seseorang berdiri kaku diseberang jalan sana, tepat di
depan Red Store. Ekspresinya sulit diartikan. Sedih ? Lega ? Menyesal ?
Tiba-tiba ujung bibirnya tertarik sebelah ke atas, senyuman sinis. Untuk
terakir kalinya orang itu tersenyum tulus dan menundukkan badannya meminta
maaf, setelah itu ia berjalan pelan menyebrangi jalan di hadapannya. Sirine
ambulans semakin terdengar jelas ditelinga Jingga. Saat itu orang tadi
tiba-tiba hilang dari pandangan Jingga, tubuhnya telah dihantam oleh badan
ambulans tadi. Dihari yang sama, dua orang yang Jingga sayangi meninggalkannya
untuk selamanya.
“Kak Fajaaaar...!!”
No comments:
Post a Comment