Oleh Nurul Khairiyyah
Desah
bahagia terbawa angin yang memahami hati sepasang merpati. Dalam senyum tanpa
kata yang terkadang bertanya ‘apa itu cinta?’. Jarak tak membuat batas antara
potongan hati yang entah dengan apa dapat sejalan. Mengecap rasa yang sama
dalam piringan waktu yang tersedia. Tak terlalu lama, karna ada benturan halus
yang membelai hati. Lebih indah, lebih tulus, lebih suci.
Terdiam
dalam barisan bait yang telah terukir. Ada gelak tawa yang mengambang, ada
rangkul kekuatan, bahkan tangan terlalu erat menggenggam. Entah apa itu, yang
membuat benak berfikir ulang. Mengerinyit, tak mengerti mengapa hati merasa dan
memberontak dalam satu waktu. Bimbang, gamang memilih.
Belum
menginjak kata dewasa untuk bertindak. Namun tak terlalu belia untuk sekedar
faham dengan goresan arti. ‘Jadi harus bagaimana?’ hati merasa,bukan memilih.
Aku membutuhkan ketenangan untuk memberikan gagasan, seberusaha mungkin selogis
akal yang dibuai kata-kata cinta. Ingin memberikan pengertian, namun bukan
berarti hatiku telah memilih untuk merasa. Bahkan hatiku mengerang, egois,
ingin membiarkan saja dirinya sebagai pendosa.
Namun tak
mudah menjadi bayi yang terlahir dengan anggukan faham. Otak yang berperan
sebagai pemain latar dalam drama yang berkaitan dengan hati,mengerang, ‘aku
telah mengerti..’ matanya menyiratkan kedewasaan dalam pemahaman. Namun hati
bergumam. “dia berjanji menjadi yang terbaik..” mengiba.
Logika
kembali menyela “dengan apa. Aku mendesah. Hati dan logika mendebat sengit. Tak
ada yang terdengar, saling bertabrakan. Mata hanya terisak, sesekali memohon
“izinkan aku sejenak tak miliki hati dan logika”. Memeluk lutut dengan tangan
bergetar tak senang. Mata terpejam, namun tak meredam sakit dalam tangis yang
membuncah.
Hingga teori
terbentuk. Cinta bukanlah sesuatu yang membuatmu takut. Dia mengerti. Kucuba
memberi pemahaman tanpa membuat gagasan benaknya berfikir tak ada hati. Mencoba
selembut mungkin, membuatnya lebih sederhana tanpa menghilangkan pemahamannya
tentang hatiku dan hatinya yang sama-sama merasa. Tetap tersenyum walau awan
menutup tangis yang terisak mengiba.
Tak terfikir
ada ledakan kecil, namun meledakkan puing puri yang dibangunnya sedetail
mungkin. Tak dibiarkan logika berfikir cepat memberi jawaban, mengalir begitu
saja tanpa dicerna beserta ampasnya. Tapi mata itu membuatku gentar, masih ada
marah dan kecewa yang beriringan. Jadi, tangan kembali mendekap mulut yang
terisak. Tak ingin berakhir secepat ini, sesakit ini.
Waktu
kembali menjadi pengobat luka yang paling tangguh. Dia menggelinding tanpa
kuminta, namun tak berhenti saat ku mengiba. Tak tersembuhkan, tapi mengajari
hatiku dengan rasa sakit yang mulia terbiasa. Di lingkup tak berpaham aku
menimbang. Pilihan dengan jalan terbaik dan gagasan menyakitkan terpilih
menjadi penguasa. Sakit, namun membuatku tersenyum dengan kebenarannya.
Waktu juga
mengajari hatinya untuk mengerti. Ini bukan tentang keegoisan diri yang tak
terbendung. Melainkan angka nol yang sudah terbentuk entah dengan apa, gaib.
Kepala mengangguk memberikan pilihan. Cerita sepenuhnya teralihkan dengan
keputusanku. Berusaha berfikir, berusaha tuli dengan rengekan hati. Terbentuk
anggukan dengan arti tak ingin dilebihkan. Mendesah namun tetap mengangguk
walau ada tangis yang mendesak di sudut mata. Aku tak pernah ingin menjadi
alasan matanya untuk bersedih. Hati memohon “jangan tersakiti karna diriku”
Entah
bagaimana, aku menggeleng saat mengangguk. Tersenyum dalam tangis, terdiam
dalam tawa. Bukan kebohongan, hanya berusaha terlihat nyata, berpura-pura.
Jadi, bangun pembeda antara kebohongan dan sandiwara. Walaupun ada sisi hitam
dan putih yang membungkus. Jangan salah mengartikan sesuatu, aku tak pernah
berteriak marah. Memberi pemahaman dengan penekan agar mudah dimengerti. Aku
seperti novel terbungkus. Terbaca namun tak tertebak.
Bukan
menyalahkan dia. Aku masih gadis yang tersenyum saat berharap. Bukan setan yang
mengiba saat meminta. Hanya mengajarkannya tentang ketetapan yang sejalan
dengan pengetian pengorbanan, pilihan, dan keinginan. Sesederhana itu, dan menyakitkan.
Ingin
membangkang, namun sudah mengerti. Jangan meratap karna dia yang akan
mendapatkan “langit di atas langit”, jika kelak memilki langit yang berbeda.
Namun jika dia mengizinkanku bergumam tentang kejujuran, aku ingin berada
dilangit yang sama tempatnya berpijak. Keinginan sederhana tapi tak memiliki
cela di teka teki jawaban yang diinginkan.
Ini
tentangnya. Yang entah bagaimana menyalahkanku dengan sorot matanya. Tak
terbantahkan, dalam tegas yang mengukung keinginannya. Seberusaha mungkin mencegah
hati yang kembali berharap. Atau dalam ketegasan hati yang memang benar-benar
berharap. Jika teredam sakit ketika memilih, izinkan aku merasa berharap walau
dalam deret kata yang tak pasti.
Ini aku, aku
dengan hatiku. Yang menjelma baik walau dengan iba. Tapi menginginkannya
mengartikan sajak penjelasan. Agar tak ada tangis disana, di hatinya. Karna
hatiku berteriak. Sekedar tak ingin menjadi alasan hatinya terluka sesederhana
itu. Bahkan jika aku memilih menangis di dalam cahaya.
Tulisan
yang dimuat adalah sepenuhnya milik penulis risalah-online, bukan merupakan
pernyataan dari risalah-online
No comments:
Post a Comment