By: Dewi Sartika
Di
sepanjang jalan terlihat berjejer pohon yang yang tinggi menjulang, menaungi
jalanan yang melintasi kota, dilengkapi dengan taman-taman yang dipenuhi
tumbuhan pohon taman seperti bonsai-bonsai kerdil yang ditata dengan sedemikian
rupa, ada yang membentuk lingkaran, leter U, membentuk hewan-hewan taman
(seperti: jerapah, harimau, dan sebagainya) dengan demikian akan semakin
memperindah taman kota tersebut.
Di
sepinggir jalan itu, ada seorang anak yang bernama Hilman yang gemar bermain
dan berlari-lari kecil mengelilingi taman dan memperhatikan kupu-kupu yang
terbang. Di sana dia melihat seorang anak sebaya dengannya yang juga melakukan
hal sama sepertinya yakni memperhatikan kupu-kupu yang bertebrangan.
Maka
muncullah ide di benaknya untuk mengajak temannya tersebut ingin menangkap
kupu-kupu yang sedang bertebrangan di taman itu. Lalu dia menghampiri teman
yang baru saja dikenalnya itu.
“Halo,
saya Hilman, kamu siapa?”, tanyanya, “saya Denta yang gemar bermain di taman
ini”. “kenapa aku baru melihatmu kali ini ya,” tanya Hilman. “karena kamu tidak
memperhatikanku, aku saja sering melihatmu, kamu yang suka duduk di bawah pohon
beringin itu kan?” tembak Denta pada Hilman yang menyangka dirinya tidak pernah
tampak oleh Hilman, tapi sesungguhnya hanya dia saja yang tidak memperhatikan
keberadaan Denta selama ini.
“Selamat
berkenalan, kita jadi sahabat sekarang”, tutur Hilman sambil mengulurkan
tangannya ke arah Denta. “selamat memulai pertualangan baru, kita bersahabat
erat, lekat, dan akrab, setuju?”, Dentapun menyambut uluran tangan Hilman
dengan penuh semangat dan percaya bahwa jabatan tangan tersebut adalah awal
dari jalinan persahabatan yang baru saja terjalin di antara mereka berdua.
Sore
itu mereka berpisah, karena waktu sudah larut senja. Niat Hilman untuk mengajak
Denta menangkap kupu-kupu bersama diurungkannya saja, dia berharap semoga di
lain waktu dia bisa berjumpa lagi dengan Denta dan mengajakanya ke taman yang banyak
dikelilingi kupu-kupu yang kelihatannya sedang mencari makan dengan menghirup
putik sari bunga-bunga yanga ada di taman. Mereka berpisah untuk sementara, dan
sepakat akan saling bersama jika kembali bertemu di taman ini.
Selama
mereka berteman, Hilman tidak pernah mengajak Denta ke rumah untuk bermain, dia
takut kalau dia ajak temannya itu ke rumah, maka Denta akan melihat ibunya yang
sakit, kurus, dan terbaring tidak berdaya di atas tempat tidur. Dia malu punya
ibu yang tidak lagi segar dan sehat seperti dulu, sewaktu dia masih bayi.
Pernah
beberapa waktu lalu, Denta merengek minta ditunjukkin rumah Hilman dimana,
namun Hilman pandai berkilah dan berbohong bahwa di rumah sedang ada ayahnya
yang galak dan sangat geram jika dia bawa teman ke rumah. Mendengar penjelasan
dari Hilman, maka Dentapun mengurungkan niatnya, dan menurut saja apa yang
Hilman saranin, yakni lebih baik mereka tetap bermain di taman dan terus menuju
kolam ikan yang juga berada tidak jauh dari taman itu.
Suatu
saat, ibu Hilman merasa tidak lagi sanggup menahan sakit yang di deritanya,
kemudian dia memanggil anak semata wayangnya Hilman: “Anakku... Hilman...
Hilll..., di mana kamu nak???”, sambil tersungkur di lantai karena terjatuh
dari tempat tidur sewaktu ingin mengambil air minum yag berada di atas meja di
sisi ranjang ibu Hilman tersebut.
Hilman
tidak sadar bahwa di rumah, ibunya yang sakit dan sendirian sedang membutuhkan
pertolongannya. Karena sudah bosan bermain, ia terus balik ke rumah untuk
istirahat.
Setiba
di halaman rumah, dia sangat terkejut karena orang-orang sudah mengerumuni
rumahnya yang kecil dan sempit. Dia bertanya pada orang-orang yang hadir: “ada
apa ini, kenapa rumah saya dikerubungi, mangnya ibu saya kenapa???”. Setelah
dia terus menuju kamar tempat ibunya dibaringkan oleh orang-orang, maka ia
mulai sadar bahwa dia baru saja
kehilangan orang yang selama ini sangat ia butuhkan dan telah melahirkan dan menemani hidupnya sampai
sekarang, meskipun secara materi ibunya tidak mampu memberikan materi lebih
pada dirinya sebgaimana anak-anak lain yang sebaya dengannya.
Sudah
seminggu Hilman dihinggapi rasa duka kehilangan ibu yang selama ini selalu
berada disisinya, dia benar-benar merasa kehilangan. Hilman baru sadar bahwa ia
benar-benar ingin ibunya kembali hidup dan ia berjanji pada Tuhan bahwa dia
akan menjadi anak yang berbakti dan tidak lagi malu memiliki ibu yang sakit dan
kurus seperti ibunya yang sakit dulu, riwayat
sakit sang ibu yang sudah lama terbaring di tempat tidur disebabkan oleh tidak
kunjungnya mendapat perawatan dari dokter sekaligus asupan gizi yang cukup, yang
mana ini semua juga tidak terlepas dari faktor ekonomi juga.
Ibarat
kata pepatah “sepandai-pandai tupai melompat, maka ada kalanya ia akan jatuh
juga”, maka kedok Hilman terbongkar juga, alamat tempat ia tinggali bersama
ibunya diketahui juga oleh Denta sahabatnya, dan cerita bagaimana ia hidup dan
sudah ditinggalin untuk selamanya oleh ibu tercintanya juga diketahui oleh
Denta. Ketahuan rahasia Hilman ini berawal dari rasa penasaran Denta pada
Hilman, sehingga ia bertanya dalam hati, “kenapa dalam satu minggu ini Hilman
tidak kunjung muncul di taman sebagaimana ia lakukan bersama saya selama ini
ya?”.
Akhirnya
karena rajin bertanya dengan masyarakat sekitar, maka diperolehlah informasi
dari salah satu warga kampung pemilik toko di tepi taman tersebut yang sudah
mengenal Hilman dari kecil.
“Nasi
sudah menjadi bubur”, apa yang menjadi penderitaan Hilman maka akan ia tanggung
untuk selamanya, namun Denta tetap menjadi sahabat sejati yang menjadi teman
karibnya, menjadi sahabat bagi temannya yang sekarang sudah hidup sebatang
kara.
Semoga
kisah ini dapat menginspirasi kita semua, agar mau jujur dan terbuka dalam
sebuah jalinan persahabatan sekaligus tidak mau menyia-nyiakan orang tua yang
masih hidup bersama dengan kita, dan terus memanfaatkan setiap momen dalam
rangka taat dan berbakti kepada orang tua kita yang masih hidup, semoga kita
dapat meraih Jannah-Nya melalui ridho orang tua yang dapat kita raih lewat
sikap berbakti kepada keduanya. Amin.
No comments:
Post a Comment