Tuesday 25 October 2016

Setitik Cahaya di Hati yang Kusam



Oleh : Fadhil Ahmadia Warman

Pemuda itu terus melangkah, sambil menjinjing kitab kuning. Menuruti permintaan hati yang entah mau ke mana. Dia terus melangkah, menghiraukan sapaan beberapa teman yang bersisihan di jalan. Matanya membulat, menatap dengan kemarahan yang terperangkap dalam hatinya. Telinganya memerah, bibirnya berkomat kamit seperti dukun yang merapalkan mantra. Aku  akan melakukannya.

***
Subuh telah bernapas, nyanyian ayat-ayat suci didengungkan dari kaset surau. Suaranya menggelegar, memecah keheningan di subuh itu. “Masih seperempat jam lagi,” gumam pemuda itu. Dia tidur dengan selimut merah tebal yang menutupi sekujur tubuhnya.

Seorang pria yang di pipi sampai dagunya tumbuh ijuk-ijuk kasar agak keriting menggeser pintu kamar, memetik sekring, cahaya tumpah dan menyeruak ke segala arah. Dia menghampiri pemuda itu, disentuhnya pemuda yang masih berkemul tadi pada bagian pinggang, sambil menggoyang-goyangkan tubuh pemuda tadi, “Raihan, ayo bangun. Sebentar lagi asrama akan dikunci.”

Apakah lelaki tua ini tak tahu bahwa aku masih mengatuk? dia membatin. “Masih seperempat jam lagi ustadz.”

“Sebaiknya kau siap-siap dulu. Apa salahnya jika datang di awal waktu? Toh tak akan rugi.” Jawab sang ustadz yang dibalut oleh pakaian putih panjang semata kaki, “ayo angkat selimutmu, ngangkat yang berat-berat aja bisa masa ngangkat selimut macam ini tidak.”

Lelaki tua dengan janggut tebal itu juga membangunkan tiga orang teman Raihan yang masih terlelap, diayun malam yang telah berganti pagi.

Raihan bangun dengan mata yang masih terkatup. Pupilnya masih menyesuaikan dengan cahaya yang ada di kamarnya. Ia turun dari ranjang tingkat kedua dengan tertatih-tatih. Matanya mengerjap-ngerjap, mengambil sembarang baju yang tergantung, mengganti baju buat berangkat ke surau sedang sang ustadz telah melangkah menuju kamar lain.

Di suaru bukannya sholat tahajjud atau tahiyyat masjid, pemuda itu menyambung tidurnya. Ia terkapar macam orang yang baru menang judi semalam suntuk, dan bisa membalas tidur itu di pagi harinya. Orang-orang hanya memperhatikan tanpa menggubris perilaku anak itu, menghayati setiap detik di pagi ini, ada yang sholat tahajjud, mengaji, dan memurojaah hafalan.

Seorang anak berumur empat belas tahun dengan peci hitam bermanik-manik menggapai mikrofon. Ia melafazkan panggilan bagi orang-orang yang belum tersadar. Suara adzan menggema sampai sudut pesantren. Raihan bangun, mengulangi wudhu yang telah batal.

Warga pesantren yang bermukin di Padang itu mendatangi surau, pun masyarakat di sekitar sana yang ingin shalat lebih panjang. Pesantren itu telah dikenal sebagai sekolah yang mencetak para hafizh/ah di kota Padang. Tak tahulah apakah hafalan mereka masih nempel atau sudah menguap dan bergabung dengan atmosfer di atas sana.

Subuh berlangsung seperti biasa. Ada anak yang terkantuk-kantuk, menguap dengan lebar sampai-sampai gigi gerahamnya kelihatan. Seorang anak ketinggalan saat sujud karena terlalu mengantuk, sehingga teman di sebelah harus menggoyangkan kakinya agar ia terbangun, beberapa santri terlihat menjaga keseimbangan saat berdiri karena-menurut mereka-bacaan imam kepanjangan.

Waktu tahfizh di pagi hari adalah hal yang paling memuakkan bagi Raihan. Setiap anak diwajibkan menyetor hafalannya kepada satu murabbi[1] dalam satu kelompok-halaqah tahfizh- dengan jumlah anak sepuluh orang. Raihan menopang kepalanya yang tak terlalu besar, mengangguk patah-patah, menahan rasa kantuk seperti ada orang yang berayun-ayun di kelopak matanya. Berkali-kali murabbinya membangunkan, mulai dari menyentuh bahu sampai memukul keras pahanya. Berkali-kali pula anak itu terkejut, namun kantuk yang ada tak dapat mengalahkan kebosanan murabbi dalam membangunkan. Dibiarkannya pemuda itu menikmati tidurnya.
***

Lelaki tua dengan atasan hijau dan bawahan hitam itu menggoreskan spidol ke papan putih. Tulisan arabnya membuat mata seakan tersihir. “Alumni Mesir memang begitu, tulisan mereka sering dihargai sampai berjuta-juta saat menggambar di dinding masjid.” terang ustadz Kamrizal.

“Raihan, kau tak mencatat?”

“Tidak ustadz, telah aku baca semuanya.”

Ustadz Kamrizal tak menggubris. Siapa pula yang tak tahu dengan kehebatan Raihan dalam mengingat. Al-Quran saja sudah dia khatamkan lebih dulu daripada teman-temanya. Dia tujuh bulan lebih dulu tuntas. Pesantren ini mewajibkan khatam 30 juz sebelum tamat kelas tiga MA, tepatnya sebelum ujian nasional. Bilakah pelajaran membosankan ini akan berakhir? Mata Raihan menoleh berkali-kali ke arah pintu kelas.

“Raihan, kau sudah bosan belajar dengan ustadz?”

“Eh, bukan begitu ustadz. Maksud saya......” belum selesai anak itu berucap.

“Udah, jikalau begitu kau keluar saja. Kau boleh istirahat lebih dulu.” Sang ustadz menggeleng-geleng sambil berucap.

Raihan tampak ragu-ragu untuk berdiri dari bangkunya. Dia membaca air muka ustadz Kamrizal, tampaknya kelihatan serius. Tak ada keraguan dalam diri beliau dalam mengucapkan kalimat tersebut. Okelah, aku akan keluar. Dia keluar, melangkah takzim menuju pintu kelas. Tangannya menjangkau gagang pintu, menekan ke bawah, mendorong dengan kasar ke arah luar, dan melenggang menikmati udara bebas di luar kelas. Anak itu berjalan sambil menggoyangkan tangannya ke depan, dan belakang. Peci putih yang dikenakannya ia lipat dan memasukkan ke kantong celana. Sekarang kantongnya sungguh padat, selain alat tulis juga dipenuhi dengan peci putih yang berbahan tebal namun mudah dilipat.

Dia menuju kantin sekolah, diambilnya tahu goreng, pinukut, dan bakpao isi kerambil-yang disatukan dalam satu kantong plastik-lalu memasukkan uang bergambar Tuanku Imam Bonjol ke kotak kejujuran. Menikmati makanan itu, secercah saos mengotori seragam jumatnya.
***

Di langit petang yang temaram, pemuda itu mendongakkan wajah begitu mendengar seruan orang-orang. Sebuah bola futsal terbang ke arahnya, tepat kena di mukanya yang putih dan elok itu. Sekarang warna cokelat telah memenuhi sekujur mukanya yang halus. Gelak tawa serta tatapan prihatin membanjirinya.

Ia mengepalkan tangan ke atas, “Siapa yang telah menendang bola ini? Ayo ngaku!”

Semua orang tetap memandangi Raihan dengan baju yang ikut kotor karena kecipak lumpur yang tersangkut di bola. Mukanya merah padam, otaknya telah mengelegak.

“Ayo, penakut kau. Beraninya macam itu saja!” serunya dengan lantang.

Seorang lelaki yang lebih tua darinya setahun berdiri di hadapannya. Mukanya penuh dengan minyak, bau bacin menggelora dari tubuhnya, sudah lama anak ini tak mandi. “Kau yang melempar bola ini padaku?” tanya Raihan.

“Ya.” Suara lelaki itu melunak, “maafkan aku, aku tak sengaja. Niatku hanya menendang ke arah gawang.”

“Cuuh..... alasan kau. Kau sengaja kan.....? kau sengaja karena aku selalu acuh tak acuh saat kalian bermain bola? Persetan dengan itu.” Sebuah pukulan melayang ke arah muka berminyak lelaki itu. Badannya tak kuasa menahan pukulan itu, sempat terdorong beberapa mili.

Perkelahian hebat pun terjadi. Tak ada yang berani melerai. Bisa-bisa mereka ikut kena getahnya. Kalau tak kena pukul, maka akan jadi saksi di kantor bagian keamanan. Saban minggu pasti ada yang dipanggil ke kantor itu, setelah keluar mereka hanya bisa membisu, menurut sebagian orang mental mereka sudah mati dan itu adalah tempat paling angker di pesantren.
***

Raihan duduk dengan lelaki yang dagu dan lehernya seakan menyatu. Punggung leher lelaki itu menghitam karena sering berjemur di terik matahari. Ruangan ini seluas ruang interogasi di kepolisian yag dicat hitam di bagian atasnya, dan biru di dindingnya. Di sana telah menunggu dengan takzim seorang pria dengan perawakan tua, mata sipit, dan hidung mancung yang agak bengkok. Ijuk-ijuk putih halus memenuhi mukanya.

Pria itu menatap tajam ke arah dua pemuda tadi. Matanya menelusuri setiap inci bagian tubuh Raihan dan satunya lagi. Pendangan pria tadi menyeruak sampai ke dalam retina, seakan telah menemukan jawaban dari setiap pertanyaan yang bermunculan dan telah memenuhi setiap nano dari sarafnya.

“Hmmm...... boleh juga kau, sulit ditebak.” Itulah kesan pertama ustadz Zul saat mata lamurnya menyerayangi wajah Raihan.

“Kau sudah tahu apa salah kau?”

Kedua pemuda itu tetap membisu. “Jikalau diam, maka saya anggap iya.”

“Nak, kau adalah pemuda yang cerdas. Semua orang tahu akan kelebihanmu itu. Kau tak perlu guru untuk mengerti suatu pelajaran, hanya membaca dan mengerjakan satu-dua contoh soal.” Mata tuanya tetap menatap, menusuk hingga ke dalam mata Raihan, “kau mau mendengar kisahku sewaktu muda?”

“Aku dulunya adalah seorang santri, sama seperti kalian berdua. Tak ada waktu yang ku habiskan kecuali berada di lingkungan pesantren, kecuali waktu libur. Aku masuk ke pesantren karena motivasiku memajukan Indonesia ini. Berdekade-dekade Indonesia berada dalam keterpurukan, otak-otak udang pemimpinnya, sarana-prasarana yang tak mendukung, dan berbagai macam penjajahan mental dari negara lain. Aku ingin agar Indonesia bangkit, membuat kecut negara lain.” Terang ustadz Zul, “selama ini kita jarang menemukan adanya pemimpin yang berasal dari pesantren, hanya satu presiden kita yang merupakan lulusan santri. Andaikata pemerintahan ini dipegang oleh santri, maka tak akan ada terjadi korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kenapa? Karena santri telah dipenuhi raganya dengan siraman ilmu syar’i. Jikalau ada satu-dua oknum yang melakukan itu maka santri yang lain bisa mendakwahinya.”

Pria tua itu sempat terdiam beberapa saat, “Saya mendirikan pesantren untuk menjadikan santrinya berguna bagi bangsa ini. Agar tak ada penjajahan baik dari luar maupun dalam. Perjuangan para pahlawan mesti dilanjutkan. Pejuang kita adalah ada yang tamatan pesantren. Mereka menghias diri dengan janggut yang tertata rapi. Coba kau lihat, pangeran Diponegoro, beliau adalah santri. Tuanku Imam Bonjol, beliau alumni pesantren. Bahkan wali songo yang bermukin di Jawa sana, mereka juga santri. Lihat bagaimana keadaan Indonesia? Hampir-hampir negara ini menjadi negara Islam.”

“Nak, kau harus bisa membangun Indonesia ini. Kau adalah pemuda. Pemuda adalah tiangnya suatu negara. Bagus atau tidaknya negara itu dapat diketahui dari pemudanya. Apalagi jika pemuda itu telah dibekali oleh ilmu agama yang mendalam, sehingga telah tertancap di hatinya ilmu tersebut.”

Mata pemuda itu telah dipenuhi oleh air yang menggenang. Ia tahan agar air itu tak tumpah. Hanif, lelaki yang duduk di samping Raihan, terdunduk. Ia menggabungkan tangan kanan bersama tangan kirinya, sambil mengoyang-goyangkan kakinya.

“Aku tak mau masuk pesantren ustadz, tapi aku tak kuasa menolak permintaan ibuku. Aku tak sanggup mengucapkan tidak atas permintaannya. Aku ingin dia senang.” Raihan sedikit tersedak, “aku sudah tak kuat lagi ustadz.”

Sekarang, pipinya telah basah. Air itu terus mengalir, memberikan perasaan lega pada dirinya. Ustadz Zul menatap iba, tangannya yang ringkih mengelus lembut rambut Raihan yang halus. Ia memalingkan wajah kepada Hanif, memberikan isyarat dengan tangan. Anak itu melangkah keluar dari kantor bagian keamanan.

“Nak, tak masalah jika kau ingin memberikan secuil kebahagiaan itu kepada ibumu. Tak masalah. Tapi jangan sampai kau mengorbankan dirimu. Karena kaulah yang akan menjalaninya. Kau harus menjadi pemimpin yang akan duduk di pemerintahan Indonesia. Biar tak ada lagi korupsi, sehingga KPK tidak diperlukan lagi. Kau camkan di hatimu bahwa kau akan kuat menghadapinya, bersabarlah, karena bersama itu akan ada jalan keluarnya. Kau manfaatkan seluruh kelebihanmu.”

“Sekarang, kau pandanglah masa depanmu. Andaikan masa lalu dapat diubah, maka tak akan ada guna masa depan. Bangkitlah batang tarandam sekarang. Jangan sampai kau kalah dengan masa lalu.”

Raihan mendongak, ia menatap datar muka ustadz Zul yang bersih. Maghrib akan datang, rembulan telah menanti-nanti gilirannya menerangi malam, bintang-gemintang mulai membentuk rasi yang indah. Hati anak itu telah membuncah, telah tertanam di jiwanya bahwa di tangannya Indonesia akan berubah. Tak akan ada lagi korupsi, suap, tikus-tikus berdasi, serigala berbulu domba. Indonesia tak akan berada di ujung tanduk lagi, tak akan ada sebutan negeri bedebah lagi. Indonesia akan mengaum. Sehingga negri-negri di sana akan menciut, malu terhadap diri karena telah menghina Indonesia.
***

Kau tak akan menemukan Raihan yang hidup sesuka hatinya. Jika kau bertanya tentang anak yang memiliki kegigihan dalam belajar, maka semua orang serentak menunjuk Raihan. Di hati anak itu hanya ada semangat untuk menjadikan Indonesia pemimpin dunia. Enyahlah seluruh pemimpin yang suka melanggar aturan yang mereka buat sendiri. “Jika aku menjadi presiden, maka semua pejabat pemerintah akan bersih. Mereka hanya akan berbakti kepada masyarakat.” Matanya memandang lurus ke depan, menatap hari esok yang lebih baik.




[1] Ustadz pendamping di halaqah



 Tulisan yang dimuat adalah sepenuhnya milik penulis  risalah-online, bukan merupakan pernyataan dari risalah-online


No comments:

Post a Comment