Thursday 31 March 2016

Bukan Hanya Disini




Oleh : Lita Oktaviani
Jatuh.Butiran bening itu jatuh perlahan-lahan seiring isakan tangis yang seakan bercerita betapa sedihnya hati seorang gadis yang sedari tadi tertunduk diam. Hanya bening-bening itu yang berbicara tentang lara hati yang sedang dirasa. Semakin dalam tertunduk semakin deras butiran itu membasahi pipinya yang putih. Matanya tak lagi bening,tersurat warna merah disana.

“sifatnya memang begitu, kau pahami saja”

Kalimat yang entah  yang sudah keberapa kali singgah di indera pendengaran gadis yang menyukai warna biru setiap kali wanita yang usianya lebih 15 tahun diatasnya memancing bulir-bulir bening itu keluar dari persembunyiannya

“ memahami? Sampai kapan ? Apakah selama aku bekerja disini aku harus memahaminya? Sanggupkah aku? Meski ini bukan yang pertama kali, namun rasa sakit itu sama. Tuhan..kuatkan aku”

“sabar ya…” Nindi menepuk-nepuk pundak gadis yang telah menjadi rekan kerjanya sejak dua tahun yang lalu. Gadis itu hanya mengangguk pelan. Menghembuskan nafas berat dan bulir itu……telah berhenti meski masih terlihat  jejak-jejak alirannya.

“apa yang keluar dari lisan seseorang,sebenarnya menggambarkan seperti apa dirinya. Bila yang terucap baik, maka  baiklah ia namun bila yang terucap buruk,maka itulah kualitas dirinya” ujar Mbak Nadia. Gadis yang biasa di panggil Nana itu terdiam,mencoba meresapi kalimat yang ia dengar barusan. Sesak didadanya sedikit berkurang.

“makasih mbak nasehatnya” ia berdiri hendak kembali ke meja kerja nya.
 
Jam baru saja menunjukan pukul 08.00 saat langkah pertamanya memasuki kantor.

“ masuk juga? Kirain mau mengajukan surat pengunduran diri” terdengar nada ketus dari arah depannya. Ia akui kesalahannya yang tidak memberikan kabar selama 4 hari karena ada urusan keluarga yang harus diselesaikan, tapi harus seperti inikah perkataan yang ia terima? Ingin rasanya ia langsung mengundurkan diri saat itu juga, tapi segera menguasai diri.

“astaghfirullah,sabar Nana” ia menyabarkan diri sendiri walau sebenarnya ia sangat malu di perlakukan seperti itu. Apalagi dalam ruangan itu,ia tidak sendiri,ada Pak Dadang,Wakil Direktur ,Pak Wayan, Kepala Divisi Humas dan Farhan, Staf Kepegawaian. Kata-kata balasan hampir saja keluar dari mulutnya kalau saja ia tidak ingat bahwa ada orang-orang yang ia segani disini. Ia hanya menaruh tas dan bergegas keluar dari ruangan yang menyiksa itu menuju ruang mbak Nadia.

Kejadian itu  sukses menghancurkan semangat kerjanya. Banyak tugas yang terbengkalai, padahal telah masuk waktu deadline. Suasana hatinya yang tidak bagus menyebabkan semuanya terjadi.

“laporan tadi sudah selesai?” Tanya atasannya datar, tanpa rasa bersalah seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
“ belum” ujar Nana,dengan intonasi yang sama. Sakit itu masih terasa.

Di lain waktu….

“Laporan  kemarin sudah selesai di edit?”

“sudah bu, sudah saya letakkan di meja ibu”

“ di meja saya? Saya tidak melihat laporan kamu di atas meja saya”

“ tapi benar bu,saya sudah meletakkannya di ruangan ibu”

“ kamu ini gimana? Menyelesaikan hal kecil seperti itu saja tidak bisa. Kamu tidak pantas berada disini, bisa kacau semuanya kalau orang tipe seperti kamu yang bekerja di bagian ini”

“ jadi,maksudnya,ibu mau memecat saya? Maaf bu,saya tidak bermaksud lancing, tapi  saya tidak khawatir masalah rezeki, saya bisa pulang kampung dan buka usaha disana. Rezeki Allah itu luas bu, tidak hanya disini”

“saya siap kalau memang harus diberhentikan” Ucap Nana dengan emosi yang tertahan. Atasanya terkejut,ia tak mengira akan mendapat reaksi seperti itu.

Di ruang mbak Nadia….

“ saya sudah tidak kuat lagi mbak”

“ Sabar Nana”

“ Sabar? Apakah saya harus bersabar sementara harga diri saya di injak-injak ? “ ritme nafasnya turun naik dengan cepat. Ada telaga bening di mata bulatnya.

“ saya mau keluar saja mbak”

“Nana…jangan mengambil keputusan dalam keadaan emosi. Tenangkan diri dan pikirkan baik-baik keputusanmu itu”

“sudah  sebulan ini saya memikirkannya ”

“kalau memang itu keputusanmu, mbak tidak bisa berbuat apa-apa meskipun mbak berharap kamu tetap bekerja disini”

“sebenarnya saya masih ingin disini, tapi bagaimana mungkin  saya bertahan bila hampir setiap waktu saya dipermalukan di depan orang-orang?” Nana berujar dalam hati,tersenyum pahit lalu pamit. Jam sudah menunjukkan pukul 15.30 WIB.

Mentari bersinar cerah pagi ini meski semalam hujan deras membasahi bumi dan membentuk genangan air di sana-sini namun tidak mengurangi semangat Nana untuk pergi ke tempat kerja. Berjilbab biru, rok dongker dan berblus putih, ia langkahkan kaki dengan mantap.Sepucuk surat dalam genggamannya.

“ini bu,surat pengunduran diri saya”

“ Pak Dadang….”

“Beliau sudah tahu bu, saya sudah bicara dengan Pak Dadang kemarin”

Atasannya mengangguk-angguk.

“karyawan memang bawahan pak,tapi itu hanya status di perusahaan,sejatinya  Ia juga butuh di hormati,dihargai, bukan hanya untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan. Bila perusahaan ini ingin menjadi perusahaan yang besar, tidak hanya dibutuhkan pemimpin yang cerdas tapi juga harus bisa mengayomi orang-orang yang dipimpinya dengan cara dan komunikasi dengan baik. maaf pak,saya tidak bermaksud mengajari , tapi bapak pasti tahu alasan mengapa banyak orang-orang yang berpotensi dan memiliki kinerja bagus yang lebih memilih mundur daripada bertahan diperusahaan ini?”

“sekali lagi saya minta maaf atas segala kesalahan saya selama bekerja disini dan terima kasih atas kesempatan yang diberikan, saya mohon pamit”

Nana membayangkan kembali percakapannya dengan Pak Dadang kemarin. Rasa lega  menyelimuti hatinya meski ia juga tak bisa menutupi ada rasa sedih berpisah dengan teman-teman yang telah bersamanya selama 2 tahun, namun ia harus memilih dan memutuskan jalan hidupnya.

“semangat Nana, hari yang baru menantimu” Ia menyemangati dirinya. terbayang planning usaha yang telah ia rancang di kampung halamannya.



 


Tulisan yang dimuat adalah sepenuhnya milik penulis  risalah-online, bukan merupakan pernyataan dari risalah-online

1 comment: