Oleh : Fadhil Ahmadia Warman
Pemuda itu terus melangkah, sambil menjinjing
kitab kuning. Menuruti permintaan hati yang entah mau ke mana. Dia terus
melangkah, menghiraukan sapaan beberapa teman yang bersisihan di jalan. Matanya
membulat, menatap dengan kemarahan yang terperangkap dalam hatinya. Telinganya
memerah, bibirnya berkomat kamit seperti dukun yang merapalkan mantra. Aku akan melakukannya.
***
Subuh telah
bernapas, nyanyian ayat-ayat suci didengungkan dari kaset surau. Suaranya
menggelegar, memecah keheningan di subuh itu. “Masih seperempat jam lagi,”
gumam pemuda itu. Dia tidur dengan selimut merah tebal yang menutupi sekujur
tubuhnya.
Seorang pria yang
di pipi sampai dagunya tumbuh ijuk-ijuk kasar agak keriting menggeser pintu
kamar, memetik sekring, cahaya tumpah dan menyeruak ke segala arah. Dia
menghampiri pemuda itu, disentuhnya pemuda yang masih berkemul tadi pada bagian
pinggang, sambil menggoyang-goyangkan tubuh pemuda tadi, “Raihan, ayo bangun.
Sebentar lagi asrama akan dikunci.”
Apakah lelaki tua ini tak tahu bahwa aku
masih mengatuk? dia membatin. “Masih seperempat jam lagi ustadz.”
“Sebaiknya kau
siap-siap dulu. Apa salahnya jika datang di awal waktu? Toh tak akan rugi.”
Jawab sang ustadz yang dibalut oleh pakaian putih panjang semata kaki, “ayo
angkat selimutmu, ngangkat yang berat-berat aja bisa masa ngangkat selimut
macam ini tidak.”
Lelaki tua dengan
janggut tebal itu juga membangunkan tiga orang teman Raihan yang masih
terlelap, diayun malam yang telah berganti pagi.
Raihan bangun
dengan mata yang masih terkatup. Pupilnya masih menyesuaikan dengan cahaya yang
ada di kamarnya. Ia turun dari ranjang tingkat kedua dengan tertatih-tatih.
Matanya mengerjap-ngerjap, mengambil sembarang baju yang tergantung, mengganti
baju buat berangkat ke surau sedang sang ustadz telah melangkah menuju kamar
lain.
Di suaru bukannya
sholat tahajjud atau tahiyyat masjid, pemuda itu menyambung tidurnya. Ia
terkapar macam orang yang baru menang judi semalam suntuk, dan bisa membalas
tidur itu di pagi harinya. Orang-orang hanya memperhatikan tanpa menggubris
perilaku anak itu, menghayati setiap detik di pagi ini, ada yang sholat
tahajjud, mengaji, dan memurojaah hafalan.
Seorang anak
berumur empat belas tahun dengan peci hitam bermanik-manik menggapai mikrofon.
Ia melafazkan panggilan bagi orang-orang yang belum tersadar. Suara adzan
menggema sampai sudut pesantren. Raihan bangun, mengulangi wudhu yang telah
batal.
Warga pesantren
yang bermukin di Padang itu mendatangi surau, pun masyarakat di sekitar sana
yang ingin shalat lebih panjang. Pesantren itu telah dikenal sebagai sekolah
yang mencetak para hafizh/ah di kota Padang. Tak tahulah apakah hafalan mereka
masih nempel atau sudah menguap dan bergabung dengan atmosfer di atas sana.
Subuh berlangsung
seperti biasa. Ada anak yang terkantuk-kantuk, menguap dengan lebar
sampai-sampai gigi gerahamnya kelihatan. Seorang anak ketinggalan saat sujud
karena terlalu mengantuk, sehingga teman di sebelah harus menggoyangkan kakinya
agar ia terbangun, beberapa santri terlihat menjaga keseimbangan saat berdiri
karena-menurut mereka-bacaan imam kepanjangan.
Waktu tahfizh di
pagi hari adalah hal yang paling memuakkan bagi Raihan. Setiap anak diwajibkan
menyetor hafalannya kepada satu murabbi[1]
dalam satu kelompok-halaqah tahfizh- dengan jumlah anak sepuluh orang. Raihan
menopang kepalanya yang tak terlalu besar, mengangguk patah-patah, menahan rasa
kantuk seperti ada orang yang berayun-ayun di kelopak matanya. Berkali-kali
murabbinya membangunkan, mulai dari menyentuh bahu sampai memukul keras
pahanya. Berkali-kali pula anak itu terkejut, namun kantuk yang ada tak dapat
mengalahkan kebosanan murabbi dalam membangunkan. Dibiarkannya pemuda itu
menikmati tidurnya.
***
Lelaki tua dengan
atasan hijau dan bawahan hitam itu menggoreskan spidol ke papan putih. Tulisan
arabnya membuat mata seakan tersihir. “Alumni Mesir memang begitu, tulisan
mereka sering dihargai sampai berjuta-juta saat menggambar di dinding masjid.”
terang ustadz Kamrizal.
“Raihan, kau tak
mencatat?”
“Tidak ustadz,
telah aku baca semuanya.”
Ustadz Kamrizal
tak menggubris. Siapa pula yang tak tahu dengan kehebatan Raihan dalam
mengingat. Al-Quran saja sudah dia khatamkan lebih dulu daripada teman-temanya.
Dia tujuh bulan lebih dulu tuntas. Pesantren ini mewajibkan khatam 30 juz
sebelum tamat kelas tiga MA, tepatnya sebelum ujian nasional. Bilakah pelajaran membosankan ini akan
berakhir? Mata Raihan menoleh berkali-kali ke arah pintu kelas.
“Raihan, kau sudah
bosan belajar dengan ustadz?”
“Eh, bukan begitu
ustadz. Maksud saya......” belum selesai anak itu berucap.
“Udah, jikalau
begitu kau keluar saja. Kau boleh istirahat lebih dulu.” Sang ustadz
menggeleng-geleng sambil berucap.
Raihan tampak
ragu-ragu untuk berdiri dari bangkunya. Dia membaca air muka ustadz Kamrizal,
tampaknya kelihatan serius. Tak ada keraguan dalam diri beliau dalam
mengucapkan kalimat tersebut. Okelah, aku
akan keluar. Dia keluar, melangkah takzim menuju pintu kelas. Tangannya
menjangkau gagang pintu, menekan ke bawah, mendorong dengan kasar ke arah luar,
dan melenggang menikmati udara bebas di luar kelas. Anak itu berjalan sambil
menggoyangkan tangannya ke depan, dan belakang. Peci putih yang dikenakannya ia
lipat dan memasukkan ke kantong celana. Sekarang kantongnya sungguh padat,
selain alat tulis juga dipenuhi dengan peci putih yang berbahan tebal namun
mudah dilipat.
Dia menuju kantin
sekolah, diambilnya tahu goreng, pinukut, dan bakpao isi kerambil-yang
disatukan dalam satu kantong plastik-lalu memasukkan uang bergambar Tuanku Imam
Bonjol ke kotak kejujuran. Menikmati makanan itu, secercah saos mengotori
seragam jumatnya.
***
Di langit petang
yang temaram, pemuda itu mendongakkan wajah begitu mendengar seruan
orang-orang. Sebuah bola futsal terbang ke arahnya, tepat kena di mukanya yang
putih dan elok itu. Sekarang warna cokelat telah memenuhi sekujur mukanya yang
halus. Gelak tawa serta tatapan prihatin membanjirinya.
Ia mengepalkan
tangan ke atas, “Siapa yang telah menendang bola ini? Ayo ngaku!”
Semua orang tetap
memandangi Raihan dengan baju yang ikut kotor karena kecipak lumpur yang
tersangkut di bola. Mukanya merah padam, otaknya telah mengelegak.
“Ayo, penakut kau.
Beraninya macam itu saja!” serunya dengan lantang.
Seorang lelaki
yang lebih tua darinya setahun berdiri di hadapannya. Mukanya penuh dengan
minyak, bau bacin menggelora dari tubuhnya, sudah lama anak ini tak mandi. “Kau
yang melempar bola ini padaku?” tanya Raihan.
“Ya.” Suara lelaki
itu melunak, “maafkan aku, aku tak sengaja. Niatku hanya menendang ke arah
gawang.”
“Cuuh..... alasan
kau. Kau sengaja kan.....? kau sengaja karena aku selalu acuh tak acuh saat
kalian bermain bola? Persetan dengan itu.” Sebuah pukulan melayang ke arah muka
berminyak lelaki itu. Badannya tak kuasa menahan pukulan itu, sempat terdorong
beberapa mili.
Perkelahian hebat
pun terjadi. Tak ada yang berani melerai. Bisa-bisa mereka ikut kena getahnya.
Kalau tak kena pukul, maka akan jadi saksi di kantor bagian keamanan. Saban
minggu pasti ada yang dipanggil ke kantor itu, setelah keluar mereka hanya bisa
membisu, menurut sebagian orang mental mereka sudah mati dan itu adalah tempat
paling angker di pesantren.
***
Raihan duduk
dengan lelaki yang dagu dan lehernya seakan menyatu. Punggung leher lelaki itu
menghitam karena sering berjemur di terik matahari. Ruangan ini seluas ruang
interogasi di kepolisian yag dicat hitam di bagian atasnya, dan biru di
dindingnya. Di sana telah menunggu dengan takzim seorang pria dengan perawakan
tua, mata sipit, dan hidung mancung yang agak bengkok. Ijuk-ijuk putih halus
memenuhi mukanya.
Pria itu menatap tajam ke arah dua pemuda
tadi. Matanya menelusuri setiap inci bagian tubuh Raihan dan satunya lagi.
Pendangan pria tadi menyeruak sampai ke dalam retina, seakan telah menemukan
jawaban dari setiap pertanyaan yang bermunculan dan telah memenuhi setiap nano
dari sarafnya.
“Hmmm...... boleh
juga kau, sulit ditebak.” Itulah kesan pertama ustadz Zul saat mata lamurnya
menyerayangi wajah Raihan.
“Kau sudah tahu
apa salah kau?”
Kedua pemuda itu
tetap membisu. “Jikalau diam, maka saya anggap iya.”
“Nak, kau adalah
pemuda yang cerdas. Semua orang tahu akan kelebihanmu itu. Kau tak perlu guru
untuk mengerti suatu pelajaran, hanya membaca dan mengerjakan satu-dua contoh
soal.” Mata tuanya tetap menatap, menusuk hingga ke dalam mata Raihan, “kau mau
mendengar kisahku sewaktu muda?”
“Aku dulunya
adalah seorang santri, sama seperti kalian berdua. Tak ada waktu yang ku
habiskan kecuali berada di lingkungan pesantren, kecuali waktu libur. Aku masuk
ke pesantren karena motivasiku memajukan Indonesia ini. Berdekade-dekade
Indonesia berada dalam keterpurukan, otak-otak udang pemimpinnya, sarana-prasarana
yang tak mendukung, dan berbagai macam penjajahan mental dari negara lain. Aku ingin
agar Indonesia bangkit, membuat kecut negara lain.” Terang ustadz Zul, “selama
ini kita jarang menemukan adanya pemimpin yang berasal dari pesantren, hanya
satu presiden kita yang merupakan lulusan santri. Andaikata pemerintahan ini
dipegang oleh santri, maka tak akan ada terjadi korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Kenapa? Karena santri telah dipenuhi raganya dengan siraman ilmu syar’i.
Jikalau ada satu-dua oknum yang melakukan itu maka santri yang lain bisa
mendakwahinya.”
Pria tua itu
sempat terdiam beberapa saat, “Saya mendirikan pesantren untuk menjadikan
santrinya berguna bagi bangsa ini. Agar tak ada penjajahan baik dari luar
maupun dalam. Perjuangan para pahlawan mesti dilanjutkan. Pejuang kita adalah
ada yang tamatan pesantren. Mereka menghias diri dengan janggut yang tertata
rapi. Coba kau lihat, pangeran Diponegoro, beliau adalah santri. Tuanku Imam
Bonjol, beliau alumni pesantren. Bahkan wali songo yang bermukin di Jawa sana,
mereka juga santri. Lihat bagaimana keadaan Indonesia? Hampir-hampir negara ini
menjadi negara Islam.”
“Nak, kau harus
bisa membangun Indonesia ini. Kau adalah pemuda. Pemuda adalah tiangnya suatu
negara. Bagus atau tidaknya negara itu dapat diketahui dari pemudanya. Apalagi
jika pemuda itu telah dibekali oleh ilmu agama yang mendalam, sehingga telah
tertancap di hatinya ilmu tersebut.”
Mata pemuda itu
telah dipenuhi oleh air yang menggenang. Ia tahan agar air itu tak tumpah.
Hanif, lelaki yang duduk di samping Raihan, terdunduk. Ia menggabungkan tangan
kanan bersama tangan kirinya, sambil mengoyang-goyangkan kakinya.
“Aku tak mau masuk
pesantren ustadz, tapi aku tak kuasa menolak permintaan ibuku. Aku tak sanggup
mengucapkan tidak atas permintaannya. Aku ingin dia senang.” Raihan sedikit
tersedak, “aku sudah tak kuat lagi ustadz.”
Sekarang, pipinya
telah basah. Air itu terus mengalir, memberikan perasaan lega pada dirinya.
Ustadz Zul menatap iba, tangannya yang ringkih mengelus lembut rambut Raihan
yang halus. Ia memalingkan wajah kepada Hanif, memberikan isyarat dengan tangan.
Anak itu melangkah keluar dari kantor bagian keamanan.
“Nak, tak masalah
jika kau ingin memberikan secuil kebahagiaan itu kepada ibumu. Tak masalah.
Tapi jangan sampai kau mengorbankan dirimu. Karena kaulah yang akan
menjalaninya. Kau harus menjadi pemimpin yang akan duduk di pemerintahan
Indonesia. Biar tak ada lagi korupsi, sehingga KPK tidak diperlukan lagi. Kau
camkan di hatimu bahwa kau akan kuat menghadapinya, bersabarlah, karena bersama
itu akan ada jalan keluarnya. Kau manfaatkan seluruh kelebihanmu.”
“Sekarang, kau
pandanglah masa depanmu. Andaikan masa lalu dapat diubah, maka tak akan ada
guna masa depan. Bangkitlah batang
tarandam sekarang. Jangan sampai kau kalah dengan masa lalu.”
Raihan mendongak,
ia menatap datar muka ustadz Zul yang bersih. Maghrib akan datang, rembulan
telah menanti-nanti gilirannya menerangi malam, bintang-gemintang mulai
membentuk rasi yang indah. Hati anak itu telah membuncah, telah tertanam di
jiwanya bahwa di tangannya Indonesia akan berubah. Tak akan ada lagi korupsi, suap,
tikus-tikus berdasi, serigala berbulu domba. Indonesia tak akan berada di ujung
tanduk lagi, tak akan ada sebutan negeri bedebah lagi. Indonesia akan mengaum.
Sehingga negri-negri di sana akan menciut, malu terhadap diri karena telah
menghina Indonesia.
***
Kau tak akan
menemukan Raihan yang hidup sesuka hatinya. Jika kau bertanya tentang anak yang
memiliki kegigihan dalam belajar, maka semua orang serentak menunjuk Raihan. Di
hati anak itu hanya ada semangat untuk menjadikan Indonesia pemimpin dunia. Enyahlah
seluruh pemimpin yang suka melanggar aturan yang mereka buat sendiri. “Jika aku
menjadi presiden, maka semua pejabat pemerintah akan bersih. Mereka hanya akan
berbakti kepada masyarakat.” Matanya memandang lurus ke depan, menatap hari
esok yang lebih baik.
[1] Ustadz pendamping di halaqah
Tulisan
yang dimuat adalah sepenuhnya milik penulis risalah-online, bukan merupakan
pernyataan dari risalah-online
No comments:
Post a Comment