Monday, 29 February 2016

Tangis Dalam Cahaya




Oleh Nurul Khairiyyah

Desah bahagia terbawa angin yang memahami hati sepasang merpati. Dalam senyum tanpa kata yang terkadang bertanya ‘apa itu cinta?’. Jarak tak membuat batas antara potongan hati yang entah dengan apa dapat sejalan. Mengecap rasa yang sama dalam piringan waktu yang tersedia. Tak terlalu lama, karna ada benturan halus yang membelai hati. Lebih indah, lebih tulus, lebih suci.
 
Terdiam dalam barisan bait yang telah terukir. Ada gelak tawa yang mengambang, ada rangkul kekuatan, bahkan tangan terlalu erat menggenggam. Entah apa itu, yang membuat benak berfikir ulang. Mengerinyit, tak mengerti mengapa hati merasa dan memberontak dalam satu waktu. Bimbang, gamang memilih.

Belum menginjak kata dewasa untuk bertindak. Namun tak terlalu belia untuk sekedar faham dengan goresan arti. ‘Jadi harus bagaimana?’ hati merasa,bukan memilih. Aku membutuhkan ketenangan untuk memberikan gagasan, seberusaha mungkin selogis akal yang dibuai kata-kata cinta. Ingin memberikan pengertian, namun bukan berarti hatiku telah memilih untuk merasa. Bahkan hatiku mengerang, egois, ingin membiarkan saja dirinya sebagai pendosa.

Namun tak mudah menjadi bayi yang terlahir dengan anggukan faham. Otak yang berperan sebagai pemain latar dalam drama yang berkaitan dengan hati,mengerang, ‘aku telah mengerti..’ matanya menyiratkan kedewasaan dalam pemahaman. Namun hati bergumam. “dia berjanji menjadi yang terbaik..” mengiba.
Logika kembali menyela “dengan apa. Aku mendesah. Hati dan logika mendebat sengit. Tak ada yang terdengar, saling bertabrakan. Mata hanya terisak, sesekali memohon “izinkan aku sejenak tak miliki hati dan logika”. Memeluk lutut dengan tangan bergetar tak senang. Mata terpejam, namun tak meredam sakit dalam tangis yang membuncah. 

Hingga teori terbentuk. Cinta bukanlah sesuatu yang membuatmu takut. Dia mengerti. Kucuba memberi pemahaman tanpa membuat gagasan benaknya berfikir tak ada hati. Mencoba selembut mungkin, membuatnya lebih sederhana tanpa menghilangkan pemahamannya tentang hatiku dan hatinya yang sama-sama merasa. Tetap tersenyum walau awan menutup tangis yang terisak mengiba. 

Tak terfikir ada ledakan kecil, namun meledakkan puing puri yang dibangunnya sedetail mungkin. Tak dibiarkan logika berfikir cepat memberi jawaban, mengalir begitu saja tanpa dicerna beserta ampasnya. Tapi mata itu membuatku gentar, masih ada marah dan kecewa yang beriringan. Jadi, tangan kembali mendekap mulut yang terisak. Tak ingin berakhir secepat ini, sesakit ini. 

Waktu kembali menjadi pengobat luka yang paling tangguh. Dia menggelinding tanpa kuminta, namun tak berhenti saat ku mengiba. Tak tersembuhkan, tapi mengajari hatiku dengan rasa sakit yang mulia terbiasa. Di lingkup tak berpaham aku menimbang. Pilihan dengan jalan terbaik dan gagasan menyakitkan terpilih menjadi penguasa. Sakit, namun membuatku tersenyum dengan kebenarannya. 

Waktu juga mengajari hatinya untuk mengerti. Ini bukan tentang keegoisan diri yang tak terbendung. Melainkan angka nol yang sudah terbentuk entah dengan apa, gaib. Kepala mengangguk memberikan pilihan. Cerita sepenuhnya teralihkan dengan keputusanku. Berusaha berfikir, berusaha tuli dengan rengekan hati. Terbentuk anggukan dengan arti tak ingin dilebihkan. Mendesah namun tetap mengangguk walau ada tangis yang mendesak di sudut mata. Aku tak pernah ingin menjadi alasan matanya untuk bersedih. Hati memohon “jangan tersakiti karna diriku”

Entah bagaimana, aku menggeleng saat mengangguk. Tersenyum dalam tangis, terdiam dalam tawa. Bukan kebohongan, hanya berusaha terlihat nyata, berpura-pura. Jadi, bangun pembeda antara kebohongan dan sandiwara. Walaupun ada sisi hitam dan putih yang membungkus. Jangan salah mengartikan sesuatu, aku tak pernah berteriak marah. Memberi pemahaman dengan penekan agar mudah dimengerti. Aku seperti novel terbungkus. Terbaca namun tak tertebak. 

Bukan menyalahkan dia. Aku masih gadis yang tersenyum saat berharap. Bukan setan yang mengiba saat meminta. Hanya mengajarkannya tentang ketetapan yang sejalan dengan pengetian pengorbanan, pilihan, dan keinginan. Sesederhana itu, dan menyakitkan. 

Ingin membangkang, namun sudah mengerti. Jangan meratap karna dia yang akan mendapatkan “langit di atas langit”, jika kelak memilki langit yang berbeda. Namun jika dia mengizinkanku bergumam tentang kejujuran, aku ingin berada dilangit yang sama tempatnya berpijak. Keinginan sederhana tapi tak memiliki cela di teka teki jawaban yang diinginkan. 

Ini tentangnya. Yang entah bagaimana menyalahkanku dengan sorot matanya. Tak terbantahkan, dalam tegas yang mengukung keinginannya. Seberusaha mungkin mencegah hati yang kembali berharap. Atau dalam ketegasan hati yang memang benar-benar berharap. Jika teredam sakit ketika memilih, izinkan aku merasa berharap walau dalam deret kata yang tak pasti.

Ini aku, aku dengan hatiku. Yang menjelma baik walau dengan iba. Tapi menginginkannya mengartikan sajak penjelasan. Agar tak ada tangis disana, di hatinya. Karna hatiku berteriak. Sekedar tak ingin menjadi alasan hatinya terluka sesederhana itu. Bahkan jika aku memilih menangis di dalam cahaya.


 

Tulisan yang dimuat adalah sepenuhnya milik penulis  risalah-online, bukan merupakan pernyataan dari risalah-online

No comments:

Post a Comment