Sunday, 20 September 2015
Psikosomatik Masbuqoh
Oleh: Dewi Sartika
Di suatu masjid yang bernama Thalhah bin Ubaidillah, yang berada di kawasan Perguruan Putri Islam Ar Risalah Lubuk Minturun, sehabis shalat zuhur, terdengarlah suara seperti orang menangis di bagian shaf belakang.
Pada saat itu saya sedang melaksanakan shalat sunnah rawatib dua raka’at sesudah shalat Zuhur.
Seusai shalat rawatib tersebut saya pergi menemui asal suara yang dari tadi cukup mengganggu sewaktu saya shalat. Setiba di lokasi saya menanyakan pada sekumpulan anak-anak yang duduk siapa yang barusan menangis, dan di antara mereka ada yang menunjuk salah satu temannya, dan dialah orang yang sudah bersuara meraung seperti orang menangis, meskipun sebenarnya ia tidak sungguh-sungguh menangis.
Saya lalu mendekatinya dengan penuh kedekatan, sambil memegang peundaknya saya berucap: “Rara tadi yang sudah meraung-raung seperti orang menangis itu?”, lalu ia tidak segera menjawab, yang terlihat hanya senyum manis yang tersimpul di bibirnya. Lalu saya melanjutkan pertanyaan yang tertuju pada dirinya, dengan maksud agar lebih paham apa yang sebenarnya telah terjadi pada dirinya, saya berkata: “kenapa Rara tadi menangis seperti itu, Rara tahu tidak, ustadzah lagi shalat, lalu mendengar Rara menangis seperti tadi ustadzah berprasangka ada anak yang kesakitan, dan ustadzah sangat kawatir sekali tadi, sebenarnya apa yang terjadi pada diri Rara?”.
Pada saat itu dia juga tidak segera menjawab, hanya menatap saya dengan wajah lugunya, namun ada teman yang di dekatnya yang membantu saya memberi jawaban, anak tersebut bernama Ucam, jawabnya terhadap pertanyaan yang ditujukan pada temannya Rara tadi pada saya adalah: “ ya zah, Rara tu sedih lalu berekspresi seperti orang yang meraung-raung seperti orang menangis tadi, karena ia takut di konser masbuqoh, dia malu karena sudah berkali-kali dikonser oleh kakak dari divisi Ruhiyah terhadap kelalaiannya telat shalat lima waktu berjama’ah di masjid. Sebenarnya pada suatu waktu kami (maksudnya Ucam, Rara, dan kawan-kawan seangkatan lainnya) sudah datang lebih awal sebelum shalat zuhur dimulai, hanya saja ketika takbir sudah dilantunkan oleh imam, kami masih bermain-main di belakang, dan ternyata orang sudah rukuk dan kemi tidak jadi dapat raka’at pertama shalat tersebut”.
Mendengar jawaban dari anak tersebut saya berfikir dan mengingat kejadian beberapa hari yang lalu, yang mana kejadian tersebut terjadi di hadapan saya, dan saya sendiri yang menegur anak-anak yang masih meribut ketika semua orang sudah shalat. Lalu saya melanjutkan percakapan: “oya, waktu kejadian waktu itu ya, ustadzah juga tahu, tapi kan memang antunna (panggilan untuk kalian yang wanita dalam bahasa arab) yang telat dan lalai, sudah jelas imam sudah takbir tapi antunna masih bermain-main aja di belakang”. Ucam menjawab: “itulah zah, kata kami tidak akan masbuqah (tertinggal satu rukun dalam shalat pada rakaat pertama dalam hal ini tidak dapat ruku’ bersama imam), eh ternyata masbuqoh juga”.
Akhir perjumpaan saya kembali fokus pada Rara tadi dan menasehatinya dengan lemah lembut: “sebaiknya Rara tidak meraung-raung kesedihan seperti tadi, karena sikap tersebut tidak dapat mengubah nasib, lebih baik diisi kesedihnnya dengan muhasabah dan banyak beristighfar, dan berjanji pada diri sendiri agar tidak mengulangi perbuatan yang sama untuk masa yang akan datang ya?”. lalu anak tersebut merasa lebih tenang dari sebelumnya dan mengucapkan terima kasih, “syukron zah”, saya menjawab: “afwan”
Lalu beberapa selang waktu saya berpapasan dengan kelompok anak-anak yang saya jumpai di masjid tadi, Rara, Ucam, dan kawan-kawannya yang lain, saya fokus pada Rara karena dia menyapa saya dengan sangat riang, dan saya melihat raut wajah sedih telah berubah tenang dan ceria terpancar dari sinar wajahnya yang ayu tersebut.
Anak-anak tidak membutuhkan uang dari kita, mereka hanya butuh kasih sayang dan sedikit perhatian untuk kembali menguatkannya ke jalan yang benar dan berlepas diri dari putus asa. Banyak hal kecil yang terjadi di lingkungan kita, tinggal kita sendiri mau merespon dan berperan di dalamnya atau tidak, seperti kata orang bijak: “pilihan ada di tangan Anda” persoalannya tidak pada “bisa atau tidak”, namun yang terpenting “mau atau tidak”.
image source
Opini yang dimuat adalah sepenuhnya milik penulis risalah-online, bukan merupakan pernyataan dari risalah-online
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment