Al Hafidh Ramadhan
“Segala sesuatunya
diawali dengan sebuah pertemuan.” Kau mulai bercerita, bibirmu yang kering dan
berkerak bergerak malas.
“Baru kemaren rasanya.
Laki laki itu datang, saat itu aku sedang membantu Apak membuat teh talua di
kedai domino depan rumah, siang itu terik, sangat panas, bahkan rasanya lebih
panas dari air panas menggelegak yang kucampurkan dengan bubuk teh, dan ku
tuang ke dalam segelas kuning telur yang ku kocok hingga memutih.” Engkau
menghela nafas, merapikan kerudung putihmu yang tak lagi putih.
“Mungkin kau bingung,
mengapa aku menggunakan perumpamaan itu. Ya, apalah yang diketahui seorang
gadis kampung tak lulus SMA yang hanya bisa membuat teh talua di kedai Apaknya,
selain teh talua itu sendiri.” Bibirmu
sedikit terangkat, menambah keriut di wajah lelah penuh debu milikmu.
“Saat itulah pertama
kali aku melihat laki laki itu. Ia hanya duduk diam di pojok kedai. Tenang,
sangat kontras dengan kebisingan yang diciptakan bapak bapak tambun bersinglet
yang tertawa dan membanting domino tak jauh dari tempatnya duduk. Dan
ketenangan yang dihadirkannya membuatnya tampak mencolok dan menarik.”
Tertangkap secercah perasaan yang terlintas di wajahmu. Dulu, aku dapat
menjumpainya di mata bening cokelatmu, yang kini tergantikan oleh rongga kosong
yang terkatup.
“Laki laki itu tampak
lusuh. Bajunya, celananya, rambutnya, bahkan wajahnya tampak lusuh dan berdebu.
Tapi, ada satu hal dari laki laki itu yang menarik perhatianku.” Engkau
menghela nafas,menggantungkan kata di udara.
“Mata hitam yang dalam
dan terjamah. Yang terlihat sendu saat itu.” Hening. Entah mengapa hanya
keheningan yang dapat kutangkap di tengah keributan dan carut marut pasar yang
sesak dan menyesakkan.
“Hari hari indah itu
terus berlanjut, laki laki itu terus datang. Jam dua lewat lima, tak pernah
terlambat, tak juga terlalu cepat. Ia selalu duduk di pojok, selalu memesan
segelas teh talua, selalu berpakaian
lusuh, selalu termenung, dan selalu tampan.” Keriuhan mengunjungi setiap sudut
pasar raya, menyulap lapak lapak dagang dengan tawar menawar dan senda gurau,
kehidupan terasa ramai dan menyenangkan. Tapi, keriuhan itu lupa mengunjungi
sebuah meja di pojok lapau dua meja milik Mak
Itam. Hanya ada kau, aku, dan dua
piring bekas lontong gulai yang teronggok sepi.
“Minggu pertama, hanya
ada senyum dan tatapan canggung, minggu kedua, kami bertukar senyum dan sapaan,
minggu ketiga, kami berbagi keluh dan kesah, dan di minggu keempat...” engkau
terdiam, dapat kubayangkan mata kosongmu menerawang, mengunjungi kembali sebuah
tempat, dan suatu masa.
“Ia menawarkanku sebuah
pernikahan.” Tangan keriputmu bergerak, menyentuh jari manis tangan kirimu,
dapat ku bayangkan, dulu kau menyarangkan cincin perkawinanmu disana.
“Mungkin kau tak habis
pikir, bagaimana bisa orang yang baru sebulan bertemu memutuskan untuk menikah,
bahkan tanpa pikir panjang dan persiapan. Aku juga bingung, tapi, apalah yang
dapat dilakukan seorang gadis yang terlenakan oleh cinta. Ya, aku menerima
tawaran yang diajukannya.” Butiran butiran keringat mulai timbul di pori pori
wajahmu, dapat kulihat baju penuh debu dan kotoran yang kau kenakan lembab
akibat peluh. Diluar tenda kecil ini, matahari menguliti setiap pengunjung
pasar yang terjemur. Kupesankan dua gelas teh
talua, satu untukku, dan satu untukmu, pada Mak Itam yang yang sibuk dengan piring kotor dan sebaskom air.
“Ternyata segala sesuatu tak selalu berjalan
indah. Apak tak mengizinkan
perkawinan kami, alasannya?. Alasan klasik. Uang. Laki laki itu adalah seorang
kuli bangunan, gaji seorang kuli tak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga,
sebagi anak semata wayang, wajarlah bila Apak
mengatakan hal itu, Apak harus mencari
menantu yang layak, mencari menantu yang pantas. ” Mak Itam beranjak dari piring piringnya, menyibak gorden, dan
mengambil sebutir ayam kampung, tangan tuanya mengambil sendok, dan memukul
pelan pucuk telur, menghasilkan lubang kecil di ujung telur, diambilnya cangkir
palstik kecil, dan menuangkan putih telur kedalamnya.
“Jujur, aku tahu Apak benar, dan sebagai seorang anak,
tak pantas rasanya aku membantahnya, tapi, aku bersikeras, berusaha membujuk Apak, meminta, dan memohon padanya. Kata
orang, cinta itu butuh pengorbanan, dan kurasa, yang kulakukan adalah sebuah
pengorbanan. Sampai, satu hari, Apak
marah besar, dan menyuruhku memilih, antara Apak,
atau laki laki itu.” Mak Itam selesai
mengeluarkan putih telur, diambilnya gelas kaca, merobek cangkang telur itu
lebih besar, dan menuangkan bagian kuningnya ke dalam gelas. Dapat kulihat, Mak Itam memasukkan tangannya ke dalam
gelas, mengambil pecahan cangkang yang tak sengaja masuk ke gelas , dan
mengelap tangannya di pada daster berenda yang ia kenakan.
“Setelah kejadian itu,
aku tak lagi membicarakan hal itu pada Apak,
saat ku bertanya pada Amak, yang
terbaring sakit di kasur, perempuan tau itu hanya menggeleng pelan, Amak tidak bisa melakukan apa apa,
segala keputusan berada di tangan Apak,
sebagai kepala rumah tangga, dan satu satunya laki laki di rumah. Dan sejak
saat itu, aku mencoba untuk berhenti berharap.” Mak Itam menyalakan mixer,
menghasilkan dengung mesin yang berputar, dan mulai mengaduk gelas yang berisi
kuning telur dan campuran dua sendok gula pasir.
“Sampai laki laki itu
datang, kembali duduk di tempat yang sama, memesan minuman yang sama, tapi,
kali ini, laki laki itu membawa kabar yang berbeda. Ia mengajakku merantau,
meninggalkan kampung, dan tinggal di padang, tabungannya sudah cukup untuk
setidaknya ongkos, dan biaya kontrak rumah beberapa bulan, ujarnya kali itu.”Mak Itam meninggalkan dua gelas kuning telur yang telah memutih, dan berbusa.
Tangan tuanya merendam bubuk teh, dengan air panas dari termos plastik berwarna
merah.
“Tiga hari aku
berpikir, memperhitungkan segalanya, kubayangkan diriku seperti putri dalam
dongeng dongeng lama. Dalam kisah itu, putri itu menjumpai pangeran, jatuh
cinta, dan memutuskan untuk menikah, tapi, sang raja tak merestui, hingga
akhirnya sang putri memutuskan untuk pergi bersama pangeran tampan pujaan
hatinya, dan di akhir kisah itu, mereka hidup bahagia selamanya. Dan tepat di
hari ke tiga, aku memutuskan untuk pergi.”
Mak Itam meletakkan saringan
teh di bibir gelas yang berisi telur, dan menuangkan cairan teh yang tadi
direndamnya ke gelas tersebut. Dapat kulihat cairan putih yang berbusa itu naik
ke permukaan, dan berhenti tepat sebelum tumpah.
“Hari itu, Apak tak lagi marah,ia hanya diam,
seolah tak peduli, padahal dapat kulihat kegetiran yang mendalam di mata
tuanya. Tapi, saat itu tekadku telah bulat, dan aku tak akan mundur. Aku pamit,
menyalami Apak dan Amak. Mungkin bukan keputusan yang
tepat, tapi aku tetap berangkat, membawa segunung harapan, dan rasa bersalah
yang sama besarnya. Kata orang, cinta itu butuh pengorbanan.” Mak Itam membuka kulkas, mengambil susu
kental cokelat dan jeruk nipis, di tuangkannya susu cokelat, dan dipotongnya
jeruk nipis tipis, dan mencipratkan sedikit airnya ke atas teh talua. Supaya tidak terlalu amis, katamu dulu.
“Di padang, kami mulai
menjalani hidup, langkah, demi langkah. Laki laki bermata dalam itu telah
menjadi suamiku, dan kami mengontrak rumah kecil tak jauh dari pasar raya ini,
bulan bulan awal dapat terjalani dengan tabungan laki laki itu yang semakin lama
semakin tipis, hingga ia mendapat sebuah pekerjaan, ia bekerja sebagai supir
angkot. Gajinya tidak besar, memang. Tapi, setidaknya cukup untuk makan, dan sewa rumah.” Teh
talua itu kini terhidang di hadapanmu, busanya sedikit melimpah, membasahi
piring putih kecil yang mengalasi minuman itu, dapat ku hirup aroma teh, serta
sedikit bau amis yang menguar.
“Ternyata kehidupan tak
sesempurna kisah dongeng dongeng lama, hari demi hari berjalan bahagia dan
sederhana, hingga suatu hari aku mendapati diriku hamil. Seperti semua
keluarga, kami bahagia mendengarnya, karna sebuah keluarga dapat dikatakan
sempurna dengan hadirnya seorang anak. Tapi, sebuah kehidupan memiliki harganya
sendiri, dan bagi keluarga kecil kami, harga itu sangatlah mahal. Sejak saat
itu, laki laki itu mencari pekerjaan yang lebih layak, mencari, dan terus
mencari.” Tanganmu meraba raba, mencari segelas teh talua yang terhidang di atas meja kayu beralas karpet plastik
cokelat bermotif kotak kotak. Tanganmu berhenti sesaat setelah membentur gelas,
dan menumpahkan sedikit isinya ke atas meja. Kau mulai minum, teguk demi teguk,
kau berhenti pada teguk ketiga. Meletakkan gelas yang tinggal setengah ke atas meja,
dan mengelap busa telur di bibirmu dengan ujung kerudung lusuh yang kau
kenakan.
“Suatu hari ia pulang,
membawa sebuah cerita tentang uda Buyuang
dan jakarta, cerita tentang uang, dan pekerjaan, cerita tentang perantauan. Dan
di akhir ceritanya, sebagai penutup, ia memohon izin dan restuku untuk pergi
merantau ke Jakarta.” Kucicipi segelas teh
talua yang terhidang. Hangat, ada rasa manis, asam, dan sedikit amis. Tidak seenak punyamu dulu, pikirku,
kuseka busa putih kekuningan yang tersangkut di kumis tebalku.
“Saat itu kandunganku
telah berumur tujuh bulan, dalam lubuk hatiku yang terdalam, aku sama sekali
tak menginginkannya pergi, bagaimana cara aku mengurusi diriku dan kehamilanku
yang sudah sebesar bola kaki. Tapi, demi mata hitam yang dalam itu, aku mengalah.
Kata orang, cinta itu butuh pengorbanan. ” kau tampak haus, kutuang teh talua di gelasku, ke gelasmu,
membuatnya penuh kembali.
“Anak kami lahir tanpa
kehadiran seorang ayah, laki laki berata dalam itu tak kunjung kembali. Namanya
Ainul, anak yang cantik, tapi, kisah
hidupnya tak secantik paras dan budinya, sejak masih bayi, rasanya ia tak
pernah mencicipi kehidupan yang layak, baik materi maupun kasih sayang. Satu
per satu barang yang kami miliki tergadai agar dapat hidup dan bernafas, di
mulai dari cincin perkawinan, hingga tak ada lagi yang dapat tergadai. Dan pada
akhirnya, kami terpaksa tidur beralas kardus.” Tanganmu meraih gelas, kau tak
lagi perlu meraba raba, kau masih ingat dimana kau meletakkannya tadi. Kau
sedikit kaget, menyadari gelasmu yang terasa lebih berat, tapi kau urung
bertanya , dan tetap meneguknya, kau berhenti pada teguk kedua.
“Ainul tidak tumbuh
seperti anak anak lainnya, ia hidup di lingkungan kumuh di sudut sudut pasar
raya. Aku tak mengajarinya matematika, tapi aku mengajarinya kata kata dusta.
Agar dapat makan, kami harus berbohong, aku berpura pura seperti orang buta,
membawa tongkat dan ember plastik ke mana mana persis seperti yang kau lihat
saat ini, sedangkan Ainul berpura pura menjadi pambimbingku. Bersama, kami
mengunjungi kedai demi kedai di pasar raya ini, menukarkan dusta dan doa doa
dengan kepingan rupiah. ” Kuseruput teh
talua yang tersisa di gelas, menghabiskan airnya, meninggalkan jejak jejak
busa di sisi dalam gelas itu, dan meletakkannya kembali di atas piring kecil.
Kelezatan teh talua hanya dapat kau
temukan saat masih hangat, ujarmu dulu.
”Rutinitas itu
berlangsung setidaknya dua tahun. Hingga suatu sore menjelang maghrib, hari
itu, dusta kami tak lagi laris, hanya ada empat keping uang seribu, lima keping
uang lima ratus, dan puluhan uang seratus. Kami berjalan cukup jauh, tak lagi
di lingkungan pasar raya. Senja yang sepi dan menenangkan, hingga, sebuah mobil
yang melaju kencang merenggut semuanya dariku.” Tangan kananmu bergerak gerak
gugup, mengelupas karpet plastik yang mengalasi meja kayu.
“Sejak saat itu,
semuanya tampak hampa dan tak bernyawa, tak ada lagi Apak, tak ada lagi teh talua,
tak ada lagi laki laki bermata dalam, dan yang paling kusesali, tak ada lagi
Ainul. Dan sejak saat itu, aku tak lagi percaya pada kata orang yang berkata
cinta itu membutuhkan pengorbanan.” Kau menghela nafas, tubuhmu bergetar, kau
ambil teh talua di atas meja dan
menenggaknya sampai habis. Kau menghabisinya dalam empat teguk.
“Dan sejak saat itu,
aku tak memiliki apa apa selain tongkat, dan ember plastik ini, aku bahkan tak
memiliki bola mata untuk sekedar mengeluarkan air mata.”tanganmu bergerak,
meraba tempat duduk kayu di samping kirimu, dan menemukan tongkat, dan ember
plastikmu di sana.
“Sedih bukan? Kau boleh
tidak percaya atas semua yang kuceritakan, aku tidak menuntutmu untuk percaya, terima
kasih untuk lontong dan teh teluanya, semoga kebaikanmu dibalas oleh Tuhan.”
Kepalamu menunduk berkali kali, kau mulai berdiri, tanganmu menggerak gerakkan
tongkat, mencari celah di antara kursi dan meja, gerakanmu terhenti saat
tangangku memegang tanganmu.
Kau terlihat bingung,
dan berusaha melepaskan diri, tapi tanganku jauh lebih kuat dan akhirnya kau
menyerah. Kuarahkan tangan kananmu menyentuh wajahku.
Tanganmu bergerak,
mulai meraba, menyentuh hidung, kumis, pipi, bibir, dahi, tanganmu tehenti,
kulihat sekilas raut wajah kaget dan tak percaya disana, tanganmu kembali
bergerak, mencoba memastikan, dan terus meraba, hingga kau menyadari sesuatu dan
meyakininya. Tanganmu bergetar. Aku tak dapat
mengartikan ekspresi yang kau tampilkan di wajahmu, ada rindu, luka, benci,
kaget, bingung, takut, entahlah. Terlalu kompleks untuk dapat kumengerti.
Kau berlari, menabrak
kursi kayu, dan terjatuh, menjatuhkan ember birumu, dan menyerakkan recehan di
dalamnya, kau berdiri lagi, dan mencoba berlari, tapi kau kembali terjatuh,
tersangkut tongkat kayumu sendiri, kau mencoba berdiri lagi, tapi terlambat,
tanganku telah sempurna memeluk erat tubuh kecilmu.
Kau mencoba meronta,
memukul, menendang, dan menjerit. Orang orang yang berlau lalang berhenti
sejenak, hanya sekedar mengambil gambar, atau mendengus jijik. Di dalam kedai
dua meja ini hanya ada kau, aku, dan Mak Itam
yang mematung di pojok.
Kau terus meronta.
Butuh enam menit untuk
akhirnya kau menyerah, dan larut dalam pelukan. Membiarkan diriku memelukmu,
membiarkanku menghirup aroma sampah, keringat, dan kotoran dari tubuh kurusmu
yang bergetar. Di dadaku, kau menumpahkan segalanya, luka, rindu, benci,
semuanya. Tapi, kau lupa menumpahkan sesuatu. Air mata.
Hari itu mengajariku
satu hal : terkadang, kau tidak membutuhkan air mata untuk dapat menangis.
Tulisan
yang dimuat adalah sepenuhnya milik penulis risalah-online, bukan merupakan
pernyataan dari risalah-online
No comments:
Post a Comment